nusabali

Kepadatan Penduduk

  • www.nusabali.com-kepadatan-penduduk

Menurut sensus penduduk tahun 2010, luas wilayah pulau Bali 5.633 km². Jumlah penduduk Bali sebanyak 4,22 juta orang.

Saat ini, orang yang beraktivitas di gumi Bali mungkin melebihi 5 juta orang, termasuk yang wara wiri dan sebagainya.   Kepadatan penduduk aritmatik tersebut dapat dikatakan padat. Secara umum, kepadatannya meningkat setiap tahunnya. Pariwisata budaya Bali ditengarai sebagai pemicunya. Ia menjadi magnet kegiatan sosial, ekonomi, dan lainnya. Ia bagai ‘gula manis yang menarik berbagai rupa semut’! Ia juga bagai lukisan dengan aneka warna pluralisme.

Ideologi kehidupan masyarakat berubah menjadi berwajah jamak. Ada yang laten, tidak jelas misinya, atau manifest, jelas gerak dan langkahnya; ada juga yang melebur ke desa adat atau memisah dengan pandangan berbeda; ada yang kondusif menjalankan kewajibannya, atau berkonflik menggapai tujuan. Semua ini adalah ‘trade off’, keuntungan dan kerugian dari pariwisata budaya. Secara sosial, Bali menjadi tempat wisata yang menampilkan kebudayaan unik. Berbagai corak dan ragam budaya berbaur dengan apiknya. Tetapi, kadang membuahkan masalah, seperti narkoba, ketercabutan ‘secui naturam’, rasa kebalian asali dan sebagainya.

Secara ekonomi, pariwisata budaya Bali membuka lapangan kerja luas bagi siapa saja, tanpa  pembeda, karena menjunjung tinggi NKRI. Bali menjadi pusat kegiatan ekonomi. Sebagai pusat kegiatan ekonomi, ia menciptakan diferensiasi struktur ekonomi di masyarakat, menurut Leiper dalam Pitana dan Diarta (2010). Persaingan untuk meraih peluang tercipta. Krama Bali sering kalah ulet, kurang sigap, lamban kreativitas dibandingkan krama tamiu. Akibatnya, terjadi ketimpangan struktur ekonomi  pada krama Bali. Banyak krama Bali tidak bekerja, berpendapatan minimal, atau terpuruk dalam kemiskinan walau tetap semarak dalam beragama!

Dalam berwirausaha, krama Bali mulai kalah manuver. Dewasa ini, usaha kuliner lebih banyak dilakoni oleh krama tamiu, dengan label ‘bakso Malang, soto Solo, pecel Madiun, ayam Taliwang, atau ayam geprek’ dan sebagainya. Di tiap sudut kota, ada dagang nasi kuning gurih, murah, seragam rasa dan harga. Juga, dagang ‘canang sari’ atau banten lainnya yang dijual oleh krama tamiu. Kecenderungan seperti ini mendorong kecemburuan sosial, dan tentunya perbedaan struktur ekonomi pada masyarakat amat plural di Bali.

Kepadatan penduduk ini bisa menimbulkan permasalahan lainnya. Permasalahan yang dimaksud, antara lain terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana sosial, kesempatan kerja, stabilitas keamanan, serta pemerataan pembangunan. Aglomerasi penduduk yang tidak merata dan penyebaran pusat kegiatan ekonomi maupun budaya yang tidak merata dapat menimbulkan permasalahan lain. Penumpukan penduduk di Badung, misalnya, dapat mengurangi luas lahan produktif. Lahan produktif tergantikan menjadi perumahan atau tempat tinggal.

Sementara itu, daerah yang memiliki akses sulit ke pusat industri dimudahkan dengan cara membabat hutan untuk jalan. Tanah yang subur digantikan dengan beton walau sulit penyerapan airnya di kala hujan. Alternatif demikian memiliki resiko mengundang tanah longsor dan banjir bandang.   Kepadatan penduduk akan memiliki efek samping, seperti munculnya kawasan kumuh kota dengan rumah-rumah tak layak huni. Di samping itu, menurunnya kualitas lingkungan, sampah berserakan tak terangkut. Pemulung dan peminta-minta bertebaran, masuk-keluar kampung dan pemukiman. Kerawanan sosial semakin membayang! Akibatnya, stabilitas keamanan terganggu. Jadi, kepadatan penduduk akan mengganggu kenyamanan bersama.

Bagaimana alternatif terbaiknya, baik kebijakan maupun implementasinya ke depan?. Meningkatkan jumlah wisatawan domestik maupun internasional akan diikuti dengan penumpukan penduduk asli maupun pendatang. Secara faktual, kepadatan penduduk akan  berakibat pada persaingan dalam meraih pekerjaan dan penghasilan. Pluralitas kegiatan sosial, budaya, dan religius amat rentan menghasilkan pertentangan, konflik, persaingan tak sehat, dan lain sebagainya. Semoga ada titik jernih untuk dapat menghindari semua stigma pariwisata budaya tersebut. *

Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
(Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya)

Komentar