nusabali

Koster: Bali Jangan Diganggu Lagi

Akui Dapat WA dari Menpar Terkait Pariwisata Ramah terhadap Muslim

  • www.nusabali.com-koster-bali-jangan-diganggu-lagi

Cok Ace keluarkan pernyataan berisi 9 poin untuk tanggapi statemen Menteri Pariwisata Wishnutama Kusubandio

DENPASAR, NusaBali

Gubernur Wayan Koster menolak tegas wacana Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Wishnutama Kusubandio, untuk menjadikan Bali sebagai daerah tujuan wisata yang lebih ramah terhadap wisatawan Muslim. Gubernur Koster menegaskan Bali akan tetap dipertahankan sebagai daerah pariwisata berbasis budaya dengan kearifan lokalnya, tidak boleh diganggu embel-embel lain.

Penegasan ini disampaikan Gubernur Koster seusai menyampaikan jawaban Gubernur atas pandangan umum fraksi-fraksi DPRD Bali dalam sidang paripurna di Gedung Dewan, Niti Mandala Denpasar, Senin (11/11) siang. Gubernur Koster mengingatkan, pernyataan Menpar Wisnuthama Kusubandio tidak perlu digubris lagi, karena Bali sudah menerapkan konsep pariwisata seperti sekarang sejak zaman dulu.

“Bali jangan diganggu lagi, nggak usah ditambahi emebl-embel lainnya,” tegas Koster yang kemarin didampingi Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati alias Cok Ace.

Koster menegskan, Bali tetap menerapkan pariwisata berbasis budaya dan kearifan lokal, yang sudah terpola sejak lama. “Hal ini sudah berlangsung lama dan diterima oleh wisatawan di Indonesia dan wisatawan mancanegara. Ngapain lagi ditambahi embel-embel?” ujar Gubernur asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng yang juga Ketua DPD PDIP Bali ini. Menurut Koster, Bali juga tidak melihat turis itu agamanya apa, berasal dari mana?

Koster menyebutkan, Menpar Wishnutama secara pribadi sudah mengirimkan WA kepadanya. Dalam WA tersebut. Menpar mengatakan terjadi miskomunikasi dan mis pemberitaaan di media (Sindonews). Namun demikian, Koster yakin dalam forum ketika Menpar membuat pernyataan, ada sesuatu yang berkenaan dengan masalah ramah terhadap wisatawan Muslim.

“Apakah itu dikaitkan langsung dengan Bali atau Danau Toba, saya tidak tahu. Saya belum sempat bicara,” jelas Koster dalam keterangan persnya seusai menghadiri pembukaan Seminar ‘Sinergi Bank BPD Bali dengan LPD dalam Membangun Pe-rekonomian Daerah untuk Mewujudkan Visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali Menuju Bali  Era Baru’ dan Peluncuran Aplikasi e-Link LPD-BPD Bali, di Inna The Grand Bali Beach Hotel Sanur, Denpasar Selatan, Senin kemarin.

Sehubungan dengan hal tersebut, Koster meminta Menpar Wishnutama betul-betul mempelajari dan memahami dulu mengenai kebijakan di bidang pembangunan ke-pariwisataan yang sudah berjalan selama ini. “Tidak perlu mengeluarkan celetukan-celetukan yang sifatnya kontra produktif, apalagi berkaitan dengan Bali,” sindirnya.

Menurut Koster, pariwisata Bali yang berbasis budaya sudah berkembang sejak lama dan berjalan sangat baik. Bali kemudian menjadi daerah wisata yang sangat disegani oleh masyarakat dunia, tanpa menggunakan embel-embel lain. Karena itu, Koster menolak dan tidak ingin pariwisata Bali dikaitkan dengan tag lain di luar pariwisata budaya.

“Saya tolak, itu tidak boleh,” tegas mantan anggota Komisi X DPR RI (yang antara lain membidangi pariwisata dan ekonomi kreatif) dari Fraksi PDIP Dapil Bali tiga kali periode ini. Bagi Koster, biarkan Bali berkembang secara alami sesuai dengan kultur Bali. Itu sudah teruji bahwa masyarakat Bali dengan pariwisata budayanya sudah sangat toleran, sangat membuka diri.

Sementara itu, Wagub Cok Ace yang juga Ketua PHRI Bali menyatakan tidak elok ada pernyataan seorang menteri yang menunjukkan seakan-akan Bali tidak ramah terhadap wisatawan Muslim. Dalam rilisnya, Cok Ace mengeluarkan 9 poin pernyataan terkait statemen Menpar Wishnutama yang akan menjadikan Bali sebagai pariwisata ramah terha-dap Muslim.

Pertama, pemerintah dan masyarakat telah sepakat menetapkan pariwisata yang dikembangkan di Bali adalah pariwisata budaya. Ini ditetapkan dengan Perda Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali. Kedua, kepariwisataan budaya Bali adalah kepariwisataan Bali yang berlandaskan kebudayaan Bali, dijiwai ajaran Agama Hindu dan Falsafah Tri Hita Karana.

Ketiga, Bali menetapkan pariwisata yang berbasiskan budaya dengan kearifan lokalnya, yang bernapaskan agama Hindu. Keempat, perkembangan pariwisata Bali dari tahun ke tahun sangat dipengaruhi faktor keragaman budaya masyarakat Bali,  yang sangat tepat kiranya jika pariwisata Bali disebut sebagai pariwisata yang berbasis budaya.

Kelima, pariwisata yang demikian sudah berlangsung lama, telah diterima dan men-datangkan wisatawan dari berbagai daerah di Indonesia dan negara-negara di dunia. Keenam, kondisi pariwisata Bali selama ini sudah berjalan baik dan semua wisatawan yang datang bisa terlayani dengan baik. Bahkan, reputasi wisata Indonesia mulai meroket saat Conder Nast Traveler  2019 Timur Tengah memberikan award untuk Bali sebagai Favorite Adventure Destination buat wisatawan Timur Tengah periode 2018/2019.

Ketujuh, pariwisata Bali tidak perlu diganggu gugat lagi, karena sudah berjalan dan dikelola dengan baik oleh masyarakat Bali. Kedelapan, fakta membuktikan, Raja Salman dari Arab Saudi berlibur, bahkan memperpanjang masa liburannya di Bali, tanpa ada keluhan sama sekali. Kesembilan, menjadi tidak elok jika ada pernyataan yang menunjukkan seakan-akan Bali tidak ramah terhadap wisatawan Muslim.

Sementara, kalangan DPRD Bali juga gerah dengan wacana Menpar Wishnutama yang hendak menyulap Bali menjadi daerah wisata ramah untuk wisatawan Muslim. Anggota Komisi II DPRD Bali (yang membidangi pariwisata dan perhotelan), I Ketut Suwandhi, menyatakan Bali sudah sangat ramah dari nenek moyangnya.

“Leluhur krama Bali itu mengajarkan keramahtamahan yang dirasakan dunia internasional sejak dulu. Mau disuruh ramah kayak bagaimana lagi? Kkeliru banget itu,” ujar politisi senior Golkar asal Banjar Belaluan Sadmerta, Desa Dangin Puri Kauh, Kecamatan Denpasar Utara ini kepada NusaBali secara terpisah, Senin kemarin.

Suwandhi yang notabene dari keluarga praktisi pariwisata, menegaskan wisatawan mancanegara yang datang ke Bali selama ini juga banyak dari negara mayoritas Muslim. Mereka tidak pernah komplin. “Kalau komplin urusan ramah tamah, nggak ada. Mau dibuat ramah bagaimana? Bali dikenal toleran dengan siapa pun, dengan basis pariwisata budayanya. Salah satu budaya Bali itu, penduduknya yang ramah, sangat terbuka, dan welcome,” tegas Suwandhi. *nat,k17

Komentar