Kenyamanan dalam Tradisi
PERUBAHAN-perubahan kecil dan besar, konflik-konflik antarwarga, dan sekian persoalan dan bencana menimpa Bali, sudah sejak lama diperkirakan bakal terjadi.
Tak hanya satu-dua kali, tapi berulang. Salah satu pemicunya yang ditengarai paling penting adalah keterbukaan Bali.
Para seniman Barat yang berkunjung di tahun 1930-an sudah meramalkan hal itu. Ramalan-ramalan itu perlahan-lahan terbukti menjadi kenyataan, ketika turisme mulai tumbuh, dan Bali dielu-elukan sebagai sepotong surga. Namun semua itu masih disikapi dengan maklum. Orang Bali menilai perubahan itu masih bisa diterima dan merupakan konsekuensi sebagai pulau yang terbuka.
Dunia memuji keterbukaan itu sebagai salah satu contoh penting, betapa Bali bisa dijadikan pegangan bagaimana toleransi dilakoni. Jika di provinsi lain ketegangan dan konflik memuncak, orang-orang menjadikan Bali sebagai contoh untuk menahan diri. “Di Bali berbagai suku dan orang asing hadir, tapi mereka tak pernah bertikai. Yang terjadi cuma gesekan-gesekan kecil,” komentar banyak orang memuji.
Pujian ini tanpa disadari menyebabkan semua warga dunia merasa betah kalau ke Bali. Banyak yang bermukim dan mencari makan di pulau ini. Dan pertumbuhan kencang industri pariwisata memberi tempat dan peluang buat itu. Kalau dulu ada orang Bali yang menggerutu, karena begitu terbukanya Bali menyebabkan banyak konflik terjadi di sini, mereka itu cuma sebatas menggerutu. Tak pernah hal itu dibahas serius. Jika ada yang mencoba membahasnya dengan sungguh-sungguh, mereka dituding mengungkit masalah pelik hubungan antar-ras, suku, dan agama. Sesuatu yang tabu dibahas hingga kini, meski dalam perbincangan akademis pun. Maka, gerutu tetap tinggal gerutu.
Tapi jaringan internet, media sosial membuat Bali semakin terbuka, dan orang-orang mulai sadar, apa pun bisa terjadi di pulau ini. Seperti kian banyak konflik terjadi, kian bertambah kekerasan, sering muncul keanehan-keanehan para pelancong dengan beraneka tingkah polah.
Tanpa disadari gerutu semakin banyak, kenyamanan kian terusik. Dan orang Bali semakin disuguhi banyak hal yang membuat mereka berpikir: apakah sudah benar yang dilakukan sehari-hari oleh orang Bali? Benarkah mereka menerima industri turisme tanpa bertimbang-timbang akibatnya? Apakah turisme sudah kebablasan? Mengapa semakin hari kian banyak konflik muncul? Apakah Bali sudah memilih jalan yang benar selama ini dalam pengelolaan pulau mereka?
Interaksi dengan para pelaku turisme dalam kehidupan sehari-hari semakin terasa menghasilkan banyak konflik. Konflik itu semakin tersebar, tidak cuma di kota, juga di desa-desa. Misalnya konflik itu menerbitkan kejengkelan ketika para pendatang yang kos di sekitar kita berulah, bikin ribut, membuat hidup terganggu, suasana tidak nyaman. Begitu ke luar rumah ketidaknyamanan itu semakin membelit karena lalu lintas padat, jalanan macet. Dan orang-orang cuma bisa menggerutu dalam ketidaknyamanan itu.
Tapi, benarkah sepenuhnya dalam keseharian orang Bali tidak nyaman? Banyak yang berpendapat, kehidupan adat istiadat dan beragama dalam balutan tradisi masih dirasakan nyaman. Banyak orang Bali bahagia jika ada piodalan, menghadiri pernikahan, hadir dalam upacara tiga bulanan kerabat. Mereka merasa nyaman karena tradisi itu mendekatkan mereka satu sama lain.
Dalam mata rantai tradisi mereka bisa berembug, bergurau, dan turut berperan. Itu sebabnya upacara-upacara yang melibatkan banyak orang seperti pedudusan agung, pedudusan alit, tetap diminati. Mereka hadir disertai gerutu harus libur dari tempat kerja, tidak bisa ngojek online, dan harus tutup warung. Tapi mereka senang karena bisa nyaman menari rejang dan menabuh gamelan, serta memamerkan kebaya mahal dan sanggul cantik.
Kenyamanan tradisi membuat banyak orang Bali tidak awas dengan perubahan sekitar yang semakin sengit. Perubahan-perubahan itu menyebabkan juga perubahan tradisi. Misalnya, kini menjadi tradisi baru krama ngaben di krematorium karena alasan praktis. Tradisi baru ini menghasilkan kenyamanan baru, karena tak usah repot dalam keriuhan kekerabatan banjar.
Lambat laun muncul tradisi-tradisi baru lain, yang praktis, seperti kebiasaan membeli sesaji dan kelengkapan upakara. Kenyamanan-kenyamanan baru ini bukan mustahil pada awal keberadaannya menyebabkan konflik. Perlahan konflik itu akan redup, dan terciptalah tradisi baru lagi, dengan kenyamanan baru pula. 7
Komentar