nusabali

MUTIARA WEDA: Yadnya di Tengah Covid-19

Yajñanam japo yajño aham (Bhagavad-gita, X.25)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-yadnya-di-tengah-covid-19

Di antara yadnya, aku adalah japa yadnya

Covid-19 membuat sebagian besar rencana dan kegiatan berubah, termasuk pelaksanaan upacara yadnya. Upacara untuk sementara waktu tidak bisa dihadiri oleh banyak orang dan diselenggarakan dengan sederhana. Bagi sebagian orang, kondisi ini dianggap sebagai dampak positif, sebab upacara agama dipaksa untuk dilakukan secara sederhana. Jika masyarakat nantinya merasakan bahwa kesederhanaan ini dianggap menguntungkan, mungkin bisa dilanjutkan seterusnya. Upacara tidak lagi dilakukan dengan cara jor-joran. Mereka yang menginginkan penyederhanaan merasa bahwa alam memaksa orang untuk sadar bahwa upacara tidak perlu ‘ribet’ dan yang sejenisnya. Kehadiran Covid-19 memang mengerikan, tetapi efek sampingnya mampu membuat segala sesuatunya kembali seimbang. Artinya, upacara yang selama ini dianggap sebagai penyebab kemiskinan, kelelahan, dan penghambat dalam upaya menangkap peluang di era persaingan bebas ini bisa ditekan dan dikembalikan ke kondisi semula.

Sementara itu, bagi sebagian lain, Covid-19 ini adalah penghambat kegiatan upacara yadnya. Upacara dianggap tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Banyak orang ingin melaksanakan upacara besar, tetapi oleh karena pemerintah melarang untuk berkumpul, maka upacara itu tidak mungkin dilaksanakan. Mereka merasa bahwa yadnya yang hendak dilaksanakan secara tulus ikhlas tersebut terhambat. Bahkan ada yang berpikiran bahwa, semestinya, pemerintah memberikan kesempatan kepada mereka yang melaksanakan kegiatan upacara yadnya sesuai dengan standarnya, sebab untuk tujuan yadnya yang tulus, Hyang Widhi pasti melindunginya. Bagaimana bisa orang melakukan yadnya secara tulus ikhlas sesuai kemampuan dilarang? Apakah pemerintah lebih hebat dibandingkan dengan Hyang Widhi? Prediksinya, jika upacara tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, maka banyak ekses lain yang bisa timbul, seperti akan banyak muncul rintangan dan banyak orang yang kehilangan penghasilan. Bahan-bahan upakara tidak terjual, pembuat banten kehilangan p
ekerjaan, dan yang lainnya yang membuat perekonomian berjalan lambat.

Ada juga segelintir orang yang khawatir bahwa ke depannya kegiatan upacara yadnya akan terus dibuat sederhana, karena masyarakat telah merasa nyaman. Covid-19 membuat masyarakat nyaman dengan kesederhanaan. Ini tentu akan menjadi tantangan besar dalam keberlangsungan tradisi yang selama ini terjaga dengan baik. Apalagi kalau ada orang yang hanya melaksanakan yadnya sesuai dengan teks di atas yakni ‘yadnya yang paling utama adalah japa’. Apa jadinya jika mereka hanya melaksanakan japa? Teks di atas menyatakan bahwa japa yadnya adalah yang tertinggi, dan sekaligus paling sederhana. Bukankah ini mengancam keberadaan upacara yadnya yang telah ada?

Tetapi, ada juga yang berpikir optimis, bahwa, secara esensi, Covid-19 tidak akan mengubah tatanan yang ada. Jika mengacu pada lima prinsip (dalam Manavadharmasastra, VII.10), yakni: iksa (tujuan), sakti (kemampuan), desa (ruang), kala (waktu), dan tattwa (kategori, entitas, esensi), maka ada masanya upacara yadnya itu dilakukan secara sederhana, dan ada masanya dilakukan secara besar-besaran. Alam telah mengaturnya demikian. Ketakutan-ketakutan hendaknya tidak bisa hadir, sebab apapun bentuk upacara yadnya yang dilaksanakan, tujuan dan esensinya tetap sama. Upacara yadnya adalah teknologi yang menolong orang untuk kembali ke Sangkan Paran. Kendaraan boleh beda, tetapi tujuannya (iksa) sama, entitas (tattwa) yang hendak dituju sama.

Jika semua sama, lalu mengapa Krishna mengatakan bahwa japa adalah yadnya tertinggi? Karena japa adalah yang tertinggi, secara logika, apapun jenis yadnya lainnya akan lebih rendah. Tidak dipungkiri jebakannya ada di sini, dan banyak orang terjebak. Mari lihat konteksnya. Japa artinya mengulang-ulang mantra Ista Dewata. Untuk apa? Untuk mengarahkan pikiran langsung menuju pada deity (esensi) dari mantra tersebut. Ini adalah sakti upaya (menemukan esensi dari mantra) atau jnana upaya (menumbuhkan suddha vikalpa di pikiran sehingga muncul kesadaran secara terus-menerus bahwa jiva adalah Sang Sangkan Paran itu sendiri). Hanya mereka yang telah siap dan memiliki jejak sadhana (dari kelahiran sebelumnya) yang mampu untuk itu. Jika belum, upacara yadnya yang menekankan pada aspek karma dan tulus ikhlas yang akan dan lebih berdampak. Oleh karena itu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, biarlah mereka berkarma bagi yang memilihnya, dan biarkan pula mereka berjapa jika memang itu tingkatan kesadarannya. Kalau berjapa kemudian merendahkan praktik yang lain, berarti kesadarannya belum di level itu. Demikian juga senang berkarma, tetapi mengejek orang berjapa, dipastikan kesadarannya belum berkembang. *

I Gede Suwantana

Komentar