Investasi dan Pariwisata Budaya
INVESTASI dalam sektor pariwisata pada dasarnya bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan membuka peluang kerja.
Namun, jika tidak dikelola dengan prinsip keberlanjutan, investasi dapat menimbulkan dampak negatif terhadap pariwisata budaya. Secara garis besar, ada dua kelompok utama dalam peta konsep ini, (1) investasi bermasalah, yang terdiri atas spekulasi, monopoli, korupsi, eksploitasi, dan utang, (2) dampak negatif terhadap pariwisata budaya, yang meliputi komersialisasi, degradasi, homogenisasi, eksotisasi, dan gentrifikasi. Masing-masing jenis investasi bermasalah memiliki hubungan langsung dengan dampak tertentu pada pariwisata budaya.
Spekulasi muncul ketika investor membeli atau menguasai tanah di kawasan wisata hanya untuk keuntungan jangka pendek. Harga tanah naik drastis, sehingga masyarakat lokal terpaksa menjual atau kehilangan lahan mereka. Proses ini menimbulkan gentrifikasi, yakni pergeseran penduduk asli oleh kelompok kaya atau investor. Akibatnya, masyarakat lokal kehilangan ruang hidup, sementara identitas budaya yang melekat pada tempat tersebut ikut melemah.
Monopoli terjadi ketika investasi hanya dikuasai oleh segelintir perusahaan besar. Dalam sektor pariwisata budaya, hal ini membuat usaha kecil dan komunitas lokal tidak punya ruang berkembang. Produk budaya yang ditampilkan kepada wisatawan menjadi seragam, mengikuti standar pasar, bukan keragaman tradisi. Inilah yang disebut homogenisasi budaya: kekayaan lokal dipangkas agar sesuai selera global, sementara keunikan masing-masing komunitas terhapus.
Korupsi dalam proyek pariwisata membuat dana pembangunan dan pelestarian budaya tidak tepat sasaran. Banyak fasilitas rusak, situs budaya tidak terurus, atau acara tradisional hanya dijadikan formalitas. Akibatnya, terjadi degradasi budaya, yaitu penurunan kualitas dan makna budaya. Ritual sakral bisa kehilangan roh spiritualnya, dan benda cagar budaya rusak karena kurang perawatan. Korupsi bukan hanya merugikan ekonomi, tetapi juga merusak warisan budaya.
Eksploitasi terlihat dari pemanfaatan berlebihan tenaga kerja lokal dan sumber daya budaya untuk tujuan wisata. Misalnya, tarian adat yang dulunya sakral ditampilkan setiap hari hanya demi tiket pertunjukan. Inilah bentuk komersialisasi budaya, di mana nilai tradisi diubah menjadi komoditas ekonomi. Budaya tidak lagi dihargai sebagai warisan hidup, melainkan sebagai produk jual-beli. Akhirnya, makna spiritual dan sosial budaya terkikis demi keuntungan finansial.
Pemerintah atau daerah wisata sering mengambil utang besar untuk membangun infrastruktur pariwisata. Demi melunasi utang tersebut, mereka terdorong mencari keuntungan cepat. Salah satu caranya adalah dengan menjual budaya dalam bentuk pertunjukan yang dipoles agar terlihat ‘eksotis’ bagi wisatawan asing. Proses ini disebut eksotisasi, yaitu penggambaran budaya sebagai sesuatu yang aneh, unik, dan eksotis, tetapi sering kali terlepas dari konteks asli masyarakatnya. Akibatnya, budaya menjadi tontonan semata, bukan praktik hidup yang bermakna.
Menurut Britton (1991), yang dikenal sebagai salah satu pelopor pemikiran critical geography dan yang mengaitkan pariwisata dengan teori ekonomi politik, kapitalisme, dan produksi ruang, berpandangan bahwa hubungan negatif ini membantu memahami bahwa investasi dalam pariwisata budaya tidak selalu membawa manfaat jika tidak diatur secara adil dan berkelanjutan. Spekulasi, monopoli, korupsi, eksploitasi, dan utang menjadi pintu masuk masalah yang kemudian berujung pada komersialisasi, degradasi, homogenisasi, eksotisasi, dan gentrifikasi. Semua dampak ini merugikan masyarakat lokal sekaligus mengikis makna budaya yang seharusnya dijaga.
Di Bali, pembangunan vila dan hotel mewah hasil spekulasi investasi sering menggusur sawah serta tanah adat, memicu gentrifikasi yang menyingkirkan warga lokal dari ruang hidupnya. Upacara tradisional yang semula sakral berubah menjadi tontonan komersial demi wisatawan, sehingga makna spiritualnya terkikis. Dominasi perusahaan besar menyebabkan homogenisasi atraksi, seperti tari dan upacara yang dipentaskan berulang tanpa konteks adat. Selain itu, eksotisasi budaya Bali menghadirkan citra ‘surga eksotis’ yang jauh dari kehidupan nyata masyarakatnya. Akibatnya, warga Bali tidak hanya kehilangan kendali atas budayanya, tetapi juga hak ekonomi dan sosial di tanahnya sendiri. Kesimpulannya, komersialisasi, degradasi, homogenisasi, eksotisasi, dan gentrifikasi mengancam keaslian budaya Bali, melemahkan identitas lokal, serta menggeser masyarakat adat. 7
Komentar