nusabali

I Nyoman Sutedja Mukarsa, Keteguhan dan Ketegasan Seorang Kapten

  • www.nusabali.com-i-nyoman-sutedja-mukarsa-keteguhan-dan-ketegasan-seorang-kapten

Tak ada tawar-menawar. Prinsipnya sangat kuat. Itulah sosok seorang kapten asal Bali yang sejak usia 20an sudah berlayar dan di usia 37 sudah membawa kapal tanker prestisius buatan Jerman.

PEMERHATI dunia kemaritiman pada era 1980an pasti akan ingat sebuah kapal fenomenal diberi nama  Sultan Mahmud Badaruddin II. Ya, kapal tanker buatan Jerman pada tahun 1984 ini menjadi kebanggaan Indonesia karena pada saat itu menjadi kapal tanker terbagus, termodern. Bahkan setelah 36 tahun berselang, tahun 2020, kapal tanker ini masih dioperasikan oleh PT Pupuk Indonesia (Persero) yang dulunya dikenal sebagai PT Pupuk Sriwijaya (Persero).

Sosok yang  menjemput kapal ini langsung ke Jerman, ternyata adalah putra kebanggan Bali, yang tumbuh dan dibesarkan di Desa Buahan, Tabanan. I Nyoman Sutedja Mukarsa adalah kapten yang dipercaya oleh pemerintah Republik Indonesia melalui Pupuk Sriwijaya (Pusri) untuk mengawasi pembangunan kapal sekaligus membawa pulang kapal yang menjadi lambang prestise di masa lalu. “Di usia 37 tahun saya dipilih untuk menjemput kapal ke Jerman, padahal usia saya paling muda di antara kapten (kapal) lainnya,” kenang Capt. I Nyoman Sutedja Mukarsa M.Mar, Sabtu (25/7/2020).

Tak ayal para tenaga ahli Jerman sempat jengkel dengan celetukan Sutedja muda yang secara tampilan masih terlalu muda dan dinilai awam soal perkapalan. Sutedja pun sempat tidak dipercaya kapasitasnya, namun setelah dijelaskan bahwa dia adalah ‘Kapten Kapal’ , barulah insinyur-insinyur Jerman memaklumi.

Sutedja yang kini berusia 73 namun masih penuh semangat menceritakan bagaimana pengalamannya di Jerman saat itu. Dia harus mengawasi dan meyakinkan kelayakan kapal yang dipesan Indonesia di galangan kapal setempat. Bahkan pria yang dilahirkan di RS Wangaya Denpasar pada 7 Juli 1947  ini berani mempertanyakan kelayakan kapal yang saat itu masih dalam proses pengerjaan. “Salah desain,” jawabnya.

Begitu dicek, ternyata  keseimbangan kapal jauh beda dari rencana. “Kalau tiyang bawa ke Indonesia sudah pasti tenggelam. Bagaimanapun caranya saya tolak, kapal ini harus saya kembalikan dan diubah,” katanya tentang penolakannya di depan tenaga-tenaga perkapalan Jerman, Inggris dan India yang ada di galangan tersebut.

Tapi tetap saja tak ada titik temu antara apa yang dikerjakan oleh tim Jerman dan Nyoman Sutedja. Bahkan situasi yang ‘memanas’ membuat pihak Jerman mengadu ke Jakarta, hingga Menteri Perindustrian saat itu, Hartarto Sastrosoenarto, dan Direktur Pusri menelepon Nyoman Sutedja. Namun Sutedja tetap bersikukuh dan menjelaskan dasar pemikiran dan kekhawatiran keseimbangan pada pengerjaan kapal tersebut.  Sang Menteri pun meminta Sutedja bagaimanapun caranya bisa membawa pulang kapal yang dibeli dengan barter tembakau tersebut ke Indonesia.

Akhirnya untuk keseimbangan kapal dipasang pemberat. Awalnya Sutedja meminta 200 ton timah sebagai pemberat, namun usulannya dinilai tidak relevan karena harga 200 ton timah sama saja dengan harga sepertiga hingga setengah kapal. Solusi kemudian dilakukan dengan memasang 100 ton semen ditambah dengan muatan minyak, hingga terjadi keseimbangan kapal yang dimaksud oleh Sutedja.

Keteguhan dan sikap keras Nyoman Sutedja bukan itu saja.  Saat menjabat sebagai General Manager (GM) Sucofindo Cabang Surabaya menerima instruksi Dirjen Perdagangan RI tahun 1997 yang memerintahkan dirinya agar mengeluarkan Sertifikat Kelayakan Ekspor Barang ke Eropa yang tidak memenuhi persyaratan LC (Letter of Credit) untuk seorang pengusaha terbesar di Indonesia. “Tapi saya menolak,” kata Sutedja.

Lalu saat menjadi Vice President Sucofindo Jakarta, Nyoman Sutedja juga sempat melawan Dirjen Perindustrian RI. Pada medio November 2004, dia menghadapi tuduhan menerima uang Rp2 miliar dari pengusaha importir mobil dari Jepang dan Singapura. Namun akhirnya laporan dan tuduhan miring tersebut tidak bisa dibuktikan oleh pihak Dirjen dan memang kenyataannya tidak pernah menerima. “Para eksportir pun sudah dikonfrontir,  tidak ada yang  menyatakan menyerahkan uang tersebut,” kata Sutedja.

Nyoman Sutedja sendiri selepas SMA memang kerap berpindah kota, mulai Surabaya, Bandung, Semarang, Jakarta dijelajahinya. Dan dengan bekerja pada perusahaan asing, dia cukup sarat pengalaman melanglang dunia di usia mudanya. Di awal tahun 1970an, Sutedja sudah kerja di kapal kargo Oyama Line. Kapal berbendera Jepang berbobot 7.000 ton ini menyusuri rute Asia, mulai dari Bangkok, Vietnam, Bangladesh, Malaysia dan Jepang. Saat bersama kapal ini, Sutedja mengaku nyaris tewas karena kapal hampir tenggelam disapu angin topan pada 29 Desember 1975. “Kami bertahan, akhirnya sheltering, dikawal minta SOS dikawal kapal besar-besar, hingga berlabuhlah ke Okinawa,” katanya.

Pada 1976 dia pindah Liberia Wallam Shipping dengan rute jazirah Arab, Jepang, Teluk Persia,  membawa muatan minyak. Di atas tanker sepanjang 224 meter, Sutedja berstatus sebagai perwira muda, tugasnya mengatur lalulintas dan mengarahkan, membuat haluan kemana agar aman.

Setelah itu dia melanglang buana lagi bersama kapal berbendera Norwegia, Selandia Baru.  Atas permintaan istri tercinta, perjalanan keliling dunia diakhiri pada 1977. Sutedja memutuskan pindah ke Palembang, Sumatera Selatan, pada bulan September 1977. Di Palembang, dia bekerja untuk Pupuk Sriwijaya (Pusri) sebagai perwira hingga kapten selama 11 tahun  atau tepatnya September 1988.

Di Pusri, bekal pengalamannya yang begitu besar membuat dipercaya. Terbukti baru satu minggu kerja, sudah mendapat tugas membuat kapal di Jepang. Lalu saat membawa kapal itu pulang ke Indonesia dan baru sandar, langsung diperintahkan lagi ke India.  Sutedja dipercaya terlibat dalam penyiapan kapal curah 8.000 ton yang di-upgrade menjadi 10.000 ton.   Lalu ketika Pusri bikin empat kapal, dia tak kebagian tugas ke Korea. Namun gongnya adalah perintah untuk mengawasi pembuatan kapal di Jerman sekaligus membawa pulang kapal tanker yang belakangan diberi nama pahlawan Sumatera Selatan, Sultan Mahmud Badaruddin II.

Toh walaupun berkeliling dunia, kampung halaman di Desa Buahan Tabanan tak akan pernah dilupakan. Walaupun saat lahir dan semasa SMP bersekolah di Denpasar, namun Desa Buahan adalah tempat teristimewa bagi Nyoman Sutedja. Ibarat kerbau, kemanapun dia pergi, pasti kembali ke kubangan atau kampung halaman.. Setiap ada kesempatan pulang ke Bali, pasti Nyoman Sutedja tidur dan tinggal di Desa Buahan. "Tiyang selalu dididik dan dibesarkan oleh keluarga dan warga Desa Buahan, tempat Rong Tiga Leluhur tiyange," ungkap Nyoman Sutedja. *mao

Komentar