nusabali

Kemendagri Sarankan Ibukota Baru Tak Ada Pilkada dan Bukan Daerah Otonomi

  • www.nusabali.com-kemendagri-sarankan-ibukota-baru-tak-ada-pilkada-dan-bukan-daerah-otonomi

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyarankan agar di ibukota negara yang baru nanti tidak ada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada).

JAKARTA, NusaBali

Pun disarankan ibukota negara yang baru nanti bukan merupakan daerah otonomi. Kemendagri ingin kepentingan presiden dalam mengambil keputusan dan kebijakan tidak terganggu situasi politik daerah.

“Kami menyarankan jangan merupakan daerah otonom. Kami pahami dinamika politis setiap daerah. Kami khawatirkan akan jadi persoalan dalam mengambil keputusan untuk membuat ibukota yang betul-betul teduh dan aman bagi pemimpin negara dalam mengambil keputusan,” ujar Plt Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik dalam diskusi polemik ‘Gundah Ibukota Dipindah’ di Jakarta, Sabtu (24/8).

Selain itu, Akmal menyebut Kemendagri menyarankan agar di ibukota negara yang baru tidak ada pemilihan kepala daerah (pilkada). Kemendagri mengusulkan ibukota baru nanti merupakan daerah administratif.

“Pak Menteri (Mendagri Tjahjo Kumolo) beberapa kali bilang, kami usahakan di sana jangan ada pilkada, mungkin itu akan jadi daerah administratif ya, mungkin ya. Tapi itu tergantung nanti putusan presiden,” kata Akmal seperti dilansir detikcom.

“Kami mendorong hasil FGD (focus group discussion) yang dilakukan oleh beberapa pakar, kami mendorong ini adalah daerah administratif,” kata Akmal.

Meski demikian, Akmal mengatakan usulan dari Kemendagri tersebut masih dikaji oleh Bappenas. Dia pun menyerahkan semua keputusan mengenai tata kelola pemerintah baru nanti seperti apa kepada hasil kajian Bappenas. “Kami tunggu kajian dari Bappenas. Tapi kami katakan kalau administratif itu jauh lebih gampang komandonya dari pusat,” ujarnya.

Akmal menjelaskan pemindahan ibukota masih dalam proses kajian. Banyak tahapan kajian yang harus dilakukan sebelum benar-benar memindah ibukota negara.

“Ada banyak tahapan yang dilakukan, penetapan lokasi, mempersiapkan lahan, menyiapkan master plan, menelaah akulasi besar biaya gimana, mekanisme prosedur pemindahan bagaimana, dan bagaimana bentuk kelembagaannya, dan berbagai banyak hal. Posisi sampai saat ini masuk melakukan kajian,” kata Akmal.

Akmal mengatakan kajian-kajian itu dilakukan oleh Bapenas, Kementerian PUPR, hingga Kemendagri. Menurutnya, sampai saat ini belum ada keputusan resmi soal lokasi ibukota negara itu. “Sampai hari ini langkah baru ya persiapan-persiapan, memang sudah dilakukan peninjauan ke lokasi. Sampai saat ini belum ada penetapan lokasi teritorial otonom, tapi pulau sudah,” sebutnya.

Sementara sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam, mengatakan dalam sejarah Indonesia, ibukota negara memang sudah pernah berpindah. Dia menyebut ada dua faktor yang membuat pemindahan ibukota perlu dilakukan.

“Pemindahan ibukota atau pusat pemerintah ini berkaitan dua hal, faktor mendorong dan faktor penarik, apa yang mendorong kita pindah ke kota itu dan menarik di kota yang dituju itu. Di dalam sejarah Indonesia faktor pendorong dan penarik terlihat ini ketika pusat pemerintahan pindah ke Jogja pada 4 Januari 1946,” kata Asvi.

Asvi menyebut saat itu faktor keamanan lah yang membuat ibukota negara dipindahkan. Sebab, menurutnya, situasi di Jakarta tidak aman pada 1946.

“Keamanan itu tidak ada di ibukota Jakarta pada tahun itu. Oleh karena itu, Jogjakarta menawarkan untuk menjadi pusat pemerintahan, presiden dan wakil presiden setuju, maka pusat pemerintah dipindah ke Jogjakarta. Kegentingan yang memaksa perpindahan itu,” ujarnya.

Berkaca pada sejarah itu, menurut Asvi, rencana pemindahan ibukota oleh Presiden Joko Widodo saat ini sudah memenuhi unsur dua faktor tersebut. Asvi menilai faktor ketidaknyamanan Jakarta saat ini menjadi salah satu faktor pendorong ibukota harus dipindah.

“Faktor pendorong itu ada seperti kemacetan yang kita bisa bayangkan 40 tahun lagi gimana, kemudian banjir, tenggelamnya Jakarta Utara karena kenaikan air laut 2 cm yang terus meningkat ada yang meramal tahun 2050 90 persen Jakarta Utara tenggelam. Belum lagi faktor-faktor yang lain. Itu yang menjadikan itu faktor pendorong,” tutur Asvi.

Dia menilai pemilihan Pulau Kalimantan sebagai lokasi ibukota baru menjadi pilihan yang tepat. Sebab, lokasi Pulau Kalimantan yang berada di tengah sangat cocok dengan rencana pemerintah yang ingin melakukan pemerataan pembangunan.

“Faktor penariknya juga jelas, harapan bahwa dengan ditempatkan ibukota di tengah-tengah itu akan mendorong mewujudkan pembangunan menoleh ke timur,” kata Asvi. *

Komentar