nusabali

Sangat tak akurat, Ombudsman menengarai ada indikasi komersialisasi

Pakar Minta Rapid Test di RI Disetop

  • www.nusabali.com-sangat-tak-akurat-ombudsman-menengarai-ada-indikasi-komersialisasi

JAKARTA, NusaBali
Pakar epidemiologi Pandu Riono angkat bicara mengenai rapid test yang marak dilakukan pemerintah daerah di tengah wabah virus Corona (COVID-19). Menurutnya, rapid test mesti dihentikan secepatnya.

"Menurut saya, harus segera. Kalau perlu, besok Senin rapid test di seluruh Indonesia itu dihentikan," ujar Pandu dalam diskusi 'Jelang Usai PSBB Transisi', seperti dilansir detikcom, Sabtu (4/7).

Menurut dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), rapid test sangat tidak akurat. Menurutnya, hasil rapid test tidak bisa menjadi acuan.

"Adanya testing cepat antibodi, rapid test, ini sangat tidak akurat," imbuh Pandu.

"Yang dites itu antibodi. Antibodi itu artinya respons tubuh terhadap adanya virus. Itu terbentuk seminggu atau beberapa hari setelah terinfeksi. Kalau tidak reaktif, bukan berarti tidak terinfeksi. Kalau reaktif, bukan berarti bisa infeksius," kata Pandu.

Dengan maraknya fenomena rapid test, terang Pandu, terjadilah komersialisasi. Salah satunya ketika rapid test menjadi syarat seseorang sebelum boleh menggunakan transportasi pesawat ataupun kereta api. Padahal, menurutnya, rapid test belum dijamin akurasinya.

"Itu useless sebenarnya," jelas Pandu.

"Karena kalau tidak, publik rugi, atau banyak uang negara yang seharusnya bisa meningkatkan kapasitas tim PCR, (malah) hanya untuk membeli (alat) rapid," tuturnya.

Sedangkan Wakil Ketua Ombudsman Lely Pelitasari Soebekty menengarai ada indikasi komersialisasi penggunaan alat rapid test Covid-19.

“Karena bisa jadi ini hukum ekonomi bekerja,” kata Lely dalam diskusi Perspektif Indonesia, seperti dikutip dari Tempo, Sabtu (4/7).

Menurut Lely, pada awal pandemi Covid-19 alat rapid test langka dan biayanya tinggi. Bahkan pemeriksaan melalui PCR di rumah sakit swasta pun berbiaya mahal.

Belakangan, rapid test menjadi syarat bagi masyarakat yang akan naik pesawat. Beberapa rumah sakit di Jakarta juga mensyaratkan orang yang akan berobat harus lolos rapid test dan rontgen paru. “Jadi berbeda satu unit layanan dengan unit lainnya.

Lely berpendapat perlu ada standarisasi layanan rapid test Covid-19 baik dari segi biaya maupun regulasi. Pemerintah harus mengintervensi dalam kondisi luar biasa seperti saat ini.

Maraknya rapid test salah satunya ada di Surabaya. Hal ini terkait kebijakan Walikota Surabaya, Tri Risma Harini yang mengharuskan peserta Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) untuk menjalani rapid test sebagai syarat wajib mengikuti ujian.

Sejumlah peserta UTBK mengeluhkan kebijakan tersebut. Salah satunya calon mahasiswa, Ilyas Kurniawan. Ia mempertanyakan keputusan Pemkot Surabaya mengeluarkan kebijakan tersebut secara mendadak. Ia juga keberatan karena harus merogoh biaya lagi untuk melakukan rapid test.

"Kenapa ini keluarnya [aturan] mendadak," kata Ilyas, menyesalkan, Jumat (3/7). Belum lagi soal biaya yang harus dikeluarkan untuk sekali rapid test berkisar Rp200 ribu. Bagi Ilyas nominal itu bukanlah harga yang murah.

"Mahal buat rapid test harus keluar uang Rp200 ribu," ujarnya. Semestinya, kata Ilyas, jika Pemkot Surabaya mewajibkan aturan tersebut, maka haruslah juga memfasilitasi biaya rapid test bagi para peserta, bukan malah makin membebani.

Sebelumnya, Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini mewajibkan seluruh peserta UTBK SBMPTN, untuk menunjukkan hasil rapid test corona (Covid-19) sebagai syarat mengikuti ujian.

Hal itu termaktub dalam surat edaran Wali Kota Surabaya kepada 4 rektor kampus negeri di Surabaya yakni Unair, Unesa, UPN Veteran Jatim dan ITS. *

Komentar