nusabali

Makam Dirawat Bersama oleh Keluarga Hindu dan Konghucu

Keunikan Makam Syeh Hasan-Banten di Pekarangan Rumah Krama Bali di Banjar Sangging, Kelurahan Gianyar

  • www.nusabali.com-makam-dirawat-bersama-oleh-keluarga-hindu-dan-konghucu

Mereka yang merawat dan haturkan sesajen saban hari di Makam Syeh Hasan-Banten adalah keluarga Dewa Putu Suastika (Hindu) dan keluarga Made Atimbawa (Konghucu)

GIANYAR, NusaBali

Di Banjar Sangging, Kelurahan Gianyar, Kecamatan Gianyar terdapat sebuah makam kuno bernama Makam Syeh Hasan-Banten. Makam yang diperkirakan sebagai kuburan jenazah salah seorang tokoh Muslim ini berada di pekarangan krama Hindu setempat, Dewa Putu Suastika, 42. Uniknya, makam ini dirawat oleh keluarga Dewa Putu Suastika dan dijaga keluarga pemeluk Konghucu di Banjar Sangging, Made Arimbawa (almarhum).

Tak salah jika keberadaan Makam Syeh Hasan-Banten ini disebut sebagai salah satu wujud toleransi pemeluk agama berbeda: Islam, Hindu, dan Konghucu. Namun, tidak banyak orang tahu tentang lokasi makam ini. Pasalnya, untuk menuju lokasi Makam Syeh Hasan, lebih dulu harus melintasi gang sempit di sebelah utara Pura Penataran.

Lokasi Makam Syeh Hasan ini berada di kawasan Jalan Kapten Dipta Gianyar, sekitar 200 meter arah selatan dari Lapangan Astina Gianyar menuju Kelurahan Abianbase. Makam ini dibangun di atas pekarangan seluas 2 are milik keluarga Dewa Putu Suastika. Makam ini hanya berbatas tembok di belakang bangunan rumah keluarga almarhum Made Arimbawa, pemeluk Koghucu.

Pantauan NusaBali. luas bangunan Makam Syeh Hasan berbentu persegi empat ukuran 5 meter x 5 meter. Posisi bangunan ini menyudut di pojok barat laut pekarangan. Sedangkan luas kamar makam berbentuk persegi panjang dengan ukuran 5 meter x 3,5 meter.

Makam Syeh Hasan ini berundak tiga, membentang utara-selatan, dengan panjang 2,5 meter, di mana posisi kepala di utara. Di bagian depan bangunan makam ada tempat wudhu dan amben (halaman seluas 5 meter x 1,5 meter). Di tembok makan terdapat tulisan Makam Syeh Hasan-Banten. Semenrara di sisi timur bangunan makam, yang berjarak hanya sejengkal, terdapat Merajan Kemulan berisi palinggih lengkap.

Ketika NusaBali berkunjung ke Makam Syeh Hasan, Senin (25/5) siang, istri almarhum Made Arimbawa, Made Rusmini, 69, tengah menghaturkan sesajen di makam ini. Menurut Made Rusmini, tidak ada catatan sejarah yang pasti tentang Makam Syeh Hasan. Setahunya, makam ini dirawat oleh mertuanya (semasih hidup), Made Tiksna alias The Tjing Tik.

Berdasarkan penuturan para tetua yang pernah didengarnya, kata Rusmini, Makam Syeh Hasan terkait dengan perkembangan Islam di Kabupaten Gianyar, khususnya di Kampung Muslim Sindu, Desa Keramas, Kecamatan Blahbatuh yang berjarak sekitar 4 km arah selatan dari posisi makam. “Saya sempat mendengar cerita kalau tokoh Muslim ini (Syeh Hasan, Red) meninggal karena sakit saat penyebaran agama Islam. Beliau meninggal di tempat ini dan langsung dimakamkan di sini,” cerita perempuan berusia 69 tahun ini.

Terkait nama makam yakni ‘Makam Syeh Hasan-Banten’, menurut Rusmini, karena Syeh Hasan gerasal dari Banten. Ini diketahui atas petunjuk tiga paranormal yang sempat ditanya almarhum suaminya, Made Arimbawa.

“Makam ini dirawat oleh keluarga sejak mertua saya masih hidup. Maka, kami pun melanjutkannya. Kami setiap hari menghaturkan sesajen jenis kue dan wangi dupa. Kami berdoa di pusara makam secara Konghucu. Kami hanya mohon agar diberi keselamatan,” papar Rusmini.

Selain keluarga Made Atrimbawa, keluarga Dewa Putu Suastika juga merawat Makam Syeh Hasan. Setiap hari, keluarga Dewa Suastika menghaturkan sesaji di makam yang berada di pekarangan rumahnya ini. Kebetulan, Makam Syeh Hasan berada dalam satu natah (pekarangan) dan berhadap-hadapan dengan rumah Dewa Suastika.

Dewa Suastika menjelaskan, lahan pekarangan seluas 2 are yang ditempati dan berisi Makam Syeh Hasan ini merupakan tanah ayahan desa milik Banjar Adat Sangging, namun awalnya tidak ada yang menempati. Karena tanah kosong, kemudian 11 krama Banjar Sangging, termasuk orangtua Dewa Suastika, mohon tanah itu untuk dijadikan tempat tinggal.

Dari hasil undian bersama 11 krama lainnya, ayah Dewa Suastika yang beruntung dapat jatah untuk menempati tanah tersebut. Selanjutnya, Dewa Suastika bersama keluarga kecilnya tinggal di tanah berisi Makam Syeh Hasan ini sejak tahun 2015. “Sebelumnya, saya tinggal di Denpasar, karena orangtua saya tidak punya rumah di Gianyar,” ungkap Dewa Suastika didampingi sang istri, Jero Ketut Deniasih, 39, saat ditemui NusaBali di rumahnya, Senin lalu.

Sementara, Jero Ketut Deniasih mengatakan saat awal-awal tinggal di pekarangan berisi Makam Syeh Hasan ini, dirinya merasakan aura angker. Maklum, pekarangn termasuk makam sebelumnya kurang terawat dan banyak tumbuhan liar. Beberapa kali sempat tercium bau bau harum, terutama sore hari.

“Bahkan, setiap Jumat, saya merasakan ada beberapa orang berbaju koko putih menuju pintu makam. Tapi, setelah saya pastikan, tidak kelihatan apa-apa. Ini bukan mimpi,” kenang perempuan asal Desa Jehem, Kecamatan Tembuku, Bangli ini.

Guna mencegah ketakutan berkepanjangan dan agar terhindar dari hal-hal gaib, Jero Ketut Deniasih sempat mendatangkan orang pintar ke Makam Syeh Hasan. Dari hasil penerawangan orang pintar, makam ini adalah kuburan jenazah seorang kakek. Orang pintar juga menyampaikan roh jenazah itu mohon sajen pada rahina tertentu, yakni tiap Jumat Umanis, berupa air kembang, kopi, dan jaja basah.

Setelah petunjuk orang pintar diikuti dengan merawat Makam Syeh Hasan, Jero Ketut Deniasih mengaku tidak pernah lagi merasakan hal aneh-aneh di pekarangan rumahnya, baik siang maupun malam hari. Setiap hari, sebelum menyuguhkan sesajen di makam, Jero Ketut Deniasih juga menghaturkan banten saiban di Merajan Kemulan.

“Haturan di merajan tentu yang utama. Tiyang sangat bersyukur bisa menjalani hidup dengan keyakinan seperti ini dan diberikan kesehatan untuk keluarga. Kami juga baik-baik di sini,” tutur ibu tiga anak dari pernikahannya dengan Dewa Putu Suastika ini.

Jero Ketut Deniasih juga mengaku hampir setiap hari membersihkan kamar Makam Syeh Hasan hingga halaman depan. Namun, kegiatan rutin ini tidak dilakukan jika sedang datang bulan (menstruasi).

Menurut Jero Deniasih, suatu ketika pernah anaknya yang masih bayi ngambek karena sakit. Saat itu pula dia menaruh air putih dalam gelas di pusara Makam Syeh Hasan. Dia berucap-ucap agar Mbah Syeh Hasan memberikan obat kesembuhan anaknya. “Ajaib, ternyata setelah minum air putih tersebut, anak saya perlahan sembuh. Saya percaya cerita orang bahwa Mbah Syeh Hasan dulunya seorang dukun,” terang Jero Deniasih.

Jero Deniasih menyebutkan, Makam Syeh Hasan di pekarangan rumahnya ini sering didatangi warga Muslim dari luar Gianyar, untuk berziarah. Bahkan, ada warga Muslim dari Jawa yang mengaku terpanggil untuk berziarah ke Makam Syeh Hasan.

Suami Jero Deniasih, Dewa Putu Suastika, mengatakan jika nanti punya cukup biaya, dia akan merehab bangunan Makam Syeh Hasan itu. “Kami akan rehab terutama atap, pintu, dan jendela makam yang sudah rusak parah. Kalau hujan, atapnya pasti bocor,” ungkap Dewa Suastika, yang kesehariannya karyawan bagian operator sebuah perusahaan taksi di Denpasar.

Sementara itu, Ketua Yayasaan Nurul Hikmah Kabupaten Gianyar, Abdul Muhri Mulyono, 64, mengaku sering mendengar informasi soal Makam Syeh Hasan tersebut. Namun, sejak tinggal menetap di Lingkungan Panglan, Banjar Pasdalem Kelod, Kelurahan Gianyar, 5 Januari 1980, Abdul Muhri belum pernah datang ke makam ini. “Saya juga tidak tahu sejarah keberadaan Makam Syeh Hasan,” ujar tokoh Muslim asal Desa Taman Sari, Kecamatan Wuluhan, Jember, Jawa Timur ini kepada NusaBali. *isa

Komentar