nusabali

BELAJAR MERDEKA, MERDEKA BELAJAR

  • www.nusabali.com-belajar-merdeka-merdeka-belajar

Dua pasangan kata ‘belajar’ dan ‘merdeka’, ketika dibalik strukturnya akan bermakna berbeda. Secara lugas, ‘merdeka’ bermakna perolehan  kendali penuh dalam tindakan atau kegiatan.

Menurut paham Behaviorisme, ‘belajar’ dikatakan berhasil ketika seseorang dapat menunjukkan perubahan terhadap sikap, pengetahuan, maupun keterampilannya. Ketika dirangkai ‘belajar merdeka’ mengandung arti dalam. Ketika negara memeroleh kemerdekaan, ia harus mengisi kebebasan itu dengan tujuan. Ia harus melakukan pembangunan di segala bidang. Ia harus mengelola sumber daya yang dimiliki untuk mewujudkan tujuan, dan sebagainya.

Analog dalam pembelajaran, civitas sekolah harus belajar merdeka. Ada dua pertanyaan singkat: 1) merdeka dari apa dan siapa, 2) merdeka untuk apa. Pertanyaan merdeka dari apa ditujukan pada penentuan tujuan. Apakah setiap sekolah bisa dan mampukah merumuskan tujuan? Kalaupun tidak mampu merumuskan sendiri, dapatkah mencari cara atau jalan untuk mencapai tujuan secara produktif? Sedangkan ‘merdeka dari siapa’ bermakna bebas dari perencanaan terpusat. Misalnya, kurikulum yang dirancang  oleh Pusat. Ini terjadi mungkin karena alasan standarisasi atau ketidak-mampuan daerah dan lainnya.

Merdeka untuk apa bertanya tentang kedaulatan.  Secara filosofis, kemerdekaan merupakan hak azasi manusia. Kalau tidak merdeka, maka hak manusia dibelenggu. Demikian juga hal dengan pembelajaran. Kalau aspek pembelajaran dikekang apa mungkin terjadi interaksi multi-arah? Apa mungkin terjadi demokratisasi dalam pembelajaran? Apa mungkin terjadi kolaborasi produktif? Dan, apa mungkin berpikir kritis dapat dihadirkan dalam pembelajaran? Jadi, belajarlah dulu tentang kemerdekaan tersebut sebelum merdeka belajar!

Mendikbud RI, Nadiem Anwar Makarim, menyampaikan kebijakan yang dikenal ‘merdeka belajar’. Merdeka belajar menjadi tagline besar dalam peringatan Hari Guru Nasional 2020. Pada hakekatnya, kebijakan Mas Menteri bertujuan membebaskan kalangan pendidik dari perangkap. Perangkap itu, antara lain ketidak-mampuan membedakan cara dengan tujuan. Sistem terjebak pada administrasi pendidikan, semua sibuk menyiapkan berkas.  Sistem terjebak pada ketentuan-ketentuan birokrasi, akreditasi, nilai dan ujian. Kesemua itu terbukti tidak menempatkan bangsa dan negara di peringkat tinggi.

Kemdikbud merilis pencapaian nilai Programme for International Student Assessment (PISA) yang amat memprihatinkan.PISA merupakan sistem ujian. Tujuannya untuk mengevaluasi sistem pendidikan dari 72 negara di seluruh dunia. Setiap tiga tahun, siswa berusia 15 tahun dipilih untuk mengikuti tes membaca, matematika dan sains. Hasilnya sudah diumumkan secara terbuka. Nilai PISA cukup menyedihkan, yaitu Indonesia belum beranjak dari papan bawah. Pada 2018,  nilai  membaca, matematika, dan sains adalah 371, 379, dan 396. Nilai ini mengalami penurunan dibanding tes di tahun 2015, yaitu membaca (397), matematika (386), dan sains (403). Pada 2012,  skor membaca memiliki skor 396 !

Mungkin karena alasan tersebut mas Menteri melakukan inovasi menggetarkan.  Perubahan kurikulum berpendekatan saintifik dan kurikulum berbasis kompetensi ternyata tidak mampu mengangkat derajat pendidikan di Indonesia. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, mas Menteri - Nadiem Anwar Makarim menetapkan empat program pokok kebijakan pendidikan ‘Merdeka Belajar’. Empat program pokok kebijakan pendidikan tersebut akan menjadi arah pembelajaran ke depan. Ia berharap pemerintah daerah dan pusat dapat bergerak bersama dalam memeratakan akses dan kualitas pendidikan.

Arah kebijakan baru penyelenggaraan USBN, akan diterapkan dengan ujian yang diselenggarakan hanya oleh sekolah. Ujian tersebut dilakukan untuk menilai kompetensi siswa. Penyelenggaraan UN tahun 2021, akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa, kemampuan bernalar menggunakan matematika, dan penguatan pendidikan karakter.

Sedangkan untuk penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran akan disederhanakan. Dalam kebijakan baru tersebut, guru secara bebas dapat memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan format RPP. Tiga komponen inti RPP terdiri dari tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen. Dalam penerimaan peserta didik baru tetap menggunakan sistem zonasi dengan kebijakan yang lebih fleksibel. Semoga terobosoan berani ini membuahkan hasil maksimal! *

Prof.Dewa Komang Tantra,MSc.,Ph.D.
(Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya)

Komentar