nusabali

MUTIARA WEDA: HK vs HB

Iti te jñānam ākhyātam guhyād guhyataram mayā, Vimrsyaitad asesana yathecchasi tathā kuru. (Bhagavad-gita, 18.63)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-hk-vs-hb

Itulah pengetahuan, rahasia dari yang paling rahasia, telah Aku ajarkan kepadamu. Dengan bercermin padanya, lakukan apapun yang kamu inginkan.

ADA masanya sikap menolak itu bijak. Mengapa? Karena, menurut teks di atas, setelah merefleksikan diri pada pengetahuan (melalui pengamatan langsung maupun dari sumber lainnya), kita merasa telah berada pada kebenaran, dan dari pijakan kebenaran itu, kita bertindak untuk menolak apapun yang tidak sesuai dengan kebenaran yang direfleksikan. Pertama, jika ada orang yang berani mengancam eksistensi keyakinan dan tradisi yang diwarisi di tanahnya sendiri, maka melawan ancaman itu adalah tindakan yang benar. Kedua, jika ada orang berupaya mengganti cara berpikir atas sebuah keyakinan luhur yang telah lama dipegang, maka menolak cara berpikir baru itu adalah benar. Ketiga, jika ada orang yang berani menggunakan atribut budaya lokal, dan kemudian secara bersamaan berupaya menghancurkan nilai-nilainya, maka menolak keberadaan orang ini adalah benar. Setelah merefleksikan itu semua, dan kita berada pada posisi yang benar, maka menolak adalah tindakan yang bijak. Apapun kekuatan yang berupaya untuk menghancurkan eksistensi, cara berpikir dan nilai-nilai luhur dari sebuah tradisi mesti dilawan.

Sebaliknya, mengapa mereka menggalang kekuatan dan berupaya menggantikan semua tata cara yang telah eksis sejak lama di tanahnya sendiri? Tentu mereka juga bercermin pada pengetahuan yang didapatkannya. Setelah merefleksikan itu, mereka merasa percaya diri bahwa mereka berada pada pihak yang benar dan kemudian bertindak atas kebenaran yang diyakininya. Mereka juga merasa tindakannya itu bijak. Pertama, mereka menemukan bahwa tradisi itu merepotkan, mahal, dan tidak mengarahkan langsung pada Realitas Mutlak, sehingga mereka merasa terpanggil untuk melakukan perubahan. Kedua, mereka merasa bahwa tradisi itu telah out of date, tidak sesuai dengan zaman dan bersifat tamasik, sehingga mereka merasa penting untuk melakukan penyegaran. Ketiga, alasan terpenting yang membuat mereka secara agresif dan penuh percaya diri untuk segera melakukan perubahan adalah merasa telah menemukan kebenaran yang terbenar. Mereka ingin agar semua orang berada pada kebenaran tertinggi itu. Mereka melihat bahwa mengajak orang lain untuk
berada pada kebenaran tertinggi seperti mereka adalah upaya luhur dan bijak.

Jika diperhatikan, keduanya berjalan berlandaskan pada kebenaran. Namun, mengapa saling ribut? Tentu ada masalah mendasar di dalamnya. Ada tembok penyekat sehingga tidak ada ruang dialog. Untuk itu diperlukan penengah yang mampu menggeser tembok penghalang tersebut. Masalahnya, apakah mungkin terjadi dialog? Tentu itu sangat memungkinkan jika tensi di antara keduanya bisa diturunkan. Demikian juga fondasi perjuangan mereka adalah kebenaran. Kebenaran bertemu kebenaran biasanya sulit menimbulkan perpecahan. Jika memang sama-sama murni, pertemuan kedua kebenaran tersebut akan melahirkan perbaikan-perbaikan. Sebaliknya, jika tidak seimbang, maka yang tetap bertahan adalah yang murni. Jika kedua kebenaran mesti diadu, maka siapapun yang berpegang pada kebenaran yang murni akan tetap ada, sementara kebenaran yang tidak murni, akan lenyap. Maksudnya kebenaran murni adalah kebenaran yang memang selaras dengan hukum semesta, dan kebenaran yang tidak murni adalah kebenaran yang muncul dari sebuah persepsi saja, yang t
idak sejalan dengan prinsip-prinsip semesta.

Seperti misalnya, keberagaman adalah prinsip semesta. Siapa pun orang yang berpegang pada prinsip ini bisa dikatakan berada dalam kebenaran murni. Tetapi ada pemikiran yang memandang bahwa hanya apa yang diyakininya saja sebagai kebenaran tertinggi. Apapun di luar keyakinan itu dianggap kurang benar. Menurut cara berpikirnya sendiri mungkin benar, makanya disebut kebenaran, tetapi kebenaran tidak murni karena memaksakan bahwa apa yang diyakininya sebagai kebenaran tertinggi, dan orang diajak untuk mengikuti jenis kebenaran ini. Dalam sejarah perkembangan agama-agama, cara berpikir inilah yang melahirkan fundamentalis, radikalis, yang nantinya berujung pada anarkisme. Rasa percaya diri yang berlebihan atas kebenaran yang diyakininya itu bisa menegasi kebenaran lainnya. Namun, kerja semesta biasanya sempurna. Apapun yang hadir jika tidak sesuai dengan prinsip semesta akan lenyap, apakah dilenyapkan oleh perlawanan yang dilakukan oleh orang-orang sekitarnya, atau dihancurkan oleh dirinya sendiri. *
 
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta

Komentar