nusabali

KESEHATAN : Jangan Paksa Anak Makan

  • www.nusabali.com-kesehatan-jangan-paksa-anak-makan

Memaksa anak untuk makan bisa menyebabkannya trauma dan rasa tidak bahagia setiap kali waktu makan tiba.

Menurut dr Diana F Suganda MKes SpGK, trauma makan pada anak dimulai sejak anak masih balita. “Proses makan yang enggak enak, enggak happy, membuatnya trauma. Anak-anak masih polos, kitalah sebagai orangtua yang 'melukis kertasnya',” katanya.

Proses pemberian makan pada anak usia dini memang gampang-gampang susah. Hal itu juga dialami oleh aktris Sandra Dewi ketika menghadapi pola makan anaknya, Raphael yang berumur satu tahun. “Dibanding masa kehamilan dan menyusui, tantangan paling berat itu menurut saya waktu MPASI. Kadang anak makan tergantung mood. Hari ini diberi lauk ini suka, besoknya belum tentu,” ujar Sandra.

Ia mengatakan, setiap hari harus memikirkan menu apa yang harus dimasaknya untuk buah hatinya. “Tiap hari mikir menu. Apakah anaknya akan suka, atau apakah nanti dihabiskan,” katanya. Meski terkadang Raphael menolak makan, Sandra mengatakan tidak pernah memaksa makan. “Paling saya akan panggil pasukan, seperti nanny-nya atau embak, untuk menghibur Rafa saat makan. Tapi sekarang ini dia lagi suka makan bareng-bareng dengan saya,” ujarnya. Orangtua memang hendaknya bersikap sabar ketika menghadapi anak balita yang susah makan. “Dorong anak untuk makan, bukan memaksa. Dampingi anak saat makan dengan gembira, sehingga mindsetnya proses makan itu menyenangkan,” kata Diana.

Anak juga perlu diperkenalkan dengan rasa lapar dan kenyang. Jadi, jangan diberi snack terlalu banyak supaya ketika waktu makan tiba anak sudah lapar. Prinsipnya adalah responsive feeding, kasih makan langsung saat anak sudah lapar. Bila anak menolak suatu makanan, coba ganti dengan tekstur dan rasa yang berbeda. “Makan juga jangan lebih dari 30 menit karena setelah itu sinyal kenyangnya sudah muncul. Kalau makanan tidak habis, tidak apa-apa. Biar saja dia lapar sampai jam makan berikutnya. Untuk menyiasatinya, berikan makan dalam porsi kecil, kalau kurang baru nambah dari pada tidak habis,” katanya.

Kebutuhan nutrisi yang didapat dari ASI tidak cukup untuk kebutuhan bayi berusia 6 bulan ke atas. Itu sebabnya di usia itu bayi perlu diberi makanan pendamping ASI (MPASI). Makanan yang dianjurkan untuk bayi yang sudah lulus ASI eksklusif harus mengandung karbohidrat, protein hewani dan nabati, lemak, dan juga air atau mineral. “Ini bisa disebut sebagai makanan yang mengandung unsur 4 bintang, sudah mengandung makro nutrien dan mikro nutrien,” kata dr Margareta Komalasari SpA.

Menurut ia, sebaiknya MPASI bukan puree sayur dan buah karena kandungan nutrisinya tidak mencukupi untuk tumbuh kembang bayi. Untuk bayi yang berat badannya tidak sesuai dengan usianya, Dr dr Damayanti Rusli Sjarif SpA menyarankan agar memperhatikan kandungan protein hewani dan karbohidrat. Bayi yang berat badannya kurang karena asupan nutrisinya kurang baik, bisa berujung pada kondisi stunting atau anak pendek karena kurang gizi kronis. Perkembangan otak anak pun terhambat. Stunting pada balita di Indonesia banyak disebabkan oleh asupan protein hewani yang tidak cukup pada dua tahun pertama kehidupannya.

Sumber protein hewani terbaik yakni whey protein, telur, susu, ikan, ayam, dan terakhir daging merah. Damayanti juga menyayangkan tren pemberian pure buah dan sayur sebagai MPASI karena berisiko membuat anak mengalami berat badan tidak sesuai usia. “Sayur dan buah perlu diperkenalkan sejak dini, tapi cukup sedikit saja. Sayur bisa ditambahkan pada MPASI, dan buah untuk snack,” katanya. Kandungan serat yang tinggi pada sayur dan buah juga akan membuat bayi cepat kenyang sehingga tidak mau makan. Akibatnya, asupan nutrisi lain yang lebih penting jadi tidak terpenuhi.

Ahli gizi Leona Victoria menjelaskan, paksaan makan pada anak akan menimbulkan ketakutan berlebih pada makanan. “Makan itu harus dinikmati, supaya anak punya hubungan yang baik dengan makanan,” ujarnya. Lantaran didorong oleh orang tua, anak yang belum bisa memilih makanan yang disukainya akan merasa terpaksa makan. Ini menciptakan hubungan yang tidak sehat antara anak dengan makanan, seperti trauma, yang berujung pada gangguan perilaku makan.

Gangguan makan merupakan suatu penyakit yang melibatkan emosional, psikis, dan fisik penderita. Kondisi ini ditandai dengan pola makan yang menyimpang.

Berdasarkan jenis, gangguan makan dibedakan menjadi anoreksia nervosa, bulimia nervosa, dan gangguan makan tak terdefinisi. Ada dua dampak jangka panjang yang mungkin terjadi ketika orangtua terbiasa memaksa anak makan. Hal pertama, yang mungkin terjadi adalah ketakutan terhadap makanan sehingga mereka cenderung membatasi jumlah asupan. Kondisi lainnya adalah anak cenderung banyak makan karena dorongan emosi. Pada akhirnya anak akan mengalami obesitas.

Ia jelaskan anak dengan gangguan makan harus segera mendapatkan perawatan medis. Bantuan psikolog juga diperlukan agar penderita tidak memusuhi makanan. Selain itu, juga dibutuhkan kesadaran dari penderita untuk sembuh dan kembali ke pola makan yang benar. Perlu waktu dua tahun agar seorang penderita gangguan makan dapat sembuh seutuhnya.

Sebagai upaya pencegahan, orangtua dapat menggunakan metode finger food sejak anak masih balita. Finger food merupakan makanan yang mudah dimakan oleh bayi, baik digigit, dihaluskan saat dikunyah, atau dipegang tangannya sendiri.

Metode itu membiarkan anak untuk mengeksplorasi makanan dengan tangannya sendiri sehingga ia dapat belajar mengenal berbagai jenis dan warna. Melalui metode ini diharapkan anak tidak takut dan dapat menciptakan hubungan yang baik dengan makanan. *

Komentar