nusabali

Antara Bakti Leluhur Hingga Politik Kekinian

Krama Bali Milenial Makin Suntuk Perkuat Lalintihan

  • www.nusabali.com-antara-bakti-leluhur-hingga-politik-kekinian

Jika indentitas lalintihan sudah ditemui, selanjutnya  tak kalah penting dengan mengisi bahkan menjunjungnya dengan perilaku yang berintegritas.

DENPASAR, NusaBali
PITEKET atau pesan-pesan penting kehidupan untuk krama Bali yakni agar bakti kepada leluhur atau kawitan, menjadikan krama Bali makin bersemangat jika diacak berbicara tentang lalintihan atau asal -usul leluhur. Tak hanya wacana, krama Bali yang sekiranya telah mapan baik secara ekonomi dan kaweruhan atau ilmu pengetahuan, sangat ingin menelusuri jejak para leluhur mereka.

Maka fenomena menelusuri kawitan yang marak makin menjadi trend di kalangan krama Bali. Tak hanya untuk subakti kepada leluhur, penelusuran ini pula untuk mencari pemahaman terhadap leluhur agar   menjadi energi positif untuk keluarga. Tentu juga untuk membangun guyub atau persatuan dalam lingkup keluarga dan pasemetonan.

Tokoh adat asal Karangasem I Wayan Artha Dipa menyatakan hal tersebut. ‘’Penelusuran leluhur ini penting dengan catatan jangan eksklusif,” ujarnya di sela-sela kunjungan Menteri Perindustrian RI Agus Gumiwang Kartasasmita di Bali Creatif Industri Center (BCIC), Tohpati, Denpasar, Kamis (2/1).

Ketua Majelis Adat Kabupaten Karangasem (sebelumnya Majelis Madya Desa Pakraman/MMDP  Karangasem) ini mengatakan bagi orang Bali, pemahaman kawitan merupakan sesuatu yang wajib.

Karena kawitan berkaitan dengan hutang kepada leluhur, yakni ajaran bakti pitra puja, bagian dari Tri Rna (pitra rna) hutang kepada leluhur. “Jika berani lepas (putus) kawitan, umumnya akan ada masalah dalam keluarga,” ujar pria yang kini menjabat Wabup Karangasem ini.

Percaya atau tidak terhadap dampak terhadap ketidaktahuan kawitan, semua itu berdimensi niskala. Tetapi sebagai orang Bali, Artha Dipa percaya dan meyakini hal tersebut. Namun demikian, dia mengingatkan semangat menelusuri kawitan wujud bakti kepada leluhur, tidak dengan spirit eksklusif. Apalagi dengan anggapan merasa  lebih atau di atas dari soroh/klan krama lainnya.

Dalam konteks sosial kemasyarakatan di Bali, kata Artha Dipa, spirit menelusuri kawitan dapat mengantarkan spirit dan energi persatuan bagi keluarga. Contohnya, terbangun keguyuban di keluarga, rekat dengan sameton dan baur serta paras-paros manyamabraya.

 “Kitab suci seperti Ramayana sudah mengajarkan itu,” ujarnya sambil mengutip penggalan bait kakawin Ramayana tentang kebajikan manusia yang bakti ring dewa, tar malupeng pitra puja. (bakti kepada para dewa, dan tak lupa kepada leluhur). Karena itulah mengapa penting mengetahui asal-usul leluhur. Tidak saja menunjukkan harmoni kepada niskala (lehuhur) asal-usul, tetapi membangun dan menguatkan hubungan pasemetonan (persaudaraan) dan panyamabrayan (sosial kemasyarakatan).

Terpisah, tokoh adat dari Desa Satra Klungkung I Dewa Ketut Soma menyatakan hal senada. Dikatakan Dewa Soma, sapaan pria yang juga praktisi upakara ini, esensi dari antusias menelusuri kawitan/leluhur adalah ingat atau eling kepada keluhuran.

Hieraki spirit bakti kepada kawitan, kata Dewa Soma berawal dari sanggah kemulan atau rong tiga. Kemudian dalam kumpulan lebih besar skup paibon atau yang seibu. “Karena ibulah yang bisa melahirkan atau beranak pinak, yang menurunkan” ujarnya menganologikan. Terus berkembang dalam skala kawitan.

Jika sudah ingat dengan leluhur, maka harapanya  bisa membawa diri sesuai dengan kewajibannya, “Kita wajib mengingat kotak atau prasasti (asal usul), namun jangan mengkotak-kotakan diri,” sarannya.

Maksudnya jangan sampai karena spirit menelusuri kawitan, memunculkan eksklusivitas atau merasa paling istimewa, apalagi demi kepentingan politik. “Tiyang yakin leluhur kita tidak mengajarkan hal itu,” ujarnya.

Pengamat sosial Dr Putu Rumawan Salain menyatakan semangat dan antusiasme krama Bali menelusuri lalintihan atau kawitan merupakan hal yang positif dan tidak bisa dilarang. “Orang bijak bilang, barang hilang masih bisa dicari, kesehatan (sakit) hilang masih bisa diobati. Tetapi jika identitas hilang semua habis,” ujar pria yang merupakan ahli tata ruang tersebut. Dengan indentitas yang jelas, kata dia, manusia merasa pas membangun dan menjaga integritasnya.

Jadi dari sisi manusia sebagai makhluk yang kaya simbolik, pencarian atau penelusuran lalintihan adalah upaya untuk mencari simbolik sebagai jati diri atau identitas diri. “Karenanya, leluhur itu penting,” ujarnya.

Sementara itu, semangat mencari lalintihan oleh kalangan krama Bali merupakan salah satu  wujud  keunikan krama Bali di tengah ketaatan pada tradisi, adat, budaya yang berlandaskan ajaran Hindu. Contohnya, dalam upacara ngaben, lalintihan atau kawitan akan menunjukkan sasuratan kajang (kain kapan bersurat huruf Bali khusus untuk menutup jasad). Kajang ini patut dipakai oleh keluarga yang melaksanakan upacara ngaben/palebon. Sasuratan kajang sendiri merupakan salah satu piranti atau elemen ritual pokok dalam pengabenan orang Bali. Hal ini menjadi keunikan orang Bali baik sekala-niskala. “Coba ngaben tanpa kajang, apa berani ?. Itu merupakan identitas berdimensi niskala. Itulah keunikan kita di Bali,” ujarnya.

Karena itu kawitan atau lalintihan menjadi penting. Karena ada fakta-fakta yang terjadi betapa mendasarnya pemahaman akan lalintihan atau kawitan tersebut. Rumawan Salain mengingatkan, jika indentitas lalintihan sudah ditemui, selanjutnya  tak kalah penting dengan mengisi bahkan menjunjungnya dengan perilaku yang berintegritas. “Bagaimana cara indentitas yang sudah didapat itu bisa mataksu. Karena itu jaga diri, jangan soal kawitan dipakai untuk hal-hal mencederai keluhuran itu,” sarannya.

Dengan ungkapan kekinian, Rumawan Salain mengatakan spirit menelusuri lalintihan/kawitan berdasarkan pada rasa bakti kepada Yang di Atas dan kasih sayang kepada yang disamping. Atau, bakti kepada Tuhan kepada leluhur, disertai kasih dan rukun kepada sasama. Di sisi lain Rumawan Salain menyatakan asal-usul (soroh/klan) juga sebagai bagian atau wujud politik identitas, yakni bentuk representasi (pengejewantahan), eksistensi (keberadaan) dan citra manusia.

Jelas dia, politik identitas memberi makna positif menjadi spirit energi memotivasi orang (sentana/keturunan) meningkatkan kualitas diri, kemampuan SDM, pendidikian, karir dan kemampuan ekonomi.  “Ini bentuk representasi eksistensi dan citra,” ujar Rumawan Salain.*nat

Komentar