nusabali

LENTERA: Bukit Sinunggal

  • www.nusabali.com-lentera-bukit-sinunggal

DI DESA tempat Guruji terlahir sekaligus tempat sekarang bermukim, yakni Desa Tajun, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng, ada bukit sangat tua yang amat dihormati dan disucikan.

Karena demikian disucikan, selama ribuan tahun di tempat ini manusia tidak boleh membakar mayat. Agar asap pembakaran mayat tidak mengotori kesucian bukit. Bukit indah yang disucikan ini bernama Bukit Sinunggal. Di puncaknya, ada pura yang sangat disakralkan.

Di alam rahasia ditanyakan, Bukit Sinunggal artinya bukit tempat banyak jiwa mengalami panunggalan. Tatkala tahun 2002 belajar rajin pulang ke Bali, di sana terbuka rahasia bahwa sepertiga dari hutan di bukit ini telah dicuri orang. Ada sertifikat kepemilikan lagi. Karena demikian keadaanya, 5 hektare bagian bukit yang dicuri orang ini dibeli dengan uang pribadi. Sekarang, telah menjadi hutan kembali.

Tidak jauh dari Bukit Sinunggal, ada Bukit Pudeh yang berlokasi di pinggir jalan raya. Bukit Pudeh ini juga bernasib serupa. Ada sejumlah rumah di sana. Dibimbing oleh spirit yang sama, bukit ini juga diselamatkan menggunakan uang pribadi. Yang membuat air mata menetes haru, sekian tahun lalu pohon cempaka di Bukit Pudeh dibabat orang. Tanahnya digunakan sebagai lapangan bola selama bertahun-tahun.

Setelah ada 3 anak yang kakinya patah karena main bola di sana, pengurus pura di tempat ini wafat karena muntah darah. Orang-orang pun berhenti main bola di sana. Membaca tanda-tanda seperti itu, tahun 2019 lalu keluarga Compassion ditemani dua orang Jro Mangku (satu dari Besakih, satu dari Batur) menanam pohon-pohon sakral di sana. Mulai dari pohon bodi, pohon pule, sampai pohon gaharu.

Untuk kedua kalinya air mata menetes lagi, karena sejak beberapa bulan terakhir, pohon-pohon sakral yang ditanam keluarga Compassion di sana tidak saja dihancurkan, tapi tanahnya diratakan dan digunakan lapangan bola kembali. Bersamaan dengan itu, di Bukit Sinunggal ada anak muda yang mau membuat jalan setapak di tengah hutan. untuk membangun objek pariwisata.

Sejujurnya, tidak ada yang melarang manusia mencari uang. Sekali lagi, tidak ada. Tapi, jika hutan diberi jalan setapak, satwa-satwa liar pasti mengalami penderitaan. Burung-burung akan ditembak, ular-ular pasti dibunuh, pohon-pohon pun rawan ditebang orang. Di tengah cerita menyentuh seperti ini, sahabat dan kawan terbaik hanya air mata yang menetes.

Untuk direnungkan bersama, virus Corona yang membunuh ratusan ribu manusia di seluruh dunia, pertama kali muncul di Wuhan, China. Ia menyerang manusia melalui binatang. Pesan spiritualnya terang sekali, bumi jadi semenyedihkan karena manusia gagal merawat alam bawah (binatang, tetumbuhan). Di tengah putaran zaman seperti itu, masih ada orang yang demikian tega menghancurkan hutan.

Di putaran waktu menyentuh ini, jangankan membicarakan hal-hal yang kita lihat tapi orang tidak lihat. Membicarakan hal-hal yang sama-sama kita lihat pun mudah melahirkan kekerasan. Padahal, dari berbagai tanda spiritual, baik tanda-tanda dari bumi maupun tanda-tanda dari langit, terlihat jelas sekali bahwa tempat ini minta di-selamatkan.

Sebagai bahan renungan, tetua Bali banyak mendirikan tempat suci di hutan-hutan tua. Tentu agar hutannya dirawat. Dalam kisah kawasan Bukit Sinunggal, bahkan ada tambahan tidak boleh membakar mayat di sana. Tidak perlu memiliki gelar doktor untuk mengerti pesan ini: “Jika hutan habis, manusia kekurangan Oksigen. Tanpa Oksigen yang bersih, manusia mana pun dalam bahaya.”

Pertanyaan renungannya kemudian, jika di tempat yang diberi nama demikian sakral dan suci, berisi tempat suci yang sangat disakralkan, hutan dihancurkan secara sangat menyentuh hati, apa yang terjadi dengan hutan-hutan di tempat lain? *

Guruji Gede Prama

Komentar