nusabali

Jadi Komandan Kapal Patroli, Terinspirasi oleh Sang Ayah

Ni Putu Cahyani Negara, Nakhoda Kapal Patroli di PLP Tanjung Priok

  • www.nusabali.com-jadi-komandan-kapal-patroli-terinspirasi-oleh-sang-ayah

Ni Putu Cahyani Negara belajar mengemudikan kapal ketika diajak ayahnya berlayar di jalur Pelabuhan Ketapang-Pelabuhan Gilimanuk setiapkali liburan saat masih duduk di bangku SD-SMA

JAKARTA, NusaBali

Sebuah langkah fenomenal dibukukan Ni Putu Cahyani Negara SE MMar, 43, perempuan Bali kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur. Putu Cahyani menjadi satu-satunya Komandan Patroli (Nakhoda) Perempuan di Pangkalan Penjagaan Laut dan Pantai (PLP) Kelas I Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dia terinspirasi jejak ayahnya, yang seorang nakhoda kapal di Pelabuhan Ketapang.

Posisi sebagai Komandan Patroli di PLP Kelas I Tanjung Priok tersebut dipegang Putu Cahyani sejak sejak Februari 2019. Awalnya, Putu Cahyani menjadi Nakhoda Kapal Patroli Kapak-P.209 periode Februari-Mei 2019. Kemudian, Putu Cahyani beralih menjadi Nakhoda Kapal Patroli KN Alugara-P.114 sejak Juni 2019.

Di PLP Kelas I Tanjung Priok sendiri terdapat 13 kapal patroli. Dari 13 kapal patroli itu, Putu Cahyani merupakan satu-satunya nakhoda perempuan. Sedangkan 12 lainnya dinakhodai laki-laki. “Jadi, saya merupakan satu-satunya nakhoda perempuan PLP Kelas I Tanjung Priok," ungkap Putu Cahyani saat ditemui NusaBali di kantornya, PLP Kelas I Tanjung Priok, Jumat (13/9) sore.

Meski satu-satunya komandan perempuan, namun kemampuan Putu Cahyani tak perlu diragukan lagi dalam menahkodai kapal patroli. Itu sebabnya, perempuan Bali kelahiran Banyuwangi, 4 Januari 1976, asal Banjar Kelod, Desa Manggis, Kecamatan Manggis, Karangasem ini dipercaya menahkodai Kapal Patroli KN Alugra P.114. Perlu dicatat, KN Alugara P.114 merupakan kapal patroli kelas satu di PLP Kelas I Tanjung Priok.

Ruang lingkup patroli KN Alugara P.114 ini lebih luas lagi. Bukan hanya patroli di perairan Jakarta, namun juga hingga perairan Jepara (Jawa Tengah), Pontianak (Kalimantan Barat), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Jambi, dan Bengkulu. "Ruang lingkup tersebut merupakan daerah operasional Pangkalan PLP Kelas I Tanjung Priok untuk kapal kelas dua juga. Sementara kapal kelas tiga, hanya beroperasi di perairan Jakarta dan Kepulauan Seribu," papar Putu Cahyani.

Sebagai nakhoda kapal patroli, tugas Putu Cahyani adalah memegang kemudi kapal saat berpatroli, melaksanakan kegiatan penjagaan, penyelamatan, pengamanan, penertiban, hingga penegakan peraturan bidang pelayaran di perairan laut dan pantai. Ketika melakukan patroli, Putu Cahyani bisa menghabiskan waktu sampai dua hari di perairan.

Putu Cahyani tidak ada masalah dalam menjalankan tugas tersebut. Sebab, ini sudah menjadi kewajibannya sebagai komandan kapal patroli. Keluarganya pun  sangat mendukung kiprah Putu Cahyani, termasuk sang suami, Dasaat Putra.

Kiprah petualangan Putu Cahyani sebagai komandan kapal patroli ini terinspirasi dari sosok ayahnya, I Wayan Suantha Negara, yang berprofesi sebagai nahkoda kapal di PT ASDP Indonesia Ferry. Menurut Putu Cahyani, ayahnya yang berasal dari Banjar Kelod, Desa Manggis awalnya merantau ke Banyuwangi. Di sana, Wayan Suantha Negara mendapat pekerjaan sebagai Nahpoda Kapal Ferry di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi.

Profesi Wayan Suantha sebagai nahkoda di jalur pelayaran Selat Bali, yakni rute Pelabuhan Kepatang (Banyuwangi)-Pelabuhan Gilimanuk (Jembrana) membuatnya kecantol dengan gadis asal Madura, Jawa Timur, Sumiyati. Mereka kemudian menikah dan tinggal di kawasan Desa Ketapang, Banyuwang, yang lokasinya tak jauh dari Pelabuhan Ketapang.

Nah, Putu Cahyani yang merupakan anak sulung dari dua bersaudara pasangan Wayan Suantha dan Sumiyati, kerap ikut sang ayah bekerja di kapal saat liburan sekolah. Putu Cahyani pun kerap mendapat kesempatan mengemudikan kapal dengan didampingi ayahnya. Dari itu, Putu Cahyani bercita-cita kelak akan mengikuti profesi sang ayah sebagai nakhoda, agar bisa jalan-jalan gratis.

"Dari SD sampai SMA, saya selalu ikut bapak kerja saat libur sekolah. Bapak memberikan saya kesempatan belajar mengemudikan kapal. Beliau mendampingi saya langsung. Saya berpikir enak juga membawa kapal, bisa jalan-jalan gratis dan mendapat bayaran (gaji) pula. Saya pun tertarik menjadi nahkoda," kenang Putu Cahyani, yang menamatkan pendidikan menengah atas di SMAN 2 Banyuwangi (1994) dan S1 STIE Kalpataru Jakarta (2008).

Guna mencapai impiannya tersebut, begitu tamat SMA, Putu Cahyani menempuh pendidikan yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Dia mengambil program D3 Noutika di Fakultas Teknik Kelautan Universitas Hang Tuah Surabaya hingga tamat pada 1998. Impiannya pun terwujud untuk bisa berkiprah di dunia pelayaran, meski sempat 6 bulan menganggur.

Apalagi, Putu Cahyani menambah pengetahuannya dengan menempuh pendidikan non formal ANT II STIP (Jakarta) dan ANT I BP3IP (Jakarta). "Senang akhirnya bisa memenuhi impian menjadi nahkoda. Tapi, sayangnya ayah saya tidak menyaksikan saya lulus ANT I tahun 2017, karena sudah almarhum. Makanya, kelulusan ANT I, saya persembahkan untuk beliau," papar Putu Cahyani.

Menurut Putu Cahyani, ayahnya mengantongi ijazah ANT III. Ayahnya yang seorang nakhoda itu, Wayan Suantha Negara, meninggal dunia tahun 2014. Sebelum ayahnya meninggal, Putu Cahyani mengaku kerap diajak pulang ke kampung halaman di Desa Manggis, paling tidak 6 bulan sekali.

"Berhubung rumah kami di Ketapang dekat dengan Pelabuhan Ketapang dan bapak bekerja di kapal, kami sering pulang ke Bali. Setidaknya 6 bulan sekali pasti pulang. Kalau sekarang, saya biasanya pulang jika ada acara-acara keluarga besar di desa Manggis,” jelas Putu Cahyani, yang belum dikaruniai momongan dari pernikahannya dengan Dasaat Putra.

Putu Cahyani menyebutkan, adik laki-lakinya, I Made Cahyana Negara, beda lagi profesinya. Made Cahyani menekuni dunia politik. Bahkan, Made Cahyana yang merupakan kader PDIP, menduduki jabatan tinggi sebagai Ketua DPRD Banyuwangi. "Sudah dua periode adik saya (Made Cahyana) menjabat posisi itu. Dia dari Fraksi PDIP," katanya. *k22

Komentar