nusabali

Meroketnya e-Commerce Bantu Pemulihan

  • www.nusabali.com-meroketnya-e-commerce-bantu-pemulihan

Terjadi pergesertan penjulan ritel yang kini menyasar transaksi online. Perekonomian nasional  tahun ini pun diprediksi tumbuh 5,2 persen.

Neraca Perdagangan Defisit, tapi Belum Overheating

JAKARTA, NusaBali
Bank Indonesia menyebut pertumbuhan bisnis perdagangan melalui internet (e-commerce) pada Lebaran 2018 mencapai 190 persen secara tahunan (year on year/yoy) dan sektor tersebut akan membantu pemulihan pertumbuhan konsumsi rumah tangga tahun ini. "Hal itu menunjukkan data-data ekonomi yang tidak terekam. itu menunjukkan memang ada shifting (pergeseran) di penjualan ritel," kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara dalam pertemuan dengan pimpinan media massa di Jakarta, Selasa (3/7).

Selain dari meroketnya pertumbuhan e-commerce, Mirza mengatakan, membaiknya konsumsi rumah tangga juga terlihat dari meningkatnya keyakinan konsumen, terutama kelompok menengah atas, dan juga data penjualan ritel. Penjualan eceran menurut survei BI pada Mei 2018 diperkirakan akan meningkat hingga 4,4 persen (yoy), lebih tinggi dibanding April 2018 yang 4,1 persen (yoy) karena permintaan konsumen saat Lebaran 2018. Penjualan itu ditopang dari penjualan perlengkapan rumah tangga dan perlatan komunikasi dan informasi.

Sementara menurut survei konsumen BI, optimisme konsumen terhadap ekonomi pada Oktober 2018 akan meningkat didorong oleh membaiknya ekspetasi terhadap usaha, ketersediaan lapangan kerja, dan penghasilan. "Dari sisi keyakinan konsumen juga ada perbaikan di tahun ini," ujar dia. Mirza mengatakan BI masih memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun ini akan berada di 5,1-5,2 persen (yoy).

Sementara itu terkait melebarnya defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan Indonesia hingga pertengahan kuartal II/2018 disebut Mirza tidak menunjukkan ekonomi Indonesia yang sedang overheating atau bertumbuh melebihi kapasitasnya. Mirza mengakui defisit neraca perdagangan Mei 2018 yang sebesar 1,52 miliar dolar AS dapat menambah defisit transaksi berjalan yang diperkirakan di atas 2,5 persen, tapi tidak melebihi tiga persen dari Produk Domestik Bruto, pada kuartal II 2018. Sepanjang Januari hingga Mei 2018, defisit neraca perdagangan sebesar 2,38 miliar dolar AS.

Dalam impor Januari-Mei 2018 itu, kata Mirza, terdapat impor untuk kebutuhan ekonomi jangka panjang yang antara lain adalah impor untuk pembangunan infrastruktur empat miliar dolar AS, impor pertahanan 1,1 miliar dolar AS, dan beras 400 juta dolar AS. "Jadi sebenarnya neraca perdagangan Januari-Mei yang defisit, kalau dikeluarkan impor infrastruktur di mana untuk pembangunan jangka panjang, neraca perdagangan indonesia itu surplus," ujar Mirza.

Mirza mengatakan dengan asumsi itulah, meskipun defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan meningkat, ekonomi Indonesia belum overheating. Selain itu, jika melihat indikator lain, seperti pertumbuhan kredit perbankan yang hanya naik 10,2 persen (yoy) per Mei 2018 dan 2,9-3 persen (ytd), ekonomi Indonesia masih dalam berproses untuk pulih, bukan proses yang menunjukkan agresivitas pertumbuhan. "Kondisi ini berbeda dengan semester I/2013, saat itu impor tinggi, pertumbuhan kredit tinggi di atas 20 persen, harga properti juga tinggi. Jadi situasi semester I/2013 mungkin ekonomi yang sedang 'overheat'. Tapi sekarang tidak," kata Mirza.

Bank Sentral memproyeksikan ekonomi Indonesia tahun ini akan tumbuh 5,2 persen (yoy). Dengan melebarnya defisit neraca perdagangan, Mirza memperkirakan defisit neraca transaksi berjalan kuartal II di atas 2,5 persen PDB, tapi tidak melebihi tiga persen PDB. Defisit transaksi berjalan kuartal I/2018 tercatat sebesar 2,15 persen PDB. *ant

Komentar