Kadis PMPTSP Buleleng Dituntut 6 Tahun Penjara
Kasus Pungli Perizinan Proyek Rumah Bersubsidi
Sementara terdakwa Ngakan Anom, pejabat teknis di Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Buleleng dituntut dengan hukuman penjara selama 5 tahun
DENPASAR, NusaBali
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Kadis PMPTSP) Kabupaten Buleleng (nonaktif), I Made Kuta,54, dituntut 6 tahun penjara dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Selasa (7/10) siang atas kasus dugaan korupsi berupa pungutan liar (Pungli) terhadap pelaku usaha properti di Buleleng dalam pengurusan izin pembangunan rumah bersubsidi.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Nengah Astawa dkk menyatakan selama menjabat sebagai Kadis PMPTSP Buleleng sejak 2020 hingga 2024, pejabat asal Banjar Dinas Widarbasari, Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada, Buleleng ini bersama Ngakan Anom Diana Kesuma Negara, seorang pejabat teknis di Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Buleleng (yang dituntut dalam berkas terpisah), disebut memanfaatkan jabatannya untuk memaksa pemohon izin menyerahkan uang dengan total keuntungan pribadi mencapai Rp 3,117 miliar.
Keduanya dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah secara bersama-sama melakukan Tindak Pidana Korupsi pemerasan dalam jabatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf e UU RI No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan UU RI No 20 Tahun 2001.
Selain hukuman badan, Kuta juga dituntut agar dijatuhi pidana denda sebesar Rp 300 juta. “Dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti hukuman kurungan selama 4 bulan,” tegas JPU dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali ini di hadapan Ketua Majelis Hakim Gede Putra Astawa. Sementara terhadap terdakwa Ngakan Anom, dia dituntut dengan hukuman penjara selama 5 tahun. “Dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan dan meminta menjatuhkan pidana denda sebesar Rp 200 juta, dengan subsidair 3 bulan kurungan,” lanjut JPU.
Dalam surat tuntutan setebal lebih dari 500 halaman itu, JPU juga menguraikan hal yang memberatkan dan meringankan tuntutan terdakwa. Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah yang sedang gencar-gencarnya melakukan pemberantasan terhadap segala jenis tindak pidana korupsi, mengganggu iklim investasi dan program pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang ada di Buleleng, serta untuk terdakwa Ngakan disebut telah menikmati hasil kejahatannya.

Terdakwa Ngakan Anom Diana Kesuma Negara saat mengikuti sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor Denpasar, Selasa (7/10). -YUDA
Sementara yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, sopan dalam persidangan, mengakui perbuatannya dan terdakwa Kuta telah menitipkan/ mengembalikan uang hasil kejahatannya kepada penyidik sebesar Rp 1 miliar. Diterangkan selama sidang, kedua terdakwa ini terlibat dalam perbuatan melakukan pungutan di luar ketentuan terhadap masyarakat dan pengusaha yang mengajukan Izin Prinsip, Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR), Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKKPR), maupun Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
Modusnya, terdakwa meminta sejumlah uang agar izin segera diterbitkan. Permintaan tersebut dilakukan baik secara langsung maupun melalui stafnya, serta disertai ancaman izin tak akan diproses bila tidak dibayar. JPU menilai perbuatan ini melanggar ketentuan Pasal 235 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang pelaksanaan Undang-Undang Bangunan Gedung, serta menyalahgunakan kewenangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bupati Buleleng Nomor 21 Tahun 2022 tentang pendelegasian pelayanan perizinan berusaha.
“Perbuatan terdakwa dilakukan dengan menyalahgunakan wewenangnya sebagai kepala dinas, yang seharusnya bertugas menjamin kelancaran pelayanan perizinan, bukan memperdagangkannya,” tandas JPU. Dalam mekanisme normal, permohonan izin prinsip atau PKKPR diajukan melalui sistem OSS (Online Single Submission) dan diverifikasi oleh tim teknis lintas dinas, termasuk Dinas PUTR, Perkimta, dan Lingkungan Hidup. “Namun, alur profesional itu diabaikan. Terdakwa justru memanfaatkan posisi dan proses verifikasi lapangan untuk meminta imbalan,” kata JPU.
Di hadapan majelis hakim, JPU menegaskan tidak ada dasar hukum bagi pungutan tersebut. Semua pelayanan izin, terutama yang berbasis sistem OSS dan SIMBG (Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung), seharusnya bebas biaya, kecuali retribusi resmi yang telah ditetapkan daerah. Namun, terdakwa mengubahnya menjadi ladang keuntungan pribadi dengan dalih ‘biaya pengurusan cepat’.
Di sisi lain, dalam keterangan terdakwa Kuta, ia menerangkan memiliki tugas membantu bupati dalam urusan penanaman modal dan penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu. Adapun kewenangan utama DPMPTSP adalah menangani perizinan bagi pelaku usaha mikro dan kecil, sedangkan untuk usaha menengah dan besar koordinasinya dilakukan dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) melalui forum tata ruang dan proses validasi teknis. Dinas PUTR bertugas menyusun rekomendasi teknis serta menetapkan besaran retribusi, sementara penerbitan dokumen PBG tetap berada di bawah kewenangan DPMPTSP.
“Pada prinsipnya, tidak ada biaya dalam pengurusan KKPR maupun PBG selain retribusi daerah yang telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD),” ujar Kuta dalam keterangan tertulisnya di surat tuntutan JPU. Namun, di lapangan, sejumlah pelaku usaha mengeluh karena biaya jasa pengurusan PBG melalui konsultan dinilai terlalu mahal, berkisar Rp 2 juta hingga Rp 2,5 juta per unit. Menanggapi hal itu, Kuta mengaku sempat memanggil pegawai Dinas PUTR bernama Ngakan Anom Kesuma Negara untuk mencari solusi agar biaya dapat ditekan.
Setelah dilakukan perhitungan bersama, disepakati biaya pengurusan sebesar Rp 1,47 juta per unit, yang meliputi Rp 700 ribu untuk pembuatan gambar dan surat keterangan ahli (SKA), Rp 300 ribu untuk retribusi resmi, Rp 70 ribu untuk plat, Rp 100 ribu untuk fotokopi, dan sisanya Rp 300 ribu per unit diserahkan kepada Kuta melalui stafnya.
Kuta mengaku dirinya meminta agar biaya pendampingan pengurusan PBG bagi staf DPMPTSP turut diperhitungkan. Ia kemudian memerintahkan staf operator SIMBG agar menyampaikan kepada pelaku usaha bahwa biaya pengurusan PBG melalui dinas sebesar Rp 1,47 juta per unit. Kalau pelaku usaha tidak setuju, Kuta memerintahkan untuk cari konsultan lain. Dalam pengakuan Kuta, dana-dana itu digunakan untuk menunjang kegiatan kantor yang tidak memiliki anggaran, termasuk studi banding, kegiatan keagamaan, hingga peningkatan kesejahteraan pegawai.
Ia menegaskan tidak pernah memerintahkan pihak lain untuk memungut biaya di luar ketentuan, namun mengakui menerima sejumlah uang dari pengembang ‘demi kemajuan DPMPTSP’. Semua dipakai untuk menunjang kegiatan kantor yang tidak teranggarkan. Sidang berikutnya akan berlangsung pada 14 Oktober 2025 mendatang dengan agenda pembacaan nota pembelaan (pledoi). 7 tr
Komentar