nusabali

Dibenci dan Disayang

  • www.nusabali.com-dibenci-dan-disayang

Kaum pendatang dari Lombok dan Jawa tiada kunjung habis dibahas di Bali. Tanggapan yang dilontarkan bermacam-macam, mulai dari mereka yang jengkel sampai yang bersyukur.

Dari yang diuntungkan hingga yang dirugikan. Hampir tak ada orang Bali yang netral menyikapi kehadiran kaum pendatang. Masing-masing punya alasan sendiri, terpilah dua: yang berpihak dan yang memusuhi.

Kehadiran kaum pendatang di Denpasar misalnya, menjadikan kota ini sebagai kawasan multi ras. Kehadiran mereka membuat rata-rata pertumbuhan penduduk Denpasar 3,20% per tahun. Pertumbuhan tertinggi terjadi di Denpasar Selatan, rata-rata 4,77% per tahun.

Pesatnya pertambahan penduduk tentu menyebabkan Denpasar, yang luasnya 127,78 km2, semakin sumpek, kepadatannya 4.878 orang/km2 tahun. Tentu ini disebabkan oleh kehadiran kaum pendatang, tidak semata oleh orang Bali atau warga Denpasar yang beranak pinak.

Jumlah orang Bali tentu tidak berkurang di Bali, namun tetap saja muncul tanggapan negatif terhadap demikian pesatnya kehadiran kaum pendatang. Tetapi yang bersyukur tentu juga banyak. Mereka bersyukur karena, misalnya, kaum pendatang ikut memacu pertumbuhan perekonomian Bali. Tenaga kerja murah gampang diperoleh, sehingga orang Bali tak lagi jual mahal dalam bidang jasa.

Persaingan tenaga kerja ini juga memicu orang Bali untuk meningkatkan kualitas diri. Di bidang grafis, percetakan, misalnya, tenaga kerja terbaik justru ada di antara kaum pendatang. Tukang cetak terbaik di Denpasar dikuasai oleh anak-anak muda dari Malang, Jawa Timur, karena mereka mengenyam pendidikan sekolah menengah grafika di tanah asalnya. Kini banyak operator cetak orang Bali yang belajar pada arek-arek Malang itu.

Orang Bali yang tak suka pada kaum pendatang, antara lain, karena mereka dianggap sebagai biang keladi ketidaknyamanan dan ketidakamanan. Mereka dianggap suka mengganggu, tukang usik ketenteraman dan kedamaian.

Kaum pendatang itu dinilai kurang memahami adat istiadat Bali, sehingga mustahil mereka sudi turut menjaga fanatisme, keunikan, dan keaslian Bali. Tak bakalan mereka bersedia melakukan konservasi terhadap Bali, tidak ikut bertanggungjawab akan kelestarian Bali.

Mereka juga dituding sebagai perebut lahan kerja dan rejeki orang Bali. Diam-diam orang Bali mengakui dalam hati, kaum pendatang itu sesungguhnya pesaing berat. Kelak mereka akan membuat orang Bali terdesak. Merekalah yang akan mengalahkan orang Bali.

Tetapi orang Bali yang berpikir positif terhadap kehadiran kaum pendatang juga banyak. Kelompok ini berupaya terus untuk mengungguli kaum pendatang itu, dan berupaya mempertahankan posisi di atas, sebagai pemenang. Mereka mengaku diuntungkan oleh kaum pendatang, sehingga senang bekerja sama dengan mereka. Jika kaum pendatang itu mengganggu ketenteraman, ya diusut dan dihukum saja. Bukankah orang-orang Bali asli, orang lokal, tak kalah banyak yang suka berbuat onar dan merugikan?

Jadilah kaum pendatang itu sebagai sosok yang dibenci dan juga disayang. Mereka yang membenci kadang bisa terbalik menyayangi, karena kaum pendatang itu berjasa mengeduk kakus dengan ongkos murah, misalnya. Atau ketika semua buruh bangunan dan tukang Bali sibuk melaksanakan upacara adat di kampung, tenaga kerja pendatang itu menjadi andalan untuk merampungkan pekerjaan.

Dalam keadaan begitu, diam-diam orang Bali yang tengah kebingungan menyelesaikan proyek berujar, “Untung ada orang Lombok!” Atau, “Kalau saja tidak ada orang Jawa, tak bakalan beres tepat waktu proyek saya!”

Karena itu, kini pengusaha-pengusaha Bali mulai menerapkan tenaga kerja campuran di perusahaannya. Sebagian orang Bali, selebihnya pekerja pendatang. Dengan cara begitu, produksi bisa tetap berjalan sepanjang tahun. Keadaan ini tentu menyebabkan orang Bali yang tak senang pada kaum pendatang semakin dongkol.

Tetapi, suka atau tidak, sayang atau benci, kaum pendatang akan mengalir terus ke Bali. Tentu menarik untuk mengamati, apakah orang Bali semakin risau, atau justru semakin biasa-biasa saja, jika kaum pendatang kian memadati Bali.

Wabah Covid-19 menyebabkan mereka yang dibenci dan disayang berubah dan berkembang. Tenaga kerja migran Bali yang disayang, disanjung-sanjung, dibanggakan, akhirnya dicurigai dan dibenci akan menularkan virus ketika mereka pulang. Tempat karantina mereka ditolak. Inilah pertama kali orang Bali menjadi pendatang di tanah kelahiran mereka sendiri. Dan dibenci.

Wisatawan asing yang dulu disayang karena menumpahkan banyak dollar juga dicurigai dan dibenci karena bisa menularkan virus. Bule yang kumpul dalam acara yoga atau berkerumun dalam pesta, dituding tidak senonoh dan bisa aktif menyebar virus.

Siapakah sanggup meramal, sekian puluh tahun lagi, apakah orang Bali berhasil ‘menguasai’ kaum pendatang, atau kaum pendatang akan ‘menundukkan’ Bali? Mungkin juga muncul wabah lain yang mengubah sudut pandang orang Bali tentang siapa mesti dibenci, siapa pula harus disayang. *

Aryantha Soethama
Pengarang

Komentar