nusabali

Cassandra Complex vs Oedipus Complex

  • www.nusabali.com-cassandra-complex-vs-oedipus-complex

KEDUA kompleks ini bersumber dari mitos Yunani. Cassandra adalah putri cantik dari Troy.

Sedangkan, Oedipus adalah pembunuh ayah sendiri lalu menikahi ibu kandungnya. Cassandra dikutuk oleh Apolo agar kemampuan meramalnya tidak tepat. Sedangkan, Oedipus membunuh ayah sendiri lalu menyunting ibu kandung. Kedua sindroma tersebut melukiskan fenomena psikologi yang rusak, jiwa yang tergores dan memicu guncangan hebat.  Diksi ‘Cassandra complex’ di-iriterasi dalam ingatan khalayak tanpa sengaja. Sedangkan, ‘Oedipus complex’ selalu dihindari karena tak beradab, tak masuk akal.

Pariwisata Budaya bukan mustahil mendorong terjadinya sindroma Cassandra. Bagaimana mungkin itu terjadi? Hipotesisnya, “Apabila prediksi perkembangan dan pelestarian kebudayaan Bali tidak tercapai, maka roh kebudayaan Bali asali akan tergores”. Psikologi  kebudayaan Bali akan tercemar oleh unsur yang berseberangan, fitur budaya tak asali akan menjadi parasit, perilaku budaya tak senonoh akan tumbuh subur.

Peristiwa bom Bali I dan II memberi pembelajaran penting kepada krama Bali. Keamanan, kenyamanan, dan kesehatan Pulau Dewata selalu merupakan stimuli amat positif bagi wisatawan manca negara (wisman). Ketika ketiga kondisi tersebut tidak terjamin, kerumunan wisman akan berkurang. Lain halnya dengan wisatawan domestik (wisdom). Walau ketiga situasi tersebut bersifat kondisional, wisdom tetap mengalir dengan aman, nyaman, dan sehat. Jadi, menurunnya jumlah wisman seharusnya tidak menjadi stimulus negatif, sebuah ‘psychological pressure’ atau jiwa kebaliannya tergores. Oleh karena itu, krama Bali harus memiliki kemampuan menahan diri saat terjadi krisis.

Juga, komodifikasi adat dan budaya Bali dapat menciptakan sindroma Cassandra. Analog dengan kayu jati Jepara yang berkualitas sempurna dengan ketuaan yang sehat. Apabila kayu jati itu disayat dengan pisau dan berlangsung terus menerus, maka serat kayu akan terkelupas dan mengenai bagian yang lunak. Kebudayaan Bali terdiri atas serat nilai, norma, etika, dan moral lunak yang adiluhung. Apabila serat lunak itu disayat dengan pisau ekonomi yang tajam, maka lambat tetapi pasti kayu jati budaya krama Bali tergores esensinya. Analoginya seperti sebuah minuman bersoda. Apabila minuman bersoda ini diberi tekanan dengan kondisi tutup botol tertutup dan ditambah dengan tekanan oksigen yang kuat, maka minuman tersebut akan mengalami peningkatan elektrolit, sehingga mengeluarkan busa yang banyak pada saat tutup botol dibuka.


Bagaimana dengan sindroma Oedipus yang membayangi pariwisata budaya Bali? Sindroma Oedipus diambil dari mitos Yunani. Oedipus tidak mengetahui telah membunuh ayahnya, Laios. Kemudian, dia menikahi ibunya, Lokaste. Keakraban dengan pertumbuhan ekonomi sejak dini bisa membunuh ‘ayah kandung kebudayaan Bali asali’, analog dengan Oedipus Complex. Secara umum, pertumbuhan ekonomi meningkat; pendapatan per kapita semakin baik; pendidikan semakin maju. Pertanyaannya, apakah ‘ayah kandung kebudayaan Bali yang sudah tua’ akan terbunuh oleh ambisi ekonomi? Apakah ibu kandung kebudayaan Bali akan dinikahkan dengan kebudayaan tak asali? Dua pertanyaan ini perlu dikaji secara mendalam, baik aspek pahala positif maupun negatifnya.

Sindroma Oedipus jangan sampai ‘tumbuh dan berkembang’ dalam psikologi budaya Bali. Ia tidak akan menjadi karakter, tidak juga menjadi nilai tersendiri, apalagi norma nyeleneh, etika atau moralitas asing bagi krama Bali. Walau kepuasan ekonomi penting, namun lebih penting integritas untuk tidak menyingkirkan ‘orangtua kebudayaan Bali’ yang adiluhung. Kedekatan jiwa dengan teknologi informasi tidak mengharuskan kita membunuh tradisi dan literasi budaya leluhur. Jiwa budaya yang diwariskan leluhur harus selalu dilindungi dari pengaruh negatif zaman now.  Konflik berkepanjangan dalam berbudaya agama Hindu harus diminimalkan, baik karena ‘ukuran baju berbeda’, ‘spektrum warna berlainan’, maupun ‘afiliasi politik beroposisi atau berkoalisi’. Perbedaan adalah mozaik keindahan. Semoga. *

Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya

Komentar