MUTIARA WEDA: Kembali ke Titik Nol
avyaktādīni bhūtāni vyakta-madhyāni bhārata, avyakta-nidhanāny eva tatra kā paridevanā. (Bhagavadgītā 2.28)
Makhluk hidup bermula dari yang tak tampak (avyakta), lalu menjadi tampak (vyakta) di tengah kehidupannya, dan akhirnya kembali lagi ke yang tak tampak (avyakta). Maka, apa yang perlu disesali dari siklus ini?
ADA semacam hukum tak tertulis dalam kehidupan: ketika manusia atau suatu masyarakat mencapai puncak, selalu ada kekuatan yang menariknya kembali ke titik nol. Fenomena ini juga tampak jelas di Bali. Dahulu, masyarakat Bali memang hidup sederhana, mungkin tampak miskin secara materi, tetapi mereka memiliki tanah, sawah, dan budaya yang adi luhung. Keseimbangan antara alam, tradisi, dan spiritualitas menjadikan hidup mereka penuh makna.
Ketika pariwisata datang, janji kemakmuran seolah terbentang lebar. Bali menjadi magnet dunia, dan harapan akan kesejahteraan pun tumbuh di setiap hati. Namun, seiring waktu, janji itu berubah arah. Tanah-tanah pertanian beralih fungsi menjadi vila dan hotel, banyak warga menjual lahan warisan leluhur demi uang cepat, dan jurang antara si kaya dan si miskin semakin lebar.
Ironisnya, demi bertahan hidup, banyak orang Bali kini harus meninggalkan tanah kelahirannya, merantau ke Jepang, bekerja di kapal pesiar, atau menjadi tenaga kerja di Turki, dan negara lain. Kekayaan yang lahir dari pariwisata ternyata tidak menetes merata ke masyarakatnya.
Kini, banyak orang Bali justru tidak lagi memiliki tanah, bahkan di tanah kelahirannya sendiri. Semua ini seakan menggambarkan satu siklus yang berulang, sebuah lingkaran kehidupan di mana masyarakat kembali ke titik awal, kehilangan apa yang dulu mereka miliki. Sebuah paradoks kemajuan: semakin maju, semakin jauh dari akar.
Dalam perspektif Hindu, segala sesuatu bergerak dalam cakra, lingkaran, siklus, bukan garis lurus.
Masyarakat, kebudayaan, dan peradaban mengalami fase lahir–tumbuh–jaya–layu–mati–lahir kembali. Fenomena ‘Bali kembali ke titik nol’ bisa dibaca sebagai samsara sosial: pengulangan pola akibat kehilangan kesadaran terhadap dharma (tatanan harmoni).
Dalam ilmu sosial modern, ini disebut ‘paradoks pembangunan’: semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, semakin besar pula ketimpangan sosial. Artinya, pembangunan yang tidak berbasis nilai akan menghasilkan kemajuan material tapi kemunduran spiritual dan ekologis. Kemajuan semu ini menciptakan lingkaran kemiskinan baru.
Dalam antropologi budaya, proses ketika nilai-nilai luhur (adi luhung) terkikis oleh nilai ekonomi disebut entropi budaya, hilangnya energi spiritual dan sosial dalam sistem kebudayaan.
Budaya yang dulu jadi sumber harmoni berubah jadi komoditas. Ketika energi budayanya terkuras, sistem itu ‘runtuh dari dalam’ dan kembali ke titik nol.
Ada juga istilah ‘kutukan sumber daya’, seperti daerah yang memiliki kekayaan alam atau budaya besar justru bisa menjadi miskin karena ketergantungan dan eksploitasi. Seperti negara kaya minyak tapi rakyatnya miskin. Dalam konteks Bali: kekayaan budaya dan alam yang dijual tanpa kontrol justru membuat rakyat kehilangan kendali atas tanah dan identitasnya.
Sloka di atas dapat dibaca tidak hanya dalam konteks spiritual individual, tetapi juga dalam konteks sosial dan budaya. Bali, misalnya, pernah hidup dalam keseimbangan agraris dan spiritual; masyarakatnya sederhana namun berakar kuat pada harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. Itulah fase avyakta, di mana potensi kemakmuran sejati tersembunyi dalam kesadaran kolektif yang tenang. Ketika pariwisata datang, Bali menjadi vyakta — tampak makmur, dikenal dunia, dan bersinar oleh cahaya ekonomi global.
Namun, apa yang tampak itu sering kali menutupi kehilangan yang lebih dalam: tanah dijual, sawah hilang, budaya dijadikan komoditas, dan masyarakat tercerabut dari sumbernya. Ketika akhirnya semua kemakmuran semu itu runtuh, Bali pun kembali ke avyakta — ke titik nol. Tetapi sebagaimana pesan Gītā, kembalinya sesuatu ke yang tak tampak bukanlah kehancuran, melainkan panggilan untuk pembaruan.
Dalam keheningan ‘nol’ itu, kehidupan diberi kesempatan untuk menata ulang dirinya, menemukan kembali keseimbangan yang hilang, dan menumbuhkan kebijaksanaan dari akar yang lama terlupa. Maka, ‘kembali ke titik nol’ bukan tragedi, melainkan fase pralaya yang membuka jalan bagi lahirnya kesadaran baru tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan apa makna sejati dari kemakmuran. 7
Komentar