nusabali

MUTIARA WEDA: Ratuisme

Kālah pacati bhūtāni kālah samharate prajāh, kālah suptesu jāgarti kālo hi duratikramah. (Chanakya Niti, 6.7)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-ratuisme

Waktu menyempurnakan seluruh makhluk hidup, namun pada saat yang bersamaan membunuhnya; waktu itu sendiri tetap terjaga ketika semua yang lainnya tertidur. Waktu tidak dapat diatasi, berada di atas kebenaran.

FENOMENA Ratuisme sebenarnya setua peradaban. Ia ada sejak dulu, tetap ada saat ini, dan akan terus ada di masa yang akan datang. Menjadi Ratu selalu menarik bukan saja karena ditasbihkan oleh rakyat, bukan saja karena diperlukan, bukan saja karena didesak keadaan, dan bukan pula karena titah pawisik, tetapi lebih pada dorongan dari dalam, laksana magma yang setiap saat mencari celah untuk meledak. Keberadaannya laten dan memerlukan ekspresi. Apapun alasan yang datang dari luar hanyalah pemicu, entah itu disengajakan dicari atau tidak. Desakan dari dalam membuat orang berupaya dengan segala cara. Ada yang suka terang-terangan, ada yang malu-malu, ada yang menunggu sebuah kondisi, ada yang menciptakan kondisi yang kondusif untuk ditunggangi, ada yang mengiklankan diri dan ada pula yang menyembunyikan diri. Jenisnya ada banyak, namun muaranya sama, menjadi Ratu, minimal untuk dirinya sendiri.

Paham (isme) di sini tidak dalam konteks diskursus intelektual, melainkan lebih pada kondisi eksistensial yang dianut tubuh (fisik) beserta atribut-atributnya. Pikiran (psikis) mudah saja menolaknya, tetapi tidak dengan tubuh. Pikiran dan tubuh kerap kali berseberangan dalam waktu yang bersamaan. Pikiran yang dipenuhi nilai, filosofi, dan ajaran-ajaran sering menolaknya, tetapi tubuh dengan kecerdasan heningnya justru mampu menelikung pikiran dan memanfaatkan penolakan itu sebagai alat untuk mengukuhkan ke-Ratu-annya. Atau, dengan cara yang sama, pikiran yang menerimanya juga sering ditelikung, keinginan-keinginannya dibuat tidak berdaya. Pikiran yang menerima biasanya agresif, seolah ‘Ratu’ itu adalah dirinya, dan berupaya meraihnya. Namun, tubuh punya caranya sendiri untuk menunjukkan ke-Ratu-annya. Pikiran yang lihai itu pun lebih sering terjebak, tidak berdaya, jatuh, dan bangun silih berganti.

Bagi pikiran-pikiran yang mengidentifikasi dirinya sebagai ‘Ratu’, teks seperti di atas pantas dijadikan cermin. “Waktu itu memuliakan dan sekaligus membunuhnya”. Pikiran sepenuhnya di bawah kendali waktu. Jika pikiran mampu menemukan kodenya dan selaras dengan itu, maka waktu akan memuliakannya. Sebaliknya, jika bertentangan (oleh karena keinginan-keinginan) waktu pula yang akan membinasakannya. Contohnya teramat banyak. Pikiran yang mengidentifikasi sebagai Ratu lebih sering korup, sehingga waktu yang memaksanya untuk lengser dan rapuh. Pemicunya beragam, apakah kasus hukum, demonstrasi, dilemahkan secara moral, dan yang lainnya. Pikiran tidak bisa mengalahkan waktu, karena setiap saat terjaga dan terhubung dengan kebenaran.

Bagaimana caranya agar pikiran selamat? Jika pikiran mampu selaras dengan kebenaran, mungkin waktu bisa berdamai dengannya. Di sini, pikiran mestinya lebih banyak mengamati dan mengerjakan sesuatu ketika itu diperlukan. Pikiran yang confident (merasa sebagai Ratu) sering melakukan sesuatu tidak pada jalurnya. Tubuh punya caranya. Tubuh tidak dikuasai oleh waktu tetapi hidup bersama waktu. Tubuh dan waktu berjalan bersamaan, tidak saling bertentangan. Ada masanya tubuh dilahirkan dari waktu, kemudian dipelihara di dalam waktu dan ketika saatnya kembali ke dalam Sang waktu. Tubuh sepenuhnya selaras dengan waktu. Teks di atas mengatakan bahwa waktu tidak dapat diatasi, artinya, waktu itu adalah Ratu tertinggi. Waktu tak terkalahkan oleh siapapun, selamanya.

Oleh karena itu, jika dikatakan tubuh selaras dengan waktu, maka tubuh itu sendiri memiliki karakter seperti waktu. Tubuh pun menjadi Ratu. Makanya, Ratuisme itu adalah paham tubuh, bukan paham pikiran. Ratu yang abadi itu adalah Ratu yang muncul karena tubuh. Jika pikiran selaras dengan kebenaran, maka ia akan menjadi alat efektif untuk menyukseskan ke-Ratu-an tubuh itu. Tetapi, jika penuh keinginan, maka pikiran juga secara efektif menghancurkan ke-Ratu-annya itu. Apakah ke-Ratu-an tubuh yang hancur? Dipastikan tidak, karena tubuh bersama waktu, Sang Ratu abadi. Yang hancur adalah ke-Ratu-an pikiran yang teridentifikasi sebagai Ratu. Ke-Ratu-an pikiran hanyalah Ratu-ratuan, bukan Ratu sungguhan, sepenuhnya sandiwara, dan pikiran menikmatinya untuk sementara sebelum akhirnya dihancurkan oleh Sang waktu. *

I Gede Suwantana

Komentar