nusabali

MUTIARA WEDA: Merayakan Kemenangan

Mahamaadascha tayi sardhaam sindhutira samupaa yaayu. Uvacha vupatim premna mayamaad vishaarada. Tava devo Mahaaraj mama dasatva ma agatah. Mama Ucchitaam sa vunji yaddyatha tat pashya vonripa. (Bhavishya Purana, Prati Sarga: Bagian III, 3.3.17-20)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-merayakan-kemenangan

Mahamada bersama murid-muridnya telah mencapai tepi sungai Sindhu. Master ilusi ini dengan gagah berkata: “wahai Raja, Deva-mu (Siva) telah menjadi budakku. Raja, lihat Deva-mu itu memakan makanan sisa dariku!”

Diceritakan Raja Bhoja telah mengalahkan banyak negara seperti Gandhara (tempat tinggal bangsa Mleccha) dan Naravasa (Kashmir). Di tepi sungai Sindhu Raja Bhoja bersama prajurit, Kalidasa dan para Brahmana bertemu dengan seseorang bernama Mahamada bersama murid-muridnya. Raja Bhoja kemudian melaksanakan pemujaan kehadapan Siva. Mendengar doa tersebut Deva Siva menampakkan diri dan menasihati Raja Bhoja agar segera meninggalkan tempat tersebut, karena telah dikotori oleh orang-orang Mleccha asuhan Mahamada, menuju Vahika. Sampai di perbatasan Vahika, Arya Dharma (tradisi yang dibawa oleh bangsa Arya) telah dihancurkan oleh kaum Mleccha. Mahamada yang merupakan guru dari bangsa Mleccha itu adalah inkarnasi dari raksasa Tripura yang dulu pernah dihanguskan oleh Siva sendiri. Kelahiran kembali Tripura itu bertujuan untuk menunjukkan kemuliaan dan meluaskan dinasti keraksasaannya.  

Setelah mendengar perintah Siva, Raja Bhoja kemudian bersiap untuk berangkat. Namun, sebelum keberangkatannya, Mahamada berkata kepada Raja Bhoja dengan mengatakan bahwa Deva yang dipujanya itu telah menjadi budaknya. Bahkan Deva Siva telah memakan makanan sisa dari Mahamada. Mendengar itu, Raja Bhoja sempat bingung dan bahkan sempat berpikir untuk mengikuti ajaran Mahamada. Namun, Kalidasa, yang juga hadir di sana mengenali kekuatan tipu muslihat tersebut, menjadi marah. Kalidasa mengatakan “wahai bodoh, kau telah menipu raja dengan ilusimu itu. Aku akan membunuhmu wahai musuh Vahika”. Kalidasa kemudian mengucapkan mantra Navakshari sepuluh ribu kali. Devi Kali kemudian menganugerahkan kekuatan dan dengan kekuatan tersebut Mahamada bisa dihancurkan menjadi abu. Murid-muridnya pun ketakutan. Mereka mengambil abu gurunya itu dan kemudian menanamnya di bawah tanah. Tempat tersebut kemudian disebut Madhina Pura. Tempat itu dijadikan tempat suci bagi kaum Mleccha.

Tengah malam setelah itu, Deva Paisaca datang kepada Raja Bhoja mengatakan bahwa Arya Dharma adalah tertinggi dibandingkan dharma yang lainnya. Namun, Deva Paisaca akan menyebarkan dharma kaum Mleccha itu dengan menjelaskan ciri-cirinya. Siapa pun yang mengikuti dharma ini akan berupaya mengotori dharma yang murni. Deva Paisaca menegaskan bahwa dirinya akan menyebarkan dharma ini. Setelah berkata demikian kepada Raja, Deva Paisaca meninggalkan tempat, demikian juga Raja Bhoja. Setelahnya, Mleccha Dharma dibiarkan berkembang di seberang sungai Sindhu. Sementara itu, Raja Bhoja dalam rangka menjaga Arya Dharma mengajarkan Sankrit kepada tiga Varna (Brahmana, Ksatriya, dan Vaishya) dan bahasa Prakrit kepada kaum Sudra.

Menyimak cerita dan teks di atas, inti atau hal yang mendasari dari kedua Dharma yang berkembang itu adalah kemenangan. Arya Dharma menyatakan bahwa dharmanya itu murni, Deva Paisaca sendiri mengakuinya. Sementara Mleccha Dharma bersifat raksasa yang bisa mengotori kapan saja. Dengan ilusi Mleccha Dharma mencoba meraih kemenangan. Jadi, untuk meraih kemenangannya, Arya Dharma mesti tetap terlindung di negeri Vahika. Mereka bisa merayakan kemenangannya di sana. Demikian juga Mleccha Dharma, guna meraih kemenangannya, ia harus menggunakan tipu muslihat dengan mengatakan bahwa Deva lain, seperti Siva telah menjadi budaknya. Dan, kemenangan ini juga layak dirayakan. Perayaan Galungan dan Kuningan di Nusantara, yang merupakan perayaan kemenangan dharma atas adharma, dalam konteks para aspiran (bukan pada esensi kebenaran ajaran), sepertinya mirip seperti kemenangan Arya Dharma dan Mleccha Dharma ini. Dari sisi Arya Dharma, maka Mleccha Dharma bersifat adharma. Sementara itu, dari sisi Mleccha Dharma, dirinya sendiri adalah dharma, dan Arya Dharma mesti dikalahkan. Dalam perayaan Galungan dan Kuningan, yang Arya maupun Paisaca (Mleccha) sama-sama merayakan kemenangannya. *

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta  

Komentar