nusabali

6 Orang Sekeluarga Tidur Pipil Pindang di Kamar 4 Meter x 3 Meter

  • www.nusabali.com-6-orang-sekeluarga-tidur-pipil-pindang-di-kamar-4-meter-x-3-meter

Karena orangtuanya tak punya uang, si kembar Ni Wayan Ratih Sumiantari dan Ni Nengah Cintah Kasih, yang kini duduk di Kelas VI SD Yangapi, bahkan menggunakan seragam sekolah yang telah dipakai sejak Kelas III

Potret Keluarga Miskin dari Banjar Metra Tengah, Desa Yangapi, Kecamatan Tembuku, Bangli


BANGLI, NusaBali
Inilah salah satu potret kemiskinan di Gumi Sejuk Bangli. Sebuah keluarga inti beranggotakan 6 orang, terdiri dari suami, istri, dan empat anaknya yang tinggal di Banjar Metra Tengah, Desa Yangapi, Kecamatan Tembuku, Bangli harus tidur berdesakan dalam kamar sempit berukuran 4 meter x 3 meter.

Keluarga miskin ini adalah pasutri I Komang Sumiarta, 30, dan Ni Nengah Lestari, 30, yang kesehariannya bekerja sebagai buruh serabutan dengan penghasilan tidak menentu. Mereka tinggal dan tidur di kamar sempit bersama empat anak perempuannya, yakni si kembar Ni Wayan Ratih Sumiantari, 11, dan Ni Nengah Cintah Kasih, 11, serta Ni Komang Juniantari, 5, dan Ni Ketut Ayu Antari, 1,5.

Kondisi ekonomi yang carut marut memaksa keluarga Komang Sumiarta harus rela tinggal dan tidur pipil pindang (berdesakan) dengan istri dan keempat putrinya yang mulai beranjak remaja. "Mau bagaimana lagi, kami hanya memiliki satu kamar tidur dan satu dapur," tutur Komang Sumiarta saat NusaBali berkunjung ke gubuknya di Banjar Metra Tengah, Desa Yangapi, Kamis (22/8).

Pantauan NusaBali, di dalam kamar sempit berukuran 4 meter x 3 meter yang ditempati 6 orang sekeluarga ini terdapat satu dipan (tempat tidur), sebuah almari plastik, dan satu televisi kecil. Kamar yang mereka tempati sangatlah sederhana, hanya berupa bedeng yang berdinding ayaman bambu.

Sedangkan dapurnya yang berukuran kecil, juga hanya berlantai tanah. Untuk memasak, keluarga miskin ini menggunakan kayu bakar. Terkadang, mereka memasak menggunakan kompor gas ukuran mini. Namun, kompor tersebut jarang digunakan demi irit biaya beli gas.

Sejatinya, di pekarangan rumah yang ditempati Komang Sumiarta sekeluarga juga tingga 4 kepala keluarga (KK) lainnya dari satu kelarga besar yang kondisinya tidak jauh berbeda. Empat (4) KK itu masing-masing orangtua dari Komang Sumiarta, keluarga Wayan Nukari (kakak dari Komang Sumiarta), keluarga Wayan Wardika (kakak dari Komang Sumiarta), dan keluarga Ketut Sudiasa (adik dari Komang Sumiarta).

“Kami tinggal di pekarangan ini bersama keluarga besar berjumlah 5 KK,” ungkap Sumiarta. Disebutkan, untuk kebutuhan listrik dan air buat keluarganya, Sumiarta menyambungkan jarigan milik kakaknya, Wayan Wardika.

Menurut Sumiarta, dua putri kembarnya yang sudah remaja usia 11 tahun, yakni Ni Wayan Ratih Sumiantari dan Ni Nengah Cintah Kasih, terkadang pilih menginap di rumah kakek dan neneknya. "Ya, kadang mereka menginap di rumah kakek dan neneknya. Kalau tidak menginap, ya kami tidur bersama 6 orang di kamar sempit ini," cerita buruh serabutan berusia 30 tahun ini sembari menunjukkan kondisi kamarnya.

Sumiarta menyebutkan, tembok kamarnya semula terbuat dari batako. Namun, karena diguncang gempa beberapa waktu lalu, tembok kamarnya roboh, hingga dibangun lagi menggunakan bedeng (anyaman bambu). “Hanya ini yang bisa kami bangun,” keluh Sumiarta.

Sumiarta dan istrinya, Nengah Lestari, hanya bekerja sebagai buruh serabutan dengan penghasilan yang tak menentu. Terkadang mereka bekerja sebagai buruh tani, tukang angkut pupuk, ada kalanua jadi buruh bangunan. Mereka pun kesulitan untuk membelikan seragam sekolah bagi putri kembarnya, Wayan Ratih Sumiantari dan Nengah Cintah Kasih, yang kini duduk di bangku Kelas VI SDN 6 Yangapi, Desa Yangapi.

Bahkan, kata Sumiara, seragam sekolah kedua putri kembarnya sudah dipakai selama hampir 3 tahun, sejak duduk di Kelas III. "Seragam yang digunakan sudah dipakai sejak mereka duduk di Kelas III. Anda bayangkan, tanpa pernah ganti seragam hingga Kelas VI. Tentu saja seragamnya sudah usang dan kekecilan. Saya belum bisa membelikannya seragam baru," katanya lirih.

Karena itu, kata Sumiarta, tidak jarang kedua putri kembarnya ini meminjam seragam sekolah kepada sepupu mereka. Untungnya, jarak sekolah dengan rumahnya hanya 300 meter, cukup terjangkau dengan jalan kaki. Untuk bekal sekolah berdua, mereka hanya disangu Rp 3.000 sampai Rp 5.000 sehari.

Sementara itu, si kembar Wayan Ratih Sumiantari dan Nengah Cinta Kasih mengaku sangat ingin memiliki segaram sekolah baru. Masalahnya, seragam yang dimilikinya dan sudah dipakai sejak Kelas III, mulai rusak. "Kami perlu baju merah putih, baju Pramuka, dan baju batik," tutur si sulung Wayan Ratih Sumiantari.

Menurut Ratih, setiap hari mereka berdua dibekali uang ke sekolah maksimal Rp 5.000. "Kami disuruh menyisihan uang bekal untuk nabung," ujar Ratih diamini adiknya, Cinta Kasih. “Meski dalam kondisi keterbatasan ekonomi, kami tetap semangat untuk mengenyam pendidikan,” sambung Cinta Kasih. *esa

Komentar