nusabali

Benang Tridatu, Filosofi Oleh-Oleh Tangkil Hingga Trend Aksesori

  • www.nusabali.com-benang-tridatu-filosofi-oleh-oleh-tangkil-hingga-trend-aksesori

Semeton umat Hindu utamanya di Bali pasti sudah familiar, bahkan sehari-harinya menggunakan benang Tridatu di pergelangan tangan. Namun, makna di dalam penggunaan benang itu sendiri mengandung lebih daripada sekedar simbolis saja

DENPASAR, NusaBali.com
Satu hal yang sudah dapat dipastikan dan menjadi pengetahuan umum masyarakat adalah bahwa benang Tridatu itu sendiri merupakan simbolis dari para dewa dalam agama Hindu, yang secara spesifik menyimbolkan Dewa Trimurti, yakni tak lain tak bukan adalah Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. 

Dewa Trimurti merupakan tiga dewa yang dengan kuasanya masing-masing mengatur tiga siklus kosmik kehidupan, yaitu Dewa Brahma dengan fungsinya dalam penciptaan, Dewa Wisnu sebagai pemelihara, dan Dewa Siwa sebagai pelebur. Adapun ketiga dewa ini masing-masing memiliki simbol warna, yaitu merah untuk Dewa Brahma, hitam untuk Dewa Wisnu, dan panca warna untuk Dewa Siwa, yang diringkas sesuai dengan ketersediaan warna benang oleh umat Hindu di Bali, sehingga disimbolkan dengan warna putih. 

Asal usul trend penggunaan benang Tridatu sebagai gelang sendiri sebenarnya tidak bisa dipastikan karena kurangnya rekam sejarah yang mengulas mengenai penggunaan benang Tridatu itu sendiri. Namun, benang Tridatu itu sendiri telah digunakan dalam praktek keagamaan umat Hindu di Bali sejak lama.

“Benang Tridatu itu sendiri sebenarnya sudah lama digunakan dalam praktek keagamaan umat Hindu, misalnya di pedagingan (upacara saat hendak membangun pura atau tempat suci -red), itu isinya kan benang Tridatu itu sendiri, yang merupakan perwakilan lima kekuatan yang ada di suatu tempat. Selain itu, (benang Tridatu) juga digunakan di pawiwahan dan pawintenan Pemangku,” papar Dr. Ida Bagus Subrahmaniam Saitya, S.H., S.Ag., M.Fil.H., dosen pengajar agama Hindu di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. 

Lebih lanjut lagi, pria yang akrab disapa dengan panggilan Gus Bram itu menjelaskan, meskipun tidak ada catatan pasti yang menjelaskan awal mula penggunaan Tridatu dalam keseharian, namun trend ini diduga awalnya mulai dipopulerkan di Nusa Penida, tepatnya di Pura Dalem Ped. “Jadi pada awalnya, semeton umat Hindu yang tangkil atau sembahyang di Pura tersebut mendapatkan benang Tridatu, berlanjut sampai sekarang semua orang pakai Tridatu.”

Seiring dengan populernya tradisi penggunaan gelang Tridatu, trend benang Tridatu ini pun mengalami perkembangan, mulai dari jumlah warna dalam untaian benang maupun bahan-bahan lain yang ditambahkan untuk menambah estetika tampilan saat dipakai sebagai aksesoris. Gus Bram menyebutkan, dalam penambahan warna dalam Tridatu itu sendiri kemungkinan menyimbolkan Dewata Nawa Sanga, yaitu dewa-dewa yang menjadi penguasa di sembilan penjuru mata angin. 

“Seperti warna kuning yang paling banyak ditemui dalam trend ini, itu bisa jadi merupakan simbolis dari Dewa Mahadewa yang menguasai arah barat, atau kalau di Pura Besakih itu ada diberikan benang berisi sembilan warna, jadi kemungkinan besar itu mewakili semua dewa yang ada, tapi itu pun penggunaannya sebatas sebagai gelang saja, tidak di upacara,” paparnya. 

Terlepas dari perbedaan jumlah warna yang digunakan, secara umum masyarakat menggunakan gelang Tridatu sebagai bentuk perlindungan dari para dewata, sehingga si pemakai akan merasa lebih percaya diri karena merasa terlindungi dari hal-hal negatif.

Apakah sebatas untuk perlindungan saja?

Tentu tidak. 

Dijelaskan oleh Gus Bram, penggunaan benang Tridatu memiliki arti yang lebih dari sekadar perlindungan. Penggunaan benang Tridatu juga memiliki arti bahwa si pemakai juga membawa sifat kedewaan bersama dirinya. “Jadi dengan membawa simbol kedewaan, kita diharapkan juga untuk mewarisi spirit kedewaan tersebut dalam diri sendiri, sehingga kita bisa mengamalkan ajaran dharma. Berbuat baik, misalkan,” tutur pria yang juga merupakan ketua dari organisasi Perhimpunan Pemuda Hindu (Peradah) Denpasar ini. 

Tak sampai di sana, penggunaan benang Tridatu juga memiliki makna filosofis sebagai bentuk untuk pengendalian diri. “Bahan dasar gelang itu sendiri apa? Kan tali. Tali fungsinya ya untuk mengikat, jadi filosofinya juga ya untuk mengikat, baik pikiran ataupun hawa nafsu.” lanjutnya lagi. 

Apakah filosofi tersebut hanya berlaku untuk benang dari tangkil di Pura saja?

Tidak juga, tuh. 

Gelang atau aksesoris lainnya yang menggunakan benang Tridatu kini menjadi trend di masyarakat. Aksesoris ini berupa gelang atau kalung yang diberi item tambahan, seperti plat aksara Ongkara, uang bolong, dan lain sebagainya. Cara mendapatkannya pun terbilang cukup mudah. Banyak toko-toko aksesoris dan toko oleh-oleh khas Bali yang menjual aksesoris Tridatu. 

Keberadaan trend aksesori ini tak lantas mengurangi nilai filosofis benang Tridatu atau pun nilai spiritual yang terdapat dalam benang Tridatu hasil dari persembahyangan ke Pura. Dalam hal ini, Gus Bram menjelaskan, sugesti pikiran si pemakai turut andil. 

“Ketika seseorang mendapatkan Tridatu dari paica atau hasil tangkil di suatu Pura tertentu, mungkin dia memiliki kepercayaan diri yang lebih karena memiliki nilai magis dari Pura tersebut, dibandingkan jika membeli sendiri. Namun kembali ke individunya masing-masing. Kepercayaan seseorang itu kan beda-beda, bisa jadi seseorang juga merasakan hal yang sama saat memakai benang yang dibeli, juga meningkatkan kepercayaan diri si pemakai karena gelangnya lebih menarik. Pada dasarnya semua orang senang diperhatikan, sama seperti ketika seseorang menggunakan banyak gelang hasil tangkil di mana-mana atau banyak memakai cincin,” tutupnya. *

Komentar