nusabali

Bali Kehilangan Karang Bengang

  • www.nusabali.com-bali-kehilangan-karang-bengang

Karang bengang sebagai area transisi untuk penyuplai kesegaran pemandangan, udara segar dan suasana hijau, penyerapan air, mesti tetap bisa dipertahankan.

DENPASAR, NusaBali
SEKITAR dua dasa warsa terakhir Bali mengalami kemajuan pembangunan fisik yang amat tajam. Kondisi ini akibat dari kemajuan ekonomi Bali. Warga pun menuntut punya hunian dan bangunan fisik representatif. Dus, pembangunan fisik terus bertumbuh terutama akibat keniscayaan investasi bidang pariwisata yang membutuhkan lahan yang tak sedikit.

Di lain sisi, lahan yang dianggap layak ‘ditanami’ bangunan berbeton makin terbatas. Karang bengang (zona budidaya hayati antar wilayah) pun telah jadi korban. Dampaknya ruang nyata kosmologi Bali makin ‘sesak nafas’. Pihak pemegang otoritas yang seyogyanya mempertahankan karang bengang, berbalik kendor. Terbukti, pemerintah terutama di tingkat kabupaten/kota kini makin memantaskan kebijakannya untuk meninjau ulang dengan membuka jalur hijau menjadi jalur bangunan.

Meminjam istilah jalanan krama Bali; sebet yen tuturang (sedih jika diceritakan,Red). Bengang makin lenyap. Banyak desa atau wilayah tingkatan lainnya di Bali yang banyak berbatas bentang sawah atau ladang, kini jadi atep (nyambung). Tak ada celah hijauan hayati. Batas antar wilayah jadi kabur. Hilangnya bengang mengakibatkan antara desa satu dengan desa lain menjadi ruang sesak yang menjemukan.

Pengamatan di lapangan menunjukkan  hilangnya karang bengang dipicu banyak factor.  Faktor utama tentu saja kebutuhan terhadap lahan, baik untuk keperluan pemukiman, industri dan kebutuhan sarana fisik lainnya. Namun demikian, kalau mau bersungguh-sungguh masih ada celah untuk menyelamatkan  karang bengang. Selain kesadaran akan pentingnya pada zona hijauan, juga dengan penegakan aturan tentang ketentuan tata ruang. Asal dengan bersungguh-sungguh.

Aturan tersebut, baik secara nasional maupun aturan di daerah lokal tentang kawasan jalur hijau. Apabila aturan tentang tata ruang, khususnya kawasan jalur hijau tersebut dipatuhi, yakin karang bengang relatif bisa bertahan. Atau paling tidak bisa ditahan laju kecepatan kehabisannya.

Pengamat dan praktisi tata ruang Putu Rumawan Salain, mengakui hal tersebut. Pria asal Kota Bangli ini menyatakan secara nasional, setiap pemanfaatan lahan, 30 persen di antaranya wajib disisakan atau dialokasikan untuk jalur hijau. “Istilahnya green belt (sabuk hijau),” kata akademisi Unud ini, Sabtu (24/8).

Persoalannya, apakah aturan itu sudah dipatuhi,  hal inilah yang pantas jadi pertanyaan. Jika memang mau patuh, perlu komitmen semua pihak. “Saya rasa demikian,” papar guru besar Unud ini.

Jelas dia, pemertahanan karang bengang ini bisa juga ditawarkan dengan pola yang lebih toleran. Pola yang dimaksud Rumawan Salain, adalah membuat pusat pemukiman baru atau zona satelit, semacam kota satelit, di luar pemukiman  induk. ‘’Dalam tata ruang pemukiman tradisional Bali disebut dengan pola nabuan (tawon),” katanya.

Pola nabuan atau tawon tersebut, jelas Rumawan Salain, yakni pola pemukiman menyerupai pola sarang lebah atau tawon. Dia mencontohkan pola pemukiman tradisional di Desa Adat Pengelipuran, Bangli. Menurutnya pola pemukiman relatif tak berubah atau tetap. Tidak ada pembengkakan maupun perluasan wilayah pemukiman ke areal samping. “Tidak dijejali lagi pemukiman baru, ketika kapasitasnya sudah penuh,” ujarnya.

Karenanya pemukiman tidak membengkak, tidak sampai memakan karang bengang. Karang bengang sebagai area transisi untuk penyuplai kesegaran pemandangan, udara segar dan suasana hijau, penyerapan air, mesti tetap bisa dipertahankan. ‘’Upaya penyelamatan karang bengang juga sejalan dengan spirit membangun Bali lewat visi Nangun Sad Kertih Loka Bali,’’ tegas Rumawan Salain.

I Wayan Dauh, pengajar  Fakultas Teknik Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar, sepandangan dengan Rumawan Salahin. Menurut Wayan Dauh, untuk menyelamatkan karang bengang, tidak gampang. Kebutuhan lahan untuk pemukiman, kepentingan industri, dan lainnya, dinilai Dauh menjadi penyebab menyusut drastisnya karang bengang. Apalagi tanah atau lahan yang merupakan karang bengang merupakan lahan kepemilikan (pribadi). Hal yang sulit untuk melarang atau menghentikan yang empunya, memanfaatkan lahannya keluar dari fungsinya sebagai karang bengang.

Hal itu ditandai dengan habisnya kawasan jalur hijau atau karang bengang yang dimanfaatkan ataupun termanfaatkan untuk kepentingan di luar jalur hijau. Contohnya, untuk pemukiman. “Itu sudah banyak contoh,” ujar dosen asal Karangasem ini.

Dia menyebut bagaimana imbauan dan penertiban kawasan jalur hijau yang merupakan karang bengang oleh stakeholder terkait dari pemerintah, banyak yang mental. Itu karena dalih pemilik lahan untuk memanfaatkan lahan miliknya untuk kepentingan non jalur hijau. Apalagi disebutkan misalnya, itu merupakan lahan satu-satunya yang empunya. “Makanya keweh (susah, Red),”  ujar Dauh.

Karenanya, jika memang ada keinginan mempertahankan karang bengang, butuh kesepakatan semua pihak. Atau lebih dalam lagi, adalah komitmen orang Bali sendiri, yang mau dan rela harus tetap memiliki karang bengang. Kalau tidak komitmen semua pihak, menurut Dauh, tentu sulit. Jangankan di kawasan perkotaan seperti di Denpasar, yang hampir tidak ada karang bengang lagi. Di kawasan luar Denpasar seperti di Karangasem, karang bengang yang sebelumnya membentang antar desa, terkikis terus. *nat

Komentar