nusabali

Kadis Kebudayaan Bali Dikukuhkan Jadi Guru Besar

Koster Minta ISI Denpasar Bangkitkan Seni Tradisi di Desa Adat

  • www.nusabali.com-kadis-kebudayaan-bali-dikukuhkan-jadi-guru-besar

DENPASAR, NusaBali
Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar merayakan Dies Natalis XVII di tengah pandemi Covid-19, Selasa (28/7) pagi.

Perayaan Dies Natalis XVII di Gedung Natya Mandala ISI Denpasar, Jalan Nusa Indah Denpasar tersebut dibarengi dengan pengukuhan dua guru besar, yakni Prof Dr I Wayan Kun Adnyana SSn MSn (yang kini Kadis Kebudayaan Provinsi Bali) dan Prof Dr Drs I Gede Mugi Raharja MSn.

Dies Natalis dan pengukuhan dua guru besar ISI Denpasar, Selasa kemarin, dihadiri langsung Gubernur Bali Wayan Koster (selaku Ketua Dewan Penyantun ISI Denpasar) bersama sang istri Ni Putu Putri Suastini, Wagub Bali yang juga akademisi ISI Denpasar Prof Dr Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati MSi, Bendesa Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali Ida Panglingsir Putra Sukahet, Ketua PHDI Bali I Gusti Ngurah Sudiana, dan sejumlah tokoh masyarakat.

Rektor ISI Denpasar, Prof Dr I Gede Arya Sugiartha SSKar MHum, mengatakan perayaan Dies Natalis di masa pandemi Covid-19 melahirkan tantangan agar perguruan tinggi ‘plat merah’ yang dipimpinnya lebih kreatif dalam menjalani tatanan kehidupan Bali era baru. “Jika sebelumnya Dies Natalis disaksikan oleh maksimal 500 undangan, kini bisa disaksikan oleh ribuan orang yang menonton lewat daring, baik dari rumah ataupun tempat kerja masing-masing,” jelas Prof Arya Sugiartha dalam sambutannya.

Akademisi asal Desa Pujungan, Kecamatan Pupuan, Tabanan ini mengatakan selama masa pandemi Covid-19, proses pembelajaran dilakukan secara daring sejak tanggal 17 Maret 2020. Begitu juga Ujian Tugas Akhir mahasiswa secara umum dirancang secara daring. Namun, setelah pemberlakuan tatanan kehidupan era baru, 9 Juli 2020, beberapa mata kuliah praktek dilakukan secara bergilir di kampus, dengan tetap menerapkan protokol kesehatan secara ketat.

“Bahkan saat ini muncul sebuah model seni baru yang kita sebut seni virtual, yang lahir sebagai hasil pencarian celah di tengah wabah. Kini mewujud dalam citra dan estetika baru. Sesuatu yang dulu dianggap virtual kini menjadi real, yang dulu real kini bisa divirtualkan,” jelas Rektor ISI Denpasar dua kali periode ini.

Prof Arya Sugiartha juga mengungkapkan, dengan pengukuhan 2 guru besar saat Dies Natalis XVII kemarin, maka ISI Denpasar ini memiliki 9 profesor. Prof Dr I Wayan Kun Adnyana SSn MSn yang baru dikukuhkan kemarin adalah Guru Besar Bidang Sejarah Seni Rupa. Sementara Prof Dr Drs I Gede Mugi Raharja MSn adalah Guru Besar Bidang Ilmu Kajian Desain Interior Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD).

Sedangkan 7 profesor lainnya, masing-masing Prof Dr Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati MSi alias Cok Ace (mantan Bupati Gianyar yang kini Wakil Gubernur Bali), Prof Dr I Gede Arya Sugiartha SSKar MHum (Rektor ISI Denpasar), Prof Dr Drs I Nyoman Artayasa MKes (Wakil Rektor Bidang Akademik, Kemahasiswaan dan Alumni), Prof Dr Drs I Made Gede Arimbawa MSn, dan Prof Dr I Nyoman Sedana MA, Prof Dr I Wayan Rai S MA (Rektor ISBI Tanah Papua), Prof Dr I Wa-yan Dibia yang diperpanjang pengabdiannya.

Sementara itu, Gubernur Koster mengungkapkan ISI Denpasar memiliki sumber daya yang mumpuni yakni dosen, mahasiswa, dan 9 guru besar. SDM ini dinilai luar biasa untuk mengembangkan seni yang ada di Bali, termasuk seni tradisi yang tumbuh dan berkembang di desa adat.

Menurut Gubernur Koster, ISI Denpasar bisa bergerak ke bawah melalui kegiatan pengabdian masyarakat, kuliah kerja nyata (KKN), maupun kegiatan kemasyarakatan lainnya. “Saya titip nanti dengan satu skema tertentu seni-seni tradisi yang berakar di desa adat, yang tumbuh di desa adat, yang digeluti oleh masyarakat desa adat, kemudian sekarang ditinggal, punah lantas tidak lagi muncul sebagai kekayaan seni,” pinta Koster.

Koster menyebutkan, penyelamatan seni tradisi yang nyaris punah inilah yang harus dikembangkan ISI Denpasar dalam kegiatan Tri Dharma yang menjadi tugas utama sebagai perguruan tinggi. Selama ini, kekayaan tradisi masih kurang serius dibangkitkan, dijaga, dipelihara, serta dimajukan, sehingga secara perlahan-lahan semakin mundur, luntur, dan mungkin sudah ditinggalkan oleh sebagian besar masyarakat di desa adat.

“Saya kira, seni dan budaya di Bali yang berbasis tradisi maupun berbasis modern itu akan terus maju terus berkembang di tengah-tengah dinamika lokal, nasional, dan global. Inilah yang menjadi kekayaan kita,” tandas Gubernur asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng yang juga Ketua DPD PDIP Bali ini.

Dalam kesempatan itu, Koster juga menceritakan kedekatan hubungannya dengan ISI Denpasar sudah terjadi sejak tahun 1984. Ketika itu, Koster yang masih kuliah menjadi Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian di ITB Bandung. Sampai sekarang, hubungan itu masih terjalin baik.

Salah satu bentuk penghormatannya terhadap ISI Denpasar, kata Koster, adalah menunjuk Prof Dr I Wayan Kun Adnyana MSn Sn sebagai Kadis Kebudayaan Provinsi Bali. “Dalam sejarah, ini pertama kali Kadis Kebudayaan Bali dari ISI Denpasar,” jelas Koster yang juga kakak kelas Prof Dr Drs I Gede Mugi Raharja MSn saat sekolah di SMAN 1 Singaraja (1978-1981).

Sementara, ditemui NusaBali seusai pengukuihan guru besar, Selasa kemarin, Prof Kun Adnyana mengaku bersyukur telah sampai ke jenjang ini. Kun Adnyana sempat terharu bahagia di akhir orasi ilmiahnya bertajuk ‘Seni Virtual Bali di Masa Pandemi (Kajian Estetika dan Refleksi Kesejarahan)’. Pasalnya, perjuangan untuk bisa meraih gelar guru besar penuh rintangan.

Ke depan, Prof Kun Adnyana berjanji akan terus menjadi bagian dari perjuangan pemajuan seni dan budaya. “Dengan ilmu dan pengalaman yang saya miliki, serta ditempa juga oleh lembaga ini, saya akan bersinergi dengan semua pihak untuk solid bergerak demi pemajuan seni budaya Bali,” katanya.

Sedangkan Prof Mugi Raharja mengaku dengan dikukuhkannya sebagai guru besar, semakin memacu semangatnya untuk terus mengkaji desain interior khususnya yang ada di Bali. Menurut akademisi berusia 57 tahun ini, bidang desain memiliki hal yang berbeda dari seni umumnya, karena desain bersifat fisik dan nyata. “Desain itu tidak hanya soal rasa, tapi ada ada unsur matematis. Tanpa mempertimbangkan unsur matematis dalam desain, itu bisa menjadi kacau,” tegas akademisi asal Desa Penuktukan, Kecamatan Tejakula, Buleleng ini. *ind

Komentar