nusabali

Tahun Baru di Bali

  • www.nusabali.com-tahun-baru-di-bali

HARI-HARI akhir tahun 2018 Denpasar tidak sehiruk pikuk tahun-tahun lalu. Tahun ini Denpasar dan kota-kota lain di Bali sepi dari ledakan mercon dan petasan.

Tidak seperti menjelang tahun baru 2011 lalu, misalnya, yang menjadi hari-hari paling meriah, paling hebat, spektakuler, juga paling brutal, paling tak mau tahu, dan paling aneh, karena tiada henti petasan dan mercon diledakkan. Seakan orang-orang itu tak kehabisan duit buat beli mercon dan kembang api.

Kala itu di malam tahun baru sangat hiruk pikuk oleh ledakan mercon dan semburat kembang api. Angkasa penuh asap dan kembang api berpendar-pendar mengiringi bunyi mencericit melesat, disusul ledakan memekakkan telinga. Orang-orang berkerumun tengadah memandang angkasa sembari menutup kuping. Banyak yang bersorak, bertepuk tangan, kemudian mendesiskan rasa kagum “wah... wah... wah....” ketika mercon berdentum dan kembang api berpendar.

Padahal, sesungguhnya orang Bali di Bali sesungguhnya tak mengenal tahun baru. Mereka memang menyebut Hari Raya Nyepi sebagai tahun baru, tapi Nyepi lebih dimaknai sebagai hari suci tinimbang sebagai hari untuk bersenang-senang. Jika orang lain memaknai tahun baru untuk bersuka cita, orang Bali mengartikan Nyepi sebagai saat untuk beristirahat, melepas penat. Kepada dunia, orang Bali gigih menganjurkan agar Nyepi dijadikan saat meresapi nasib semesta, bukan untuk berhura-hura merayakan tahun baru.

Bagi orang Bali, tahun baru di Bali adalah hari kerja, bukan hari untuk bersenang-senang. Karena itu, setiap menjelang pergantian tahun, yang sibuk bersuka ria justru para pelancong di sepanjang Kuta, Nusa Dua, Jimbaran, Sanur. Orang Bali memanfaatkan saat-saat itu untuk berdagang, mencari uang. Karyawan hotel sibuk, karyawan rumah makan lembur. Pengusaha cetak digital giat mengerjakan pesanan yang harus rampung di akhir tahun. Poster, billboard, terpajang di sudut-sudut kota mengisyaratkan hiburan penuh suka cita menjelang pergantian tahun.

Di Bali, tahun baru adalah sebuah kesempatan. Para pelancong itu menjadikan Bali sebagai sebuah tempat untuk menikmati detik terakhir ujung tahun. Seorang wartawan Jakarta ketika mewawancarai tentang kesan-kesan sepanjang tahun terhadap enam nara sumber, mereka semua mengaku hendak bertahun baru di Bali bersama keluarga.

Jalan di sepanjang Kuta pun sesak padat. Mobil-mobil berseliweran dengan nomor polisi luar Bali segera memberi isyarat, yang memadati Kuta adalah para pelancong. Taksi hilir mudik begitu mudah mencari penumpang, namun karena terjebak kemacetan, tetap saja sopir-sopir menggerutu, karena peluang menaikkan penumpang lebih banyak tak kesampaian.

Di mal-mal sebagian besar pengunjung adalah orang-orang plesir. Tak mudah mendapatkan orang Bali di antara kerumunan itu. Bermacam bahasa daerah, dengan aneka dialek, berhamburan di pusat-pusat perbelanjaan. Dan hampir tak terdengar bahasa Bali di antara mereka.
Lalu, ke mana orang Bali bertahun baru?

Begitulah, orang Bali tak mengenal tradisi merayakan tahun baru. Yang bertahun baru di Bali adalah turis-turis itu. Tak mudah mendapatkan jawaban mengapa orang Bali tak merayakan tahun baru. Boleh jadi karena tahun baru tidak disertai dengan odalan atau hari raya Bali lain. Mungkin juga karena tak ada tradisi merayakan tahun baru dengan menghaturkan sesaji. Bagi orang Bali, bukan hari raya, bukan hari khusus namanya kalau tidak disertai banten.

Pasti ada alasan menarik mengapa orang-orang senang merayakan pergantian tahun di Bali. Orang Surabaya, Jogja, Bandung, Jakarta, tumpah ruah ke Bali. Mereka berkomentar, ke Bali itu gampang, dekat. Muncul pula kesan, di Bali bisa dijumpai banyak hal, mulai yang serius, yang sulit, yang mudah, yang kocak, yang suci, sampai yang mesum. Mereka menganggap, Bali itu sebuah tempat yang sangat bebas, begitu leluasa, sangat longgar. Keadaan seperti itu sangat cocok bagi siapa pun yang hendak bersenang-senang menikmati pergantian tahun. Mau cari tempat murah di Bali tak sedikit, cari yang mahal, banyak.

Bertahun baru di Bali kelak bisa menjadi sebuah ritus dan keunikan baru, bisa menjadi sebuah tradisi bagi orang-orang dari luar Bali. Tradisi itu tidak hanya dinikmati oleh orang-orang berduit, tapi juga oleh kalangan menengah bawah. Mereka datang berombongan dengan bus dari tanah Jawa, tidur ramai-ramai di hotel melati, belanja di pasar seni, dan bisa tertawa-tawa bersenang-senang.

Tapi, para pelaku industri turisme, yang paling diuntungkan oleh tradisi baru ini, tidak pernah berupaya menghadirkan kemasan baru untuk menyambut mereka. Acara-acara hiburan tak beda jauh dengan acara-acara hari-hari biasa. Tak ada yang istimewa untuk mereka yang datang ke Bali di akhir hingga awal tahun. Padahal, tahun baru adalah tahun plesir di Bali.

Tahun baru sebagai tahun plesir memang hanya terasa di objek-objek wisata. Bertahun baru di Bali adalah sebuah kesempatan untuk menonton Bali yang dilakoni oleh berbagai kalangan kelas masyarakat. Dan orang Bali pun menonton orang-orang plesir itu. Jadilah tahun baru di Bali sebagai ajang orang-orang untuk saling tonton. Turis menonton Bali, orang Bali menonton turis. *

Aryantha Soethama
Pengarang

Komentar