nusabali

Jual Mahal Pedagang Bali

  • www.nusabali.com-jual-mahal-pedagang-bali

Kata jual sering berarti kiasan, sehingga bisa memberi makna macam-macam.

Jual aksi berarti memperagakan diri, menyombongkan diri. Ini mirip dengan jual lagak. Ada pula istilah jual kecap, cocok diperuntukkan buat siapa saja yang senang memuji diri sendiri atau memuji berlebihan barang yang dijualnya. Kalau jual lepas berarti menjual tunai, kontan, tanpa syarat apa pun, beres.

Kalau jual diri semua orang tahu, itu artinya melacur. Beda dengan jual muka yang berarti memperagakan diri untuk menarik perhatian atau mencari keuntungan, misalnya agar dapat mendapat pujian atau hadiah.

Yang tak kalah sering diperbincangkan adalah jual mahal, dimaknai sebagai tidak sudi segera mengiyakan atau menyetujui, sering berputar-putar dulu sebelum bilang oke. Biasanya orang yang jual mahal cenderung biar tidak dianggap murahan. Peristiwa ini tidak selalu menyangkut jual-beli, juga sering terjadi pada dua orang, laki dan perempuan, yang saling taksir. Mereka sama-sama suka, tapi karena jual mahal, tak seorang pun sudi memulai bilang cinta. Seumur hidup mereka berteman.

Selain arti kiasan, jual mahal juga punya arti sesungguhnya. Makna yang asli, memang benar-benar jualan mahal. Misalnya, pedagang makanan di warung atau kaki lima dikenal ada yang menjual mahal makanannya, tapi ada juga yang murah. Memang, yang gampang kentara langsung jual mahal sesungguhnya adalah pedagang makanan.

Beda pedagang, beda pula harga makanan mereka. Ada penjual makanan yang enak dan murah, sehingga laris dan pembeli antre. Ada pedagang yang lezat masakannya, tapi mahal, sehingga cuma orang-orang berduit yang belanja. Kalau penjual makanan yang hambar pasti cepat tutup.

Ada pedagang yang rasa masakannya sedang-sedang saja, dan dijual mahal, karena ingin dapat untung banyak. Banyak yang berkomentar, penjual makanan di warung-warung kaum pendatang di Bali rata-rata menjual masakan lebih murah dibanding pedagang orang Bali. Selain itu, masakan para pendatang ini lebih lezat serta lebih bervariasi. Orang lokal masakannya cuma lawar, babi guling, be genyol, atau betutu.

Bisa saja pendapat ini keliru, mengada-ada, bahkan berlebihan. Tapi, bisa jadi juga benar. Acap terjadi warung-warung kaum pedagang lebih ramai tinimbang warung yang dikelola orang Bali. Masakan yang dijual sama: nasi campur. Lauknya pun tidak beda: ayam goreng, sayur urap atau kare ayam. Padahal warung Bali dan pendatang sama-sama menyuguhkan saur, hati rempelo goreng, telur dadar, tapi yang laris warung pendatang.

Apa yang menyebabkan orang Bali kalah bersaing menjual masakan sehari-hari?

Para pekerja di kantor-kantor swasta, yang pendapatannya cuma sebatas upah minimum regional (UMR) bisa menjelaskan mengapa warung makanan milik orang Bali kalah bersaing. Para pekerja ini tinggal di rumah-rumah kos sempit, berbagi dengan rekannya. Mereka biasanya makan di warung-warung, sering membeli makanan dibungkus, dibawa pulang buat makan malam. Acap pula mereka cuma membeli lauk, nasi masak sendiri, buat menghemat, agar gaji cukup buat hidup sebulan setelah dipotong sewa kos.

Menurut pekerja-pekerja ini, masakan orang Bali itu memang lebih mahal. Pedagang dari Blitar atau Banyuwangi, menjual nasi campur Rp 10.000 per porsi. “Itu porsi sudah lumayan banyak, sudah bikin kenyang, terutama buat wanita,” ujar seorang karyawan dari Bangli. “Kalau pedagang Bali menjual nasi campur setidaknya Rp 15.000 per porsi. Paling murah Rp 12.000.”

Ada lagi kelemahan pedagang nasi Bali. Para pedagang Bali acap kali dinilai curang, sering main akal-akalan. Menurut karyawan yang bekerja di percetakan tadi, kalau kita belanja dan masih punya kembalian (susuk), seribu atau dua ribu, pedagang Bali suka bilang tidak ada susuk. Mereka menganjurkan kita untuk mengambil kerupuk atau keripik, sebagai pengganti susuk. “Memang sih cuma seribu, tapi kita kan gak suka dipecundangi, sehingga ogah balik belanja ke warung itu lagi.”

Mungkin karena mereka perantau, kebanyakan pedagang pendatang yang menjual masakan lebih ramah. Mereka, kalau kita lewat, sering menyapa. “Ke mana to pak-e? Gak makan toh? Ada ayam goreng dan sayur kelongkang.” Mereka promotif. Kalau pedagang Bali banyak yang ogah diajak bicara.

Tentu tak semua sependapat pedagang pendatang lebih unggul tinimbang pedagang lokal. Yang tidak sependapat ini juga punya pendapat sendiri mengapa kaum pendatang bisa jual masakan lebih murah. “Masakan Jawa itu bumbunya tidak banyak, makanya bisa dijual murah,” komentar mereka. Tentu tidak masalah murah atau sedikit, yang penting lezat. Banyak pedagang nasi lokal yang menambah sambal pada suguhan nasi campur mereka, mengikuti kebiasaan pedagang pendatang, biar lebih mantap disantap.

Kadang persaingan ini mengkhawatirkan, karena pedagang nasi lokal bisa terdesak dan gulung tikar. Apalagi acap kali pedagang lokal ini tutup tidak berjualan karena didera kesibukan adat. Orang-orang kos-kosan itu akhirnya pindah dan jadi terbiasa belanja di warung Banyuwangi atau Jember.

Untungnya para pendatang itu tidak menjual masakan babi, sehingga masakan Bali seperti soto babi, lawar, masih dimonopoli pedagang Bali. Jika para pedagang pendatang itu ikut menjual masakan babi, bisa jadi orang Bali bakalan berbondong-bondong ke warung mereka. Atau setidaknya siapa tahu, mereka akan menjual khusus lawar kambing. Bukankah dalam urusan masakan, para pendatang itu lebih kreatif tinimbang orang Bali? *

Aryantha Soethama
Pengarang

Komentar