nusabali

Menyama Adalah Bersaudara

  • www.nusabali.com-menyama-adalah-bersaudara

DI Bali dikenal pembedaan kata ‘nyama sodet’ dan ‘nyama kualon”. Kata pertama bermakna saudara satu ayah dan ibu, sementara kata kedua merujuk pada saudara tiri.

Pembedaan makna tersebut berimplikasi pada kedekatan emosional.  Emosionalitas antara saudara kandung lebih dekat, tetapi antara anak kandung dan tiri seperti kucing dan anjing, awalnya baik nakmun akhirnya konflik. Sebaliknya, antara saudara sekandung sering terjadi perselisihan, namun dengan saudara tiri malah baik-baik saja. Konflik terjadi karena ada pemicu, misalnya perebutan warisan. Ketika ada warisan, masalah pembagian secara adil menjadi persoalan. Sebaliknya, ketika tidak ada warisan, persoalan lain muncul. 

Di samping itu, ada kata ‘menyama-nyama’, yang artinya memperlakukan dirinya sebagai atau berbuat sama dengan saudara satu darah daging. Menurut Dr I Made Pageh, sejarahwan Undiksha mumpuni, masuknya Islam ke Bali memunculkan penyamabrayaan orang Bali Hindu dengan Islam. Persaudaraan ini sudah menjadi tradisi, bahkan ia masuk ke struktur ritual yang dilakukan oleh nenek moyang orang Bali.

Pada masa I Gusti Ngurah Panji Sakti, seusai upacara melasti dilanjutkan dengan anjangsana ke Masjid Nurrahmah yang berlokasi di sekitar Pelabuhan Buleleng. Persaudaraan demikian telah berlangsung turun temurun. Keberadaan umat Muslim tak lepas dari peran Puri Kanginan di Singaraja. Hubungan antara semeton Bali  dengan nyama Selam demikian erat. Nyama Selam diyakini sebagai pasukan penjaga puri. Mereka melindungi di sisi timur dan selatan puri. Sedangkan, sameton Bali  melindungi dari sisi barat dan utara. Atas jasa itu, nyama Selam diizinkan membuat pemukiman.

Penyamabrayaan antara sameton Bali dan nyama Selam amat erat. Seperti terlihat dalam ritual Bancakan, yakni tradisi makan bersama yang diselenggarakan setiap hari besar keagamaan umat Muslim. Sameton Bali menyebut Bancakan dengan istilah magibung. Biasanya, di Kampung Singaraja, tradisi Bancakan ini dilaksanakan setiap Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, dan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Tradisi Bancakan ini memang acara makan-makan biasa. Satu nampan nasi beserta lauk, biasanya diperuntukkan bagi lima atau enam orang warga. Istimewanya, di Ka-mpung Singaraja, tradisi Bancakan bukan hanya diperuntukkan bagi umat Muslim saja, tapi juga untuk sameton Hindu Bali. Mereka duduk bersama dalam satu lingkaran, tanpa memasalahkan suku maupun agama masing-masing. Jalinan hubungan kekerabatan tersebut telah menciptakan kedamaian.

Ketika ditelisik, penyamabrayaan demikian bisa terwujud dikarenakan adanya kesa-maan prinsip untuk saling menjaga dan menghormati. Walau berbeda suku dan agama, tapi mereka dipersatukan oleh rasa dan tanggung jawab untuk menciptakan keharmonisan antara sesama dan lingkungan.

Faktor lain, yaitu adanya komunikasi antara semeton Bali dan nyama Selam. Komu-nikasi yang baik tentu saja akan menghasilkan hubungan yang baik dan meminimalkan terjadinya kesalahpahaman. Komunikasi buruk dalam keluarga dapat memicu di pertengkaran. Faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah keterbukaan dan kesediaan menerima. Mementingkan identitas diri akan membentuk egoisme, terkadang menyebabkan seseorang kurang respek. Keyakinan diri secara berlebih akan mengurangi perhatian pada orang lain. Keyakinan terhadap agama memang hal yang penting, tetapi yang lebih penting adalah mengamalkan ajaran demi kedamaian dan persaudaraaan.

Tantangan zaman demikian kompleks, apa yang ada dulu, sekarang hampir musnah. Kebajikan masa silam ditunggangi oleh kepentingan kekinian. Berbagai aspek kehidupan zaman Now ditengara akan berpengaruh terhadap kehidupan di gumi Bali, termasuk penyamabrayaan tersebut. Secara kuantitas maupun kualitas, menyama-nyama antar kultur sudah mulai menipis. Kultur kehidupan digital telah banyak mewarnai perilaku sameton Bali dan sameton lainnya. Semoga kita terhindar dari efek negatif zaman Industri 4.0! *

Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya

Komentar