nusabali

MUTIARA WEDA: Kekerasan Berganti Baju

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-kekerasan-berganti-baju

Apabila laki-laki golongan sudra mengambil perempuan Brahmana, perempuan Brahmana tersebut akan berinkarnasi menjadi kidang 1000 tahun, ………dan tidak pernah berinkarnasi kembali menjadi manusia.

Yan wang tani ngamet siwania, situnggal bangsuh siwania, dadi kunircak,

wekasania dadi kidang siu tahun,……tanana tulak muwah.
(Lontar Dandang Bang Bungalan)


JIKA ditelusuri lebih jauh, hampir semua peradaban pernah terjatuh ke dalam ‘kekerasan yang sistemik’. Maksudnya, peradaban tersebut pernah memproduksi dan menjalankan sebuah sistem yang di dalamnya mengandung unsur kekerasan seperti hegemoni, kasta, kediktatoran, permusuhan, bias gender, rasis, radikalis, dan yang sejenisnya, termasuk kekerasan kepada binatang dengan berbagai dalihnya. Produk tersebut kemudian diterapkan ke dalam kehidupan masyarakatnya dari generasi ke generasi, tidak hanya ratusan bahkan ribuan tahun. Sistem kasta di India misalnya, berlaku sejak dharmasastra ditulis. Demikian juga hegemoni gereja di Barat, kehidupan rasis di berbagai belahan bumi semenjak kolonialisme, dan bahkan dalam agama tertentu, perilaku dan tindakan kekerasan atas nama kemuliaan dan Tuhan terus-menerus terjadi. Bahkan di era milenial dewasa ini, tindakan-tindakan tersebut masih saja terjadi.

Apa penyebabnya? Jika melihat kehidupan manusia yang demikian kompleks, dan merujuk pada beberapa teks kuno yang concern dengan perkembangan kehidupan manusia, dikatakan bahwa sumber asali dari terciptanya sistem seperti itu adalah sifat manusia itu sendiri. Secara naluri manusia dilahirkan masih membawa jejak-jejak hewani. Secara instink manusia masih dibekali jejak-jejak kemarahan dan kekerasan. Jejak-jejak tersebut memerlukan ekspresi. Jejak tersebut akan semakin menipis seiring dengan tingkat perkembangan kesadarannya. Semakin tinggi kesadaran mereka maka kekerasan yang ada di dalam dirinya akan semakin menipis. Bahkan ketika kesadarannya telah menjadi kosmik, kemarahannya telah hilang sama sekali, kehidupannya kemudian penuh dengan kedamaian dan tanpa kekerasan.

Oleh karena itu, produk kekerasan yang bersifat sistemik itu akan tetap ada sepanjang kesadaran manusia tidak mengalami perkembangan. Ketika sistem kasta tidak bisa dilanjutkan lagi oleh karena dianggap tidak manusiawi, maka segera terbentuk struktur sosial baru yang rupanya mirip seperti itu. Cara-cara kekerasan dan hegemoni kemudian berubah wujud. Bentuk sistem kasta yang dulu mampu menghegemoni dan menekan orang secara efektif selama ratusan bahkan ribuan tahun, kini harus berubah bentuk menjadi yang lain seperti fashion, kekayaan, dan yang sejenisnya. Ketika orang mampu mengikuti mode fashion terbaru, secara sosialita dirinya telah merasa lebih tinggi kedudukannya (superior) dibandingkan orang yang tidak mampu, dan orang yang tidak mampu tersebut juga mengamini dirinya sebagai inferior. Demikian juga orang yang kaya, pamornya saja sudah mampu membuat orang lain ciut nyalinya. Orang kaya tersebut tanpa perlu melakukan apa-apa sudah mampu membuat orang lain merasa terhegemoni.

Oleh karena itu, jika kesadaran sebagai titip poin menilai perkembangan peradaban manusia, maka dapat dikatakan bahwa peradaban sejak zaman dulu sampai saat ini sesungguhnya telah gagal total. Sedikit pun kesadaran manusia tidak mengalami perkembangan. Buktinya, dulu ketika kitab suci seperti Rg Veda (dalam Purusa sukta) menyatakan tentang konsep catur varna, maka ini segera berubah menjadi catur kasta dan diteguhkan di dalam teks-teks dharmasastra. Justifikasi kuat yang digunakan oleh dharmasastra mengubah konsep varna berdasarkan guna dan karma tersebut menjadi kasta berdasarkan keturunan adalah teori karmaphala itu sendiri. Lahir di tempat yang kastanya rendah merupakan hukuman atas karmanya sendiri. Sehingga, orang yang lahir di kasta yang lebih rendah harus secara sadar menerima itu dan berharap di kelahiran nantinya bisa lebih meningkat dan lahir di kasta yang lebih tinggi.

Demikian juga di Barat, atas nama keselamatan, agama kemudian menjadi alat hegemoni yang paling efektif dan karenanya menjadi pembenar untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan. Jenis hegemoni tersebut di era milenial ini bereinkarnasi menjadi paham-paham radikal yang bisa melakukan kekerasan di mana pun tanpa ada yang memprediksinya. Oleh karena itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi beserta dengan kenyamanan yang ditimbulkannya tidak mampu membuat kesadaran manusia meningkat. Justru kecanggihan yang diproduksinya itu bisa digunakan untuk melakukan kekerasan ribuan kali lebih efektif dan berdampak lebih besar dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Jadi, teks dengan konten seperti di atas sepertinya akan tetap relevan sepanjang zaman. Mungkin bentuknya telah usang, tetapi esensinya tetap segar. *

I Gede Suwantana
Direktur Indra Undayana Institute of Vedanta

Komentar