nusabali

Tari Rejang Renteng Tak Diperkenankan Tampil saat Pujawali

  • www.nusabali.com-tari-rejang-renteng-tak-diperkenankan-tampil-saat-pujawali

Pantangan lainnya, sesuai warisan leluhur, pamedek yang belum maketus (tanggal gigi) tidak diperkenankan sembahyang.

Sisi Unik dan Pantangan di Pura Batukaru di Desa Wongaya Gede, Penebel, Tabanan  


TABANAN, NusaBali
Setiap pura yang ada di Bali memiliki keunikan tersendiri. Selain keunikan, masing-masing pura juga mempunyai pantangan yang harus ditaati oleh pangempon maupun pamedek. Sama halnya dengan di Pura Batukaru (Pura Batukau) yang terletak di lereng Gunung Batukaru Desa Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Tabanan, yang banyak memiliki sisi keunikan dan pantangan yang harus ditaati. Salah satu pantangan dimaksud, di Pura Batukaru tidak diperkenankan mementaskan Tari Rejang Renteng saat Pujawali. Suatu kali sempat ada persembahan tari tersebut, namun ada penari yang mengalami kerauhan (kesurupan).

Ketua Umum Pura Batukaru sekaligus Bendesa Wongaya Gede I Ketut Sucipto, menyatakan terkait dengan Pura Batukaru ada tatanan tarian apa saja yang bisa dipentaskan sehubungan dengan Pujawali. Di era sekarang, dia sangat menghargai adanya perkembangan seni tari. “Namun khusus di Pura Batukaru, dari zaman dulu sudah menerima warisan tari apa saja yang bisa dipentaskan,” ujarnya, Selasa (30/7).

Menurutnya tari yang bisa dipentaskan khusus di Kahyangan Pura (Utama Mandala) adalah Tari Rejang Dewa, Tari Rejang Dayung, Tari Rejang Pemendak, dan Tari Rejang Penyaksi. Sementara tari rejang yang lain seperti Rejang Renteng, sesuai warisan leluhur, tidak diperkenankan untuk ditampilkan.

“Kami selaku pangempon atau yang kami namakan Pangempon Batukau Satak Wongaya dan Tengkudak, sesuai dengan titipan warisan leluhur (Tari Rejang Renteng, Red) tidak diperkenankan,” tegas Sucipto.

Diakui Sucipto, sekitar setahun lalu sebelum dirinya menjabat sebagai Bendesa Adat Wongaya Gede, sempat dipentaskan Tari Rejang Renteng di Kahyangan Pura. Namun tak disangka, penarinya banyak yang kerauhan. “Setelah nunasang meminta petunjuk di Kahyangan, bahwa memang tidak diperkenankan mementaskan Rejang Renteng. Ida yang tidak berkehendak, bukan kami selaku pangempon,” tutur Sucipto.

Atas dasar itulah, selaku pangempon Pura Batukaru yang terdiri dari 8 desa adat tidak berani melanggar. Sebab memang sebelumnya tidak pernah mementaskan Tari Rejang Renteng. “Bukan kami sebagai pangempon tidak setuju tari (Rejang Renteng) dipentaskan. Seluruh tari itu bagus, hanya saja kami ingin menaati dresta warisan yang sudah dijalankan,” ujarnya.

Bahkan menurut Sucipto, saat Pujawali yang berlangsung pada Wrespati Umanis Dunggulan, Kamis (25/7) hingga Redite Wage Kuningan, Minggu (28/7), ada umat yang menarikan Rejang Renteng padahal sudah diimbau. Akhirnya belum selesai tarian tersebut dipentaskan, diminta untuk berhenti. “Jadi mohon maaf sekali, tidak ada maksud apa, siapa tahu nanti beliau (Ida Hyang Widhi) tidak berkehendak sehingga ada hal yang tidak diinginkan. Karena yang bertanggungjawab adalah kami selaku pangempon,” ujarnya.

Dia menuturkan, selain itu bagi pamedek yang akan tangkil ke Pura Batukaru juga ada imbauan yang harus ditaati. Sesuai dengan warisan, pamedek yang belum maketus (tanggal gigi) tidak diperkenankan sembahyang. Ini untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Sebab seperti pengalaman yang sudah terjadi, ada umat yang belum tanggal gigi memaksakan diri untuk nangkil sembahyang. Akibatnya, anak tersebut menangis tiada henti. Setelah pihak keluarga nunas air suci di Pura Kahyangan, tangis anak itu berhenti. “Ini sudah sering terjadi, saat pujawali kemarin ada yang memaksakan tangkil tetapi anaknya terus menangis,” beber Sucipto.

Tak hanya itu, Sucipto mengingatkan umat yang sedang hamil juga tidak diperkenankan sembahyang. Sebab secara logika jika terjadi hal yang tidak diinginkan seperti keguguran akan ada darah di kahyangan. Jika hal itu terjadi, akan membuat kahyangan harus dilakukan pacaruan. “Ini yang kami takutkan, sehingga setiap ada yang nangkil kami selalu mengingatkan lewat pengeras suara,” tandasnya.

Dengan adanya dresta tersebut, Sucipto menegaskan, pihaknya tidak bermaksud melarang umat untuk sembahyang. Namun karena itu merupakan kepercayaan dan warisan, sehingga harus ditaati. “Maka dari itu kami tak melarang, tetapi mengimbau,” ujarnya.

Pura Batukaru yang juga menjadi tempat favorit kunjungan wisatawan manca negara ini terdiri dari tiga wewidangan (bagian). Pertama adalah Palinggih utama, kedua Pura Beji, dan ketiga Pura Dalem Kahyangan. Pamedek yang akan tangkil ke Pura Batukaru, sebelum sembahyang di Palinggih utama terlebih dahulu sembahyang ke Pura Beji, baru ke Palinggih Utama, dan terakhir ke Pura Dalem Kahyangan. *des

Komentar