nusabali

Banten Tahun Baru

  • www.nusabali.com-banten-tahun-baru

ORANG Bali tidak mengenal tahun baru. Tapi, sebagian besar orang Bali di kota-kota, yang bermukim dekat kota, bahkan di dusun-dusun, banyak yang merayakan pergantian tahun saban 31 Desember. Esoknya, mereka tamasya ke pantai, gunung, atau ke rumah kerabat. Mereka saling mengucapkan selamat tahun baru, berpelukan, tapi banyak yang tidak peduli.

“Eh, selamat tahun baru nah…” sapa beberapa orang. Setelah itu bersalaman. Ada yang bahkan tidak melontarkan basa-basi apa pun. Orang-orang Bali itu bersua, lalu ngomong dekat temannya. “Nggak terasa sudah tahun baru lagi ya?”

Si teman menjawab pendek, “Iya… ya…,” sambil makan pisang goreng kemudian menyeruput capucino. “Berarti sudah setahun kita bertemu terakhir di sini ya? Memang cepat waktu berlalu, karena kita sibuk.”

Orang-orang Bali diyakinkan, bahwa tahun baru mereka adalah ketika Hari Raya Nyepi. Semua orang Bali senang punya Nyepi, bahkan mereka membangga-banggakan Nyepi itu pergantian tahun yang unik, satu-satunya di dunia. Jika orang-orang non Bali merayakan tahun baru dengan bersenang-senang, orang Bali merayakan Nyepi dengan khusuk, dengan sepi, dengan meditasi.

Kendati sudah punya Nyepi, tetap saja orang Bali selalu ingin merayakan tahun baru juga. Acapkali di akhir tahun jauh dirayakan lebih meriah oleh orang Bali dibanding merayakan Nyepi. Untung ada acara ngerupuk, sehari menjelang Nyepi, ada pawai ogoh-ogoh, terasa semarak juga Nyepi.

Tapi, ngerupuk itu akhir tahun, bukan tahun baru. Tetap saja orang Bali merayakan pergantian tahun ketika Nyepi dengan hening-sunyi-sepi. Mereka bahkan diajarkan filosofi nol, falsafah kosong, yang pantas dihayati tatkala merayakan Nyepi. Bahwa tahun baru itu sesungguhnya dimulai dengan kosong, hari-hari selanjutnya yang harus diisi. Nyepi sering didengung-dengungkan sebagai saat untuk mawas diri, hari introspeksi, menelisik ke dalam batin. Dalam kosong, ketika nol, seseorang bisa dengan jelas dan benderang melihat persoalan yang ada dalam diri.

Tapi, karena banyak orang Bali hidup dalam alam modern, mereka juga mustahil tidak merayakan tahun baru. Jadilah orang Bali merayakan dua kali tahun baru, ketika awal tahun Masehi dan ketika Nyepi. Kendati keduanya sama-sama bermakna pergantian tahun, namun orang Bali merayakan kedua hari itu tentu dengan suasana hati berbeda.

Seorang lelaki pensiunan guru, punya empat anak dan lima cucu, sejak 7 tahun terakhir mencoba mensejajarkan perayaan Tahun Baru Masehi ini dengan hari-hari raya Bali yang lain. Dia berhasil menanamkam pemahaman tradisi dan agama pada anak-anaknya dengan tekun, santun, tanpa harus menjadikan mereka fanatik. Anak-anak itu diberi kebebasan untuk memahami ajaran yang berdasar keyakinan dari pemeluk agama mana pun. Justru anak-anak itu kemudian menjadi sangat mencintai tradisi yang mereka warisi dari orangtua.

Banyak yang berkomentar, lelaki itu berhasil mendidik anak-anaknya karena dia seorang guru. Dia paham kapan harus mendikte, kapan pula memberi kebebasan.

“Tidak, bukan karena aku guru, mereka mengikuti nasihatku,” ujar lelaki itu.
“Lalu, karena apa?” tanya rekan-rekannya.

“Karena anak-anakku manusia dari zaman lama, ketika godaan untuk berbuat aneh-aneh tidak sebanyak sekarang. Kalau sekarang sulit mengajak anak-anak menjadi penurut.”

Dan, pensiunan itu kemudian mengajarkan anak-anaknya untuk merayakan tahun baru dalam balutan tradisi dan agama Hindu. Tahun baru yang dirayakan dengan kemeriahan, juga dengan guyuran spiritualisme. Lelaki pensiunan guru itu mengajak anak-cucunya menikmati tahun baru, tapi juga merasakan getaran tradisi.

Saban pergantian tahun, lelaki itu mengajak anak-cucu berkumpul di rumah tua. Banyak kue, es krim, ayam panggang, anggur, mangga, tersedia. Makanan-makanan itu, kecuali es krim yang gampang mencair, dihidangkan dengan sesaji. Lelaki itu meminta istrinya membuat banten tahun baru. Si istri tentu tak tahu, seperti apa banten tahun baru itu.

“Buat saja seperti banten otonan,” pinta lelaki itu. “Anggap saja kita melakukan otonan massal, otonan bareng anak-cucu, bersama kakek dan neneknya.”

Maka, sesaji otonan itu pun terhidang saban malam pergantian tahun di rumah lelaki pensiunan guru itu. Mereka melakukan persembahyangan bersama di merajan. Usai natab sesaji, mereka, terdiri dari mantu-anak-cucu, bapak-ibu kakek-nenek, menyantap lungsuran dari banten tahun baru itu. Mereka menikmati minuman, buah, daging panggang, betutu, sambil tertawa-tawa, bercanda, sangat meriah. Anak-anak tertidur sebelum pergantian tahun, dan mereka dibangunkan. Masih terkantuk-kantuk mereka berpelukan, bertukar salam mengucapkan selamat tahun baru.

“Semoga tahun depan kita bisa lagi kumpul merayakan tahun baru dengan banten,” ujar lelaki pensiunan guru itu manggut-manggut. Yang hadir, mantu-anak-cucu, bertepuk tangan. “Horeeeee….” Kemudian mereka berpelukan lagi.

Tapi, lelaki pensiunan guru itu selalu punya kekhawatiran, jika dia mati, akankah tradisi merayakan tahun baru dengan banten akan diteruskan oleh anak-cucunya? Dia ragu. “Ah, yang penting saya sudah mengajarkan apa yang sepantasnya kita lakukan,” ujarnya dalam hati, seusai menatap anak-cucunya tidur lelap, satu demi satu. *

Aryantha Soethama
Pengarang

Komentar