nusabali

Covid-19 Bangkitkan Roh Kearifan Bali

  • www.nusabali.com-covid-19-bangkitkan-roh-kearifan-bali

Penggunaan pinget berupa pandan dan kelengkapannya itu merupakan kearifan tradisi spritual Bali kuno yang tak pernah usang. Lebih-lebih saat terjadi grubug atau bencana wabah penyakit datang seperti Covid-19 ini,

GIANYAR,  NusaBali

SETIDAKNYA sejak Ngembak Geni, sehari perayaan Nyepi Tahun Baru Saka 1942, Rabu (23/3), banyak krama khususnya di Bali timur dan tengah, memasang pinget (tanda) di angkul-angkul atau pintu pekarangan. Tanda berupa daun pandan tiga potong diolesi pamor (kapur) bergambar tapak dara (tanda tambah). Tiga pandan ini diikat dengan benang tridatu (putih, merah, hitam) dilengkapi uang kepeng dan bawang, suna (bawang putih) serta cabai.

Tanda seperti ini membangkitkan memori orang Bali tentang kearifan lokal dalam menghadapi bencana wabah, seperti Covid-19 atau Corona kini.

Maraknya krama memasang pinget pandan berduri tajam itu berkisah dari Kulkul (kentongan) Pajenengan lanang-istri (laki-laki–perempuan) di  jaba (sisi luar) selatan Puri Agung Klungkung. Oleh kebanyakan krama di kejauhan, antara lain dari wilayah Kecamatan Sidemen, Karangasem, suara kulkul ini didengar berbunyi secara gaib pada Pangrupukan, Tilem Sasih Kesanga, Selasa (24/3) malam. Bercermin dari musibah bencana alam tempo dulu, suara kulkul ini diyakini sebagai penanda akan terjadi marabahaya atau musibah.

Penekun sastra agama Hindu Bali dari Desa Satra, Klungkung, I Dewa Ketut Soma mengatakan dalam tradisi bersastra di Bali ada  banyak sumber sastra yang mengurai tentang penggunaan don (daun) pandan berduri, benang tridatu, pamor, jinah bolong, bawang dan tabia tersebut. Di antaranya Lontar Bhama Kertih tentang tetandingan (pembuatan banten) Sesayut, tentang Caru Panyomia Bhuta (penyucian makhluk jahat nirtampak), tentang Pamayuh (penyucian), tentang Usadha (pengobatan), dan  lainnya.

Lumrahnya, penggunaan don pandan berduri dapat dilihat pada banten Beakala/Beakaon, Tebasan Pemiak Kala, Panyomia Bhuta, Peruwat Mala, dan lainnya. Penggunaan Benang Tridatu pada Banten Pasupati, Bagia Pulakerthi, Panyegjeg Gumi, Pamayuh dan sejenisnya. Penggunaan pamor dapat diketahui pada tandingan Pacanangan, Banten Pamangguh Pemali, dan yang lain. Sedangkan penggunaan Bawang pada Segehan, Tebasan Durmanggala Agung dan sejenisnya. Tabia (cabai) banyak digunakan pada Banten Pulagembal, Tandingan Jatah Ancak Bingin, dan sejenisnya. Jinah Bolong (uang kepeng) banyak digunakan pada Padagingan, Tandingan Pangenteg Bayu, Durmanggala, dan sejenisnya. ‘’Tapi, terkait dengan Kulkul Pajenengan Puri Agung Klungkung masuara (berbunyi) secara gaib itu, tidak ada munggah (termuat) dalam sastra,’’ jelas penyuluh agama Hindu yang ASN di Dinas Kebudayaan Klungkung ini.

Papar Dewa Soma, suara gaib Kulkul Pajenengan itu merupakan salah satu bagian dari tradisi spiritual Bali. Tradisi yang dilandasi keyakinan ini bermula dari kisah pada zamannya, Ida Bhatara Dwagung (Raja Klungkung) yang memiliki olah rohani dan spiritual mumpuni. Beliau mampu berkomunikasi secara gaib dengan Ida Bhatara Sakti Tohlangkir (Gunung Agung) dan Ida Dalem Nusa atau Ida Bhatara Dalem Ped. Dikisahkan, dalam kepercayaan Bali, sebagaimana tersurat dalam Babad Nusa, Ida Dalem Nusa memiliki 800an pasukan balasamar (makhluk halus). Sesuai bhisama Ida Bhatara Sakti Tohlangkir, pasukan ini hanya boleh memangsa orang-orang yang tidak pernah berbakti dan beryadnya. Sebaliknya pasukan ini wajib melindungi orang-orang yang taat berdoa dan beryadnya. Pasukan maya itu mencari mangsa saat tengai tepet (matahari tepat di atas ubun-ubun) dan sandikala (saat matahari beranjak malam) dan memasuki sasih kanem sampai Kasanga. ‘’Dari kisah ini lah, para tetua di Bali tidak mengizinkan keluarganya bepergiaan saat tengai tepet atau sandikala,’’ jelasnya.

Dalam situasi grubug atau pun gering, atas  pawisik yang diterima Ida Bhatara Raja Klungkung, agar rakyat memasang pinget (tanda) berupa gelang benang tridatu. Oleh Ida Bhatara Sakti, pasukan ini dilarang memangsa manusia yang telah memakai tanda itu. Selain itu, papar Dewa Soma, agar terhindar dari mangsaan itu, maka Ida Bhatara Dwagung (Raja Klungkung) pun minta kepada seluruh rakyatnya untuk membuat persembahan atau yadnya. Di saat gumi grubug (seluruh wilayah tertimpa penyakit hingga kematian), Ida Bhatara Sakti Tohlangkir membunyikan Kulkul Pajenengan di Puri Agung Klungkung ini secara gaib. ‘’Suara Kulkul ini sebagai tanda atau peringatan akan adanya gering, sabsab, mrana, grubug dan berbagai bencana lainnya,’’ jelasnya.

Guna menghindarkan diri jadi korban mangsa pengiring Ida Bhatara Dalem Ped, maka Ida Bhatara Dwagung juga memerintahkan agar rakyat memasang tanda di pintu pekarangan. Tanda dimaksud berupa pandan untuk menandai orang yang telah membuat persembahan atau yadnya.

Dewa Soma menyatakan pandan berduri difungsikan karena memiliki energi sebagai penolak baya agung. Paduannya dengan pamor berbentuk tapak dara karena memiliki daya magis dalam menetralisir segala bentuk kegeringan. Benang tridatu merupakan tiga kekuatan yakini merah bersifat panas/energi tenaga, hitam beraura tis/dayuh/sejuk, putih adalah sifat angin/penetral/penyeimbang.

Sedangkan bawang beraroma andih memiliki sifat tis (sejuk), tabia (cabai) memiliki sifat pedas (pembangkit), jinah bolong artinya nyihnayang (pembuktian), tumus (ketulusan).

Dewa Soma menegaskan, penggunaan pinget berupa pandan dan kelengkapannya itu merupakan kearifan tradisi spritual Bali kuno yang tak pernah usang. Lebih-lebih saat terjadi grubug atau bencana wabah penyakit datang seperti Covid-19 ini, maka kearifan lokal ini terbangktikan kembali baik dalam praktik niskala dan sekala. *lsa

Komentar