nusabali

Berdagang Keliling

  • www.nusabali.com-berdagang-keliling

Banyak pendapat muncul, orang Bali itu lebih berbakat jadi petani tinimbang sebagai pedagang, sehingga perilaku mereka sangat akrab dengan alam.

Mereka menjadi manusia jujur, tinimbang kaum pedagang yang harus pintar bermanis bibir menjual dagangannya, yang mesti berbohong membeli murah mengaku mahal, ngomongnya rugi padahal untung besar.

Kalau pun jadi pedagang, orang Bali jualan di warung, menetap, para pembeli yang datang. Zaman dulu, banyak kaum tani yang juga berdagang hasil bumi yang mereka panen. Mereka menjualnya di pasar-pasar, yang hari pasarannya tiga hari sekali. Jika ada yang ingin tahu, dulu, bagaimana orang Bali berdagang, ya datanglah ke pasar tiga-harian itu.

Tapi, tidak berarti orang Bali cuma mengenal jual-beli di warung. Beberapa ada yang jualan keliling, namun jumlahnya sangat sedikit. Kalau pun mudah dijumpai, mereka menjual tuak manis tiap hari pasaran itu, misalnya. Pedagang kopi keliling di tengah pasar boleh jadi baru dikenal setelah kita merdeka. Ada juga yang menjajakan kue menggunakan niru disunggi, sambil berteriak “pisang gorenggg…. pisanggg….. “ pagi-pagi. Selain menjual pisang goreng, ia juga menjual pulung-pulung ubi dan kelepon.

Tentu tidak keliru jika kemudian muncul pendapat yang menyatakan, orang Bali itu tidak mengenal budaya berjualan keliling dari rumah ke rumah. Walaupun sejak dulu ada pedagang es keliling, itu dilakoni oleh pekerja pendatang, atau pekerja bukan orang Bali, namun lama menetap di Bali.

Di Klungkung, misalnya, sejak dulu ada pedagang es tape keliling menggunakan rombong, dan itu dilakukan oleh bukan orang Bali. Ada juga pedagang kacang ijo yang memikul dagangannya ke sekolah-sekolah dan keliling kota, dan dilakoni oleh bukan orang Bali. Di Klungkung tidak ada orang Bali yang menjual serombotan, tipat santok, atau daluman, keliling. Mereka menetap berjualan di satu sudut, di warung atau di kaki lima. Tidak pernah keliling.

Sekarang pun yang berdagang keliling itu kebanyakan bukan orang Bali, tapi kaum pendatang. Ibu-ibu di kompleks perumahan tentu tahu persis siapa penjual sayur keliling langganan mereka saban pagi. Di kota-kota, di daerah urban seperti Denpasar, pedagang sayur keliling ini meluncur ke rumah-rumah menggunakan sepeda motor. Mereka memacu motor yang dipenuhi sayur hijau dan kebutuhan dapur.

Begitu banyak bawaan mereka sampai-sampai motor mereka tak tampak, yang kelihatan cuma seperti bukit hijauan meluncur di jalan raya, bersanding orang-orang jogging olahraga pagi.

Ada di antara mereka, kebanyakan dari Jawa, puluhan tahun menjadi pedagang sayur keliling. Jualan sejak muda, sampai berumah tangga, dan menikahkan anaknya dari hasil menjual sayur dan kebutuhan dapur. “Sebentar lagi saya punya cucu,” ujarnya berbinar kepada ibu-ibu langganannya.

Kompleks perumahan semakin bertumbuh, semakin subur pula populasi pedagang sayur keliling itu. Kian banyak para pekerja mencari nafkah di Bali sebagai pedagang keliling. Di antara para pedagang keliling itu, sulit sekali, jangan-jangan memang tidak ada, orang Bali. Jika ada yang berpendapat karena orang Bali di perkotaan malas bangun pagi membawa keliling dagangannya, tentu itu pendapat keliru. Pedagang di pasar-pasar banyak orang Bali. Tapi, hampir semua perempuan. Pedagang sayur keliling itu semuanya lelaki, belum ada yang perempuan. Bisa jadi, lelaki Bali ogah menjadi pedagang keliling.

Tidak juga sepenuhnya benar menyudutkan lelaki Bali enggan jualan keliling. Di Denpasar banyak bisa dijumpai lelaki yang mengayuh sepeda menjual nasi-lawar. Banyak yang berjualan dengan bermotor. Lawar, lauk serapah, yang dibungkus daun ditaruh di belakang menggunakan keranjang. Para penjual keliling ini sering keluar-masuk perumahan, acap mangkal di alun-alun. Yang dijual biasanya lawar babi. “Warrrrr…. lawarrrr…..” begitu mereka berteriak menjajakan dagangan yang banyak diminati orang Bali, bahkan sering dinanti-nanti. Mereka berkeliling mulai pagi, siang hingga sore.

Tidak hanya lelaki yang menjual lawar berkeliling, ada juga perempuan, tapi tidak naik sepeda, tidak bermotor. Wanita pedagang keliling ini selain menjual lawar babi, juga kadang-kadang menjual daging (serapah) penyu. Ia mulai jualan pukul setengah sembilan di Pantai Sindhu Sanur, dekat Luhtu’s Coffee Shop. Hanya setengah jam dia diam, setelah itu ia akan menyunggi dagangannya ke selatan, melewati Pantai Karang, Pantai Semawang, sampai Pantai Mertasari.

Di banyak tempat wanita pedagang keliling ini berhenti, melayani pelanggan, para karyawan penginapan, pub, kedai kopi, restoran, warung-warung, di sepanjang pantai. Beberapa yang sedang olahraga di jogging track berhenti membeli sayur, penganan, atau kerupuk yang dibawanya. Kelihatan ia bugar, jalan kaki saban hari belasan kilometer.

Boleh jadi ia satu-satunya wanita Bali pedagang keliling menjual nasi-lawar. Wanita lain keliling menjual buah potong, paling banyak pepaya dan melon, dan pisang rebus, di Denpasar. Para wanita ini, banyak yang muda, menelusuri jalan dan kantor-kantor, karena kebanyakan pelanggannya para karyawan.

Jadi, siapa bilang orang Bali bukan pedagang keliling yang ulet? Belum lagi para pedagang lumpia di alun-alun yang sering diusir satpol dan tibum ketika melayani pembeli. Pedagang-pedagang itu orang Bali. Banyak juga bisa dijumpai di pantai Sanur.

Perkembangan zaman, pergulatan hidup, mengharuskan orang Bali menjadi lebih ulet. Banyak yang punya pengalaman menjadi pedagang acung, berkeliling menjajakan barang seni kepada turis. Entahlah, mengapa tidak ada yang mencoba menjadi pedagang sayur keliling. Mungkin bakat dan takdir orang Bali beda dengan pekerja pendatang. Bukankah pernah muncul gegap gempita pedagang bakso keliling yang dilakoni orang Bali, dan bangkrut, tidak berlanjut?

Aryantha Soethama
Pengarang

Komentar