nusabali

Kala Cakra yang Bergerak

  • www.nusabali.com-kala-cakra-yang-bergerak

APA yang membentuk peradaban Bali? Jawaban sederhananya adalah perjalanan dari masa ke masa: masa lalu, masa kini, dan masa akan datang.

Kapan masa lalu itu dimulai dan kapan berakhirnya tidak ada yang tahu. Dalam ayat Mahabharata, Shanti 331/5 dijelaskan bahwa ‘hidup terus bergerak, tidak pernah berhenti walau sejenak. Seperti aliran sungai tidak pernah kembali, hari-hari dan malam terus mengalir’. Demikian halnya dengan peradaban tanah dan krama Bali, bagai kala cakra. Pergerakannya terus berputar, pagi-siang-malam, kaja-kelod-kangin-kauh, purnama-tilem, menjadi teka-teki ciptaan, polemik antara tradisi dengan kehidupan modern, atau kreasi ritual dengan permainan maya? Semuanya bagai waktu yang bergerak, bergulir tiada putusnya.

Bali dulu dan saat ini tidak persis sama, sehingga ‘menilai’ Bali saat ini dengan ukuran masa kuno tidak sahih. Ukurannya berbeda dan cita rasanya juga berbeda. Jangan membayangkan ketiga ruang, waktu, dan aspirasi krama Bali persis sama. Di masa lalu ada strata sosial, tetapi saat ini strata itu tidak dimaknai sebagai hierarki. Kalau masih menganggap Bali ini sebagai ‘ruang kosong’, maka konflik tidak bisa dihindarkan. Ruang Bali bukanlah sebuah ruang kosong, melainkan sebuah ruang yang dipenuhi dengan galaksi kebudayaan adiluhung. Alam Bali merupakan instrumen utama yang mengatur peradaban. Sedangkan, keyakinan Hindu merupakan instrumen pendukung yang mentransformasi dinamika. Siklus antara Bali Dwipa Jaya dan Bali Pariwisata Budaya memungkinkan untuk menghitung terbit dan tenggelamnya Bali secara sekala maupun niskala.

Adapula teka-teki lain dari kala cakra itu. Waktu ada di mana-mana, tetapi manfaat waktu tidak ada pada semua. Di Bali, pendidikan yang merata dan adil belum menyentuh semua segmen; kesejahteraan materi hanya ada pada segmen kecil, sedangkan ritual Hindu ada pada semua segmen. Pengetahuan berupa jnana berdasarkan ayat-ayat Veda belum tersebar luas, sementara etika duniawi menyelimuti anak dan remaja, atau bahkan kalangan krama dewasa. Meskipun ritual Hindu memenuhi ruang dan waktu, namun esensinya masih menyisakan kontradiksi. Ritual Hindu memiliki eksistensi secara religius. Esensi atau manfaat ritual secara indrawi tidak dapat diukur  secara langsung.

Eksistensi ritual bukanlah suatu keberadaan fisik belaka, seperti  nista-madya-utama. Ritual mungkin dapat disepadankan dengan kala atau waktu. Meski ritual bersifat statis seperti waktu, namun ia masih dinamis atau bergerak. Ritual dimaknai statis dalam arti maknanya tetap sama, walau bentuk dan kreasinya dinamis sejalan dengan kreativitas. Tidak hanya itu, ritual dapat menggerakkan artha dan kama. Kita bisa membayangkan Bali tanpa banten, apa jadinya? Bali tidak mungkin eksis tanpa ritual, hanya dengan ritual eksistensi Bali dapat dipertahankan sepanjang masa. Suatu saat, apabila ritual religius ini diganti dengan ritual lain, maka keterlangsungan desa, kala, dan patra Bali akan sirna. Sebuah nilai, norma, dan etika yang adiluhung akan berganti dengan sesuatu yang asing.

Kala Cakra amat meresapi kehidupan krama Bali. Waktu tidak memiliki hulu atau muara, bergerak sepanjang masa; diyakini membawa petaka atau pahala; kontradiktif dan berada di luar logika manusia; tidak ada kemenangan atau kekalahan seperti dalam pemilu; waktu membuat orang tak berdaya dan merasa dipecundangi (Gauri Shankar Gupta,2017). Gerakan waktu amat misterius, diketahui pagi-siang atau-malam, kehadirannya dirasakan namun hasilnya tidak bisa diramal. Oleh karena itu, Bali harus  diyakini dan dipahami sebagai sebuah konsep waktu yang bergerak maju dan tidak bisa dihentikan. Semoga. *

Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya

Komentar