nusabali

Rekam Jejak Peninggalan Megalitik Desa Pinge

  • www.nusabali.com-rekam-jejak-peninggalan-megalitik-desa-pinge

Desa Pinge, desa yang berlokasi di Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Bali ini merupakan salah satu desa wisata di Bali yang menampilkan keindahan alam dan keaslian budayanya sebagai daya tarik utama wisatawan. Namun di balik itu semua, tersimpan jejak sejarah yang tak kalah seru untuk ditelusuri. 

TABANAN, NusaBali.com
Layaknya sebuah desa yang kental akan tradisi, Desa Pinge memiliki banyak kisah-kisah sejarah dan mitos untuk ditelusuri. Pura Natar Jemeng, misalnya. Pura ini menyimpan banyak rekam jejak sejarah sekaligus menjadi saksi bisu akan sejarah yang pernah terjadi di Desa Pinge. Maka dari itu, tak salah apabila Pura Natar Jemeng ditetapkan sebagai cagar budaya yang dilindungi. 

Jika secara umum diketahui bahwa Pura Natar Jemeng memiliki sebuah prasasti, maka hal tersebut benar adanya. Namun hal mengejutkan yang belum diketahui masyarakat luas adalah bahwa Pura Natar Jemeng tak hanya memiliki sebuah prasasti. Pura ini memiliki sekumpulan koleksi peninggalan sejarah yang diduga berasal dari pengaruh tothemisme yang masih berlaku pada abad ke-14.

Diduga kuat bahwa di area sekitar Pura Natar Jemeng ini dulunya adalah sebuah bangunan yang menyerupai candi. Dugaan ini diperkuat dengan sebuah dokumen konservasi yang dibuat pada tahun 1999 ketika staf teknis Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Bali-NTB-NTT-TIMTIM (kala itu) melakukan konservasi terhadap benda-benda cagar budaya di Pura tersebut. Dokumen tersebut menyebutkan, bahwa terdapat 39 buah fragmen atau serpihan bangunan di sekitar wilayah Pura Natar Jemeng. 


Pemangku Pura Natar Jemeng, I Made Warka menyebutkan, bahwa memang areal Pura Natar Jemeng dahulunya merupakan sebuah bangunan yang berfungsi untuk keagamaan, meskipun sulit diketahui kepastiannya. “Memang belum bisa dipastikan apakah benar candi atau bukan, karena hanya berdasarkan fragmen saja. Tapi beberapa menyebutkan, bangunan tersebut digunakan untuk kegiatan pasraman,” tuturnya. 

Selain ke-39 fragmen tadi, dokumen yang sama juga mencatat bahwa total terdapat 5 buah menhir, 1 buah palungan batu, 1 buah lesung batu, 18 buah batu alam, 1 buah batu datar, 8 buah lingga, 2 buah arca Nandi (Lembu), 2 buah arca perwujudan, 2 buah arca Dewa Ganesha, 1 buah yoni, 1 buah arca Durga Mahisasuramardini, dan 1 buah wajra. 


Sejumlah peninggalan yang kesemuanya terbuat dari batu ini diduga kuat merupakan suatu bentuk kepercayaan tothemisme dari jaman megalitikum yang terus berevolusi seiring dengan kedatangan Resi Madura pada abad ke-14. Hal ini diperkuat dengan pernyataan I Made Warka terkait dengan keberadaan prasasti dan peninggalan lainnya. 

“Prasasti ini memang disakralkan dan hanya pernah dibacakan sekali saja, itu pun bahasanya menggunakan Bahasa Bali kuno. Tapi isinya kurang lebih tentang kedatangan para Resi ke Desa Pinge ini.” ujarnya. 

Pemangku paruh baya ini juga menjelaskan, bahwa sejarah peninggalan cagar budaya di Pura Natar Jemeng ini sendiri juga tak lepas dari sejarah Kerajaan Marga yang dahulu berdiri di sekitar wilayah Kecamatan Marga kini. Menurut mitos yang diceritakan turun temurun, sejarah ini juga berkaitan dengan asal usul nama Desa Pinge itu sendiri, yang konon katanya berasal dari sebuah pohon cempaka putih. 

Alkisah, di lokasi Pura Natar Jemeng yang sekarang ini, tumbuh sebatang pohon cempaka putih yang berbunga nan semerbak, sehingga aromanya tercium oleh masyarakat sekitar. Namun tak hanya sampai di sana, aroma ini juga tercium hingga Puri Marga yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Marga pada saat itu. Maka sang raja yang pada saat itu memerintah mengutus seorang patihnya untuk menelusuri asal aroma manis tersebut. 

Sang patih pun mengikuti aroma tersebut hingga ke lokasi Pura Natar Jemeng dan menemukan pohon tersebut. Sebagai penanda lokasi ditemukannya pohon tersebut, sang patih kemudian membuat beberapa penanda dari batu-batuan. Batu-batuan inilah yang konon menjadi peninggalan cagar budaya Pura Natar Jemeng ini. Sementara itu, cempaka putih tersebut diabadikan dalam nama desa, yang mana kata Pinge berarti ‘putih’, merujuk pada warna bunga semerbak tersebut. 

Cerita ini memiliki beberapa versi, dan beberapa di antaranya tidak berkaitan dengan sejarah sama sekali. “Banyak mitos yang beredar, tapi ada juga yang menghubungkannya dengan sejarah begitu, karena desa ini sendiri masih erat kaitannya dengan Kerajaan Marga dan desa-desa hingga situs lain yang ada di perbukitan sekitar,” paparnya. 


Terlepas dari apakah mitos tersebut benar adanya atau tidak, masyarakat merawat Pura yang termasuk dalam Dang Kahyangan (Pura yang dipuja seluruh umat Hindu) ini dengan baik dan rutin nangkil di hari-hari tertentu, menunjukkan keharmonisan tradisinya dengan yang maha kuasa dan lingkungan sekitarnya. Bukan hal yang mustahil jika inilah yang membuat Desa Pinge terkenal akan wisata alam dan wisata tradisinya. *yl

Komentar