nusabali

Dulu Stana Bhatara Sri, Kini Rumah Turis

  • www.nusabali.com-dulu-stana-bhatara-sri-kini-rumah-turis

Dari sisi etika arsitektur, Jineng tidak pas untuk kamar tidur karena juga tergolong bangunan sakral.

Jineng, Arsitektur Bali yang Tergerus Zaman

JINENG, salah satu wujud arsitektur tradisional Bali yang sarat dengan tradisi agraris di Bali. Pada era dulu, Jineng yang juga disebut klumpu, krumpu, glebeg ini adalah  perlambang nyata kemakmuran sebuah keluarga. Jika ada Jineng, maka dapat ditebak keluarga pemilik bangunan ini tergolong mapan. Setidaknya mereka biasa menyantap nasi tulen (nasi yang hanya berbahan beras, Red). Karena era dulu, orang Bali khususnya kebanyakan makan nasi meoran yakni nasi berbahan campuran antara ketela pohon, pisang, jantung pisang, ubi talas, dan lainnya. Selebihya makan nasi cacah atau cacahan bahan makanan  tersebut, diawetkan dengan cara dijemur atau dikeringkan di punapi (pengering di atas tungku dapur, Red).  

Pada bagian atas, Jineng merupakan bangunan suci. Dalam tradisi puja di Bali, bangunan yang bersaka empat sampai delapan ini tak hanya tempat menyimpan padi atau gabah. Jineng juga jadi linggih (stana) Ida Bathara Sri, manifestasi Tuhan/Ida Sanghyang Widhi Wasa sebagai penebar kemakmuran.

Namun seiring kemajuan pembangunan, Jineng mengalami pergeseran fungsi. Dari awalnya tempat menyimpan padi/gabah dan linggih Ida Bathara Sri, kini Jineng banyak difungsikan sebagai bangunan Bali yang tak ada hubungannya dengan pertanian. Bahkan bangunan ini kini banyak dimanfaatkan menjadi akomodasi pariwisata. Di antaranya diadopsi jadi villa, tempat tidur para turis. Karena keunikan arsitektur dan usianya yang puluhan tahun, Jineng menjadi barang antik dengan harga rupiah atau dolar yang tidak sedikit.

Alih fungsi Jineng secara besar-besaran dari sektor pertanian ke sektor non agraris di Bali terjadi era 1970-an. Hal tersebut menyusul kebijakan swasembada pangan oleh pemerintah. Pembangunan sarana dan prasasana irigasi seperti bendungan digencarkan. Pencetakan sawah-sawah baru dilakukan. Perubahan dalam budidaya padi, pola tanam, hingga pasca panen tak terelakkan. Varietas bibit padi lokal atau padi Bali diganti dengan bibit padi baru, antara lain varietas PP, PB5, C4, R, Cruing, dan jenis lainnya. Jenis padi ini tentu dengan waktu pelihara lebih pendek atau sekitar 100 hari, dengan produktivitas lebih banyak. Pola memanen padi tak lagi memanfaatkan perkakas tradisional, mulai dari ani-ani/ketam, alu (penumbuk) hingga lumpang atau lesung. Hal itu karena penanganan padi varietas anyar tidak memerlukan lagi perabotan tersebut.

Proses pengolahan padi varietas baru, relatif simple. Usai nigtigang (panen), gabah dijemur. Setelah kering- jika dibutuhkan dibawa ke pabrik penggilingan/penyosohan untuk dijadikan beras. Prosesnya pendek. Beda dengan proses penanganan padi varietas lama (padi Bali) dengan rentang waktu pelihara sekitar enam bulan dan pascapanen lebih rumit.

Karena petani memilih memilih menjual padinya dan dengan cepat menjadikan beras, maka Jineng pun tak mutlak dibutuhkan. Petani enggan repot menyimpan gabah ke Jineng. Apalagi harus naik turun tangga untuk memasukkan gabah ke dalam Jineng.

Dosen Arsitektur di Fakultas Teknik Arsitektur Universitas Udayana, Ida Pedanda Istri Putri Kemenuh, menyatakan alih fungsi Jineng merupakan konsekuensi nyata dari pergeseran penghidupan orang Bali. Mulanya berpenghidupan di sektor agraris ke sektor lain, seperti pariwisata, dan jasa lainnya. Pergeseran pola penghidupan tersebut menyebabkan hal-hal termasuk perabotan atau perkakas pertanian mengalami kehilangan fungsi pokok. “Sehingga banyak jineng atau klumpu kosong,” ujar Ida Pedanda, Minggu (24/2) lalu.

Jelas Ida Pedanda, di pihak lain sektor pariwisata yang semakin mendominasi, juga menyebabkan perkakas dan perlengkapan pertanian tradisional, mengalami perluasan fungsi. Alat-alat tersebut bersikap akomodatif terhadap tuntutan selera pasar wisata. Pariwisata menjadikan Jineng yang awalnya merupakan wadah padi, linggih Ida Bathara Sri, beralih fungsi menjadi rumah turis, sebagaimana vila.

Model Jineng Negara, Jembrana, kini kebanyakan dipakai untuk tempat magesah-gesah (ngobrol). Foto: IB Diwangkara

Secara ilmu arsiktektur, Jineng merupakan struktur yang tepat untuk menyimpan barang sejenis padi. “Strukturnya yang melengkung, bermanfaat untuk menjaga suhu di dalamnya tetap hangat” jelas sulinggih saat walaka bernama Dr Ir  Ida Ayu Armeli Msi.

Jelas sulinggih kelahiran Banjar Griya Cucukan, Desa Selat, Kecamatan/Kabupaten Klungkung ini, bentuk Jineng yang melengkung dan tertutup, bertujuan menyimpan panas yang memang dibutuhkan padi. Konstruksinya yang kokoh tertutup rapat, mengantisipasi masuknya hewan pengerat yakni tikus ke dalam Jineng. “Karena itu sejujurnya, bangunan model Jineng tidak cocok untuk tempat tidur,” lanjut Ida Pedanda.

Dari sisi etika arsitektur, kata Ida Pedanda, Jineng tidak pas untuk kamar tidur karena juga tergolong bangunan sakral. “Itu kan linggih Ida Bathara Sri. Jadi ada nilai religiusnya,” kata Ida Pedanda.

Pengamat tata ruang dari Fakultas Teknik Unud Putu Rumawan Salain menyatakan apa yang terjadi dengan Jineng merupakan buah dari kebijakan yang tidak didasarkan atas pemikiran yang holistik. Ia menyinggung kebijakan pemerintah swasembada pangan tahun 1970-1980. Namun Bali harus menerima dampaknya. Salah satunya, terkikisnya model budidaya pertanian tradisional dengan segala perkakas yang unik, termasuk Jineng. “Dalam kasus alih fungsi Jineng, Bali telah kehilangan salah satu khasanah arsiktektur tradisional,” ujar laki-laki asal Bangli ini.

Jelas dia, di balik arsitekturnya yang khas, dalam Jineng ada rekaman makna peradaban tradisi agraris. Semestinya, Bali tidak sekadar asal comot setiap kebijakan dan program dari Pusat. Mesti dikaji secara menyeluruh dan matang, plus-minusnya. Terutama dampaknya bagi keunikan dan kekhasan Bali, yang membuat Bali sebagai daerah yang khas dan memang layak disebut unik. Menurut Rumawan, pergeseran fungsi Jineng tidak selalu karena faktor tunggal. Populasi penduduk terus berkembang, menyebabkan kebutuhan ruang meningkat. Bangunan tradisional tidak bisa menjawab kebutuhan ruang jadi tergusur, salah satunya Jineng. 7 Nata

Komentar