nusabali

Umanis Galungan, Warga Serbu Pasar Adat Pergung

  • www.nusabali.com-umanis-galungan-warga-serbu-pasar-adat-pergung

Selalu Ramai, Diyakini karena Ada Palinggih Jero Dukuh Sakti

NEGARA, NusaBali
Pasar Adat Pergung di Lapangan Umum Pergung, Banjar Baler Pasar, Desa Pergung, Kecamatan Mendoyo, selalu menjadi lokasi primadona yang dikunjungi warga Jembrana saat Hari Raya Galungan dan Kuningan. Seperti saat Umanis Galungan pada Wraspati Umanis Dunggulan, Kamis (25/7). Pasar yang hanya digelar serangkaian Hari Raya Galungan dan Kuningan ini ramai dikunjungi warga mulai pagi hari.

Selain pakaian dan perabot rumah tangga yang dijual dengan harga yang relatif terjangkau, wahana bermain anak-anak di pasar musiman yang juga dikenal bernama Pasar TC (Tegal Cangkring), ini juga menjadi daya tarik. Bahkan, beberapa warga sengaja datang mengajak rombongan anak-anak yang diangkut mobil pick up. Sementara petugas kepolisian sibuk mengatur arus lalu lintas di seputaran pasar yang berada di sisi jalan raya jalur Denpasar – Gilimanuk.

Ketua Panitia Pasat Adat Pergung I Nengah Ridja, Kamis kemarin, mengatakan kunjungan ke Pasar Adat Pergung sudah menjadi tradisi setiap menyambut Hari Raya Galungan dan Kuningan. Tidak hanya warga Jembrana, namun beberapa warga dari Tabanan dan Buleleng, juga biasa memadati pasar musiman yang hanya digelar saat Hari Raya Galungan dan Kuningn ini. “Ya sudah jadi tradisi. Kalau tidak ke Pasar Pergung, rasanya belum lengkap menikmati Hari Raya Galungan dan Kuningan,” ujarnya.

Ridja yang juga Ketua Pamucuk Desa Adat Pergung, mengatakan sejak digelar mulai sekitar tahun 1970-an, Pasat Adat Pergung yang pelaksananya diserahkan kepada krama Banjar Baler Pasar, ini biasa digelar selama 13 hari mulai Penampahan Galungan (H-1 Galungan) hingga Umanis Kuningan (H+1 Kuningan).  Namun kunjungan paling ramai, biasanya terjadi ketika hari H serta Umanis Galungan maupun Kuningan. “Kalau pas Hari H (Galungan maupun Kuningan), biasanya ramai mulai sore habis orang sembahyangan. Tetapi kalau umanisnya, bisa dari pagi sampai pasar tutup pukul 10 malam,” ucap Ridja yang juga Ketua Badan Musyawarah Banjar (BMB) Baler Pasar.

Saat mulai dirintis pada 1970-an, kata Ridja, Pasat Adat Pergung yang dibentuk atas inisiatif dirinya bersama sejumlah tokoh panglingsir di Desa Pakraman Pergung, ini hanya diisi sekitar 6 pedagang. Barang yang dijual pun sangat terbatas, seperti es cendol dan tipat cantok. Untuk menyediakan tempat pedagang kala itu, dilakukan secara gotong-royong dengan mewajibkan setiap krama membawa turus (patok kayu) dan kelabang (atap berupa anyaman dari daun kelapa, Red).

“Karena terus ramai, pedagang yang ingin berjualan semakin banyak. Sekarang ini, ada sekitar 300-an pedagang, dan dampak yang dirasakan warga sekitar semakin besar. Di samping mendapat rezeki dengan menyewakan tempat pakir, warga lokal juga semakin banyak ikut jualan. Ada yang jualan makanan, kain, dan sebagainya. Tetapi pedagang-pedagang dari Jawa, tetap kami rangkul agar tetap ramai, dan kami ingin pedagang lokal dapat semakin termotivasi melihat peluang-peluang usaha,” ungkapnya.

Secara pribadi, dia yakin jika Pasat Adat Pergung yang tidak pernah sepi dikunjungi warga setiap menyambut Hari Raya Galungan dan Kuningan, ini juga tidak terlepas dari pengaruh niskala. Hal itu berkenaan keberadaan Palinggih Jero Dukuh Sakti di pojokan timur laut areal lapangan setempat, yang diyakini senang dengan keramaian.

“Saya percaya ada pendukung niskala, di samping pengelola di sekala. Bagaimana kita tetap berusaha mempertahankan konsep tradisional, dan menyewakan stand dengan harga murah. Per stan kita sewakan Rp 450.000 selama 13 hari,” kata salah satu tokoh panglingsir di Desa Pergung yang juga Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Forum Kebangkitan Masyarakat Jembrana ini. *ode

Komentar