nusabali

Bendesa Perancak Diprotes Krama

  • www.nusabali.com-bendesa-perancak-diprotes-krama

Dituding arogan pertahankan jabatan, Bendesa Perancak I Nengah Parna juga disebut menggunakan uang LPD untuk jalan-jalan berkedok tirta yatra.

NEGARA, NusaBali

Sejumlah krama Desa Adat Perancak, Kecamatan/Kabupaten Jembrana, belakangan mengaku gerah oleh sikap dan perilaku Bendesa Perancak I Nengah Parna, 64, yang dituding terlalu arogan dalam upaya mempertahankan jabatannya. Selain memaksakan pemilihan bendesa secara pemilihan langsung, Parna juga dituding telah mempermainkan awig-awig (aturan desa adat) untuk memenuhi ambisi pribadi.

Sejumlah tokoh panglingsir di Desa Adat Perancak, I Ketut Suamba, 75, I Ketut Nyari, 63, I Nengah Sudiartha, 60, dan beberapa krama desa setempat, mengatakan, Parna yang sudah dua kali terpilih sebagai bendesa (2010–2015 dan 2015–2020) dengan berakhir masa jabatan pada 29 Januari mendatang, harusnya sudah tidak bisa kembali maju sebagai calon bendesa. Hal itu sesuai dengan awig-awig yang sudah lama ada di desa setempat. Namun beberapa bulan menjelang habis masa jabatannya, Parna tiba-tiba mengubah aturan tersebut, sehingga bisa kembali maju sebagai calon bendesa.

“Tidak hanya tentang masa ayahan (periode) bendesa. Dia juga mengubah batasan umur dan status bendesa. Kalau berdasar awig sebelumnya, ada batasan umur calon 60 tahun, dan harus memiliki istri. Sedangkan kalau pakai awig yang sebelumnya, dia tidak bisa maju karena umurnya sudah lebih dan statusnya duda. Tetapi itu diubah seenaknya, dengan menyeting para pamucuk (semacam dewan di desa adat) dan beberapa kelian adat, agar menyetujui perubahan awig,” ujar Suamba, tokoh panglingsir yang juga mantan Perbekel Perancak.

Sebelumnya, kata beberapa tokoh panglingsir ini, saat jelang akhir periode yang pertama tahun 2015 lalu, Parna juga melakukan hal serupa. Awig-awig yang sebelumnya tidak membatasi umur calon bendesa, sengaja diisi batasan umur 60 tahun, untuk menjegal salah satu tokoh panglingsir yang hendak maju jelang pemilihan bendesa saat itu. “Pokoknya dia mengandalkan berbagai cara agar maju sebagai bendesa. Padahal jujur saja, kemampuan sudah tidak ada. Dulu saat ada aturan batasan umur 60 tahun, krama dapat menerima, karena berpikir tentang kemampuan bendesa kalau terlalu tua. Tetapi, sekarang malah dikembalikan untuk kepentingan pribadinya,” ucap Sudiartha.

Menurut Sudiartha, dalam mempersiapkan pemilihan bendesa jelang akhir periode kedua yang digelar 24 Desember 2019 lalu, Parna juga dinilai sengaja melabrak Perda Nomor 44 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali ataupun Surat Edaran (SE) dari Bendesa Agung Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali tentang tata cara ngadegang (pemilihan) bendesa yang diwajibkan secara musyawarah mufakat. Padahal, sebelumnya dari pihak MDA Kabupaten Jembrana, sudah memperingatkan agar tidak menggelar pemilihan bendesa secara langsung yang bertentangan dengan aturan.

“Ya dia tetap ingin pemilihan langsung, dan panitia yang juga kroni-kroninya, beralasan tetap dijalankan karena proses sudah berjalan. Saat pemilihan 24 Desember 2019, ada tiga calon, dan memang Parna yang menang. Tetapi selisihnya hanya 5 suara. Calon yang nomor 1 dapat 361 suara, calon nomor 2 mendapat 252 suara, dan Parna calon nomor 3 dapat 366 suara. Sebenanya, itu juga sudah menjadi aucan banyak masyarakat yang sudah kecewa dengannya. Apalagi dia juga sampai berusaha pakai uang untuk mencari suara,” ucap Sudiartha.

Di samping beberapa persoalan tersebut, menurut Sudiartha, setelah terpilih kembali sebagai bendesa, meskipun pemilihannya belum diakui karena bertentangan dengan Perda maupun SE dari Bendesa Agung, Parna juga menunjukkan arogansinya. Beberapa hari setelah pemilihan tersebut, antara 3 Januari-6 Januari lalu, Parna bersama sejumlah jajaran pengurus adat di desa setempat, diketahui jalan-jalan berkedok Tirta Yatra ke Pura Gunung Salak di Bogor, Jawa Barat, dengan  menggunakan dana sebesar Rp 50 juta yang bersumber dari Lembaga Perkreditan Desa (LPD).

“Kami melihat itu seperti naur sesangi. Sebenarnya kalau bilang tirta yatra, harusnya gunakan uang sendiri-sendiri. Tetapi ini kok malah LPD yang dibebani tanpa mengadakan paruman  desa. Apa tidak lebih baik, kalau memang ada SHU (sisa hasil usaha) LPD digunakan membantu krama. Malah buat program jalan-jalan. Apalagi dari informasi di bawah, uang LPD yang digunakan itu katanya juga diambilkan dari SHU tahun 2019 dan SHU tahun 2020. Padahal untuk SHU 2020, belum jelas seperti apa pembukuannya,” ucap Sudiartha.  

Bendesa Perancak I Nengah Parna, saat dikonfirmasi pada Kamis (9/1), membantah berbagai tudingan sejumlah krama tersebut. Menurutnya, terkait dengan perubahan awig-awig termasuk pemilihan bendesa secara langsung, semuanya melalui proses yang jelas. Tidak hanya melalui paruman pamucuk dengan sama-sama pengurus. Tetapi juga dilakukan paruman ke masing-masing banjar adat, sehingga benar-benar mewakili keinginan krama di masing-masing banjar adat. “Itu semua dasar kehendak masyarakat. Bukan saya pribadi. Proses dan dasarnya sudah jelas. Di Perda juga tidak ada yang mengatur tentang umur, status, ataupun masa jabatan. Murni kehendak masyarakat,” ucapnya.

Sedangkan disinggung mengenai tudingan jalan-jalan berkedok tirta yatra ke Bogor dengan menggunakan dana LPD, pihaknya menyebut itu murni tirta yatra, dan sudah diprogramkan bersama pamucuk sekitar 2 tahun sebelumnya. Karena memang sudah diprogramkan, dia membantah jika tirta yatra bersama jajaran pengurus adat menggunakan dana LPD, itu adalah membayar kaul atau naur sesangi. “Tidak benar kalau dibilang membayar kaul. Tetapi itu memang sudah diprogramkan sejak 2 tahun lalu. Dasarnya sudah jelas. Tidak ada berkaitan dengan pemilihan bendesa,” ujarnya.

Untuk keabsahan dirinya yang terpilih kembali sebagai bendesa secara pemilihan langsung, Parna mengaku, tetap menunggu petunjuk dari Pemprov ataupun Bendesa Agung MDA Provinsi Bali. Nantinya, apabila diminta musyawarah mufakat, pihaknya siap melaksanakanya. Di mana sesuai ketentuan, apabila para calon tidak mufakat, maka paruman pamucuk yang akan menentukan bendesa terpilih. “Saya tunggu petunjuk saja. Kalau memang diminta musyawarah, ya saya musyawarahkan. Kemarin, sebenarnya saya juga sudah ingin musyawarah mufakat sesuai Perda, tetapi memang masyarakat yang ingin pemilihan langsung,” tandasnya. *ode

Komentar