MUTIARA WEDA: Crime of Passion
krodhād bhavati sammohaḥ sammohāt smṛti-vibhramaḥ smṛti-bhraṁśād buddhi-nāśo buddhi-nāśāt praṇaśyati (Bhagavadgītā 2.63)
Dari amarah lahirlah delusi, dari delusi hilanglah ingatan, dari hilangnya ingatan hancurlah kebijaksanaan, dan dengan hancurnya kebijaksanaan binasalah manusia.
CRIME of passion, istilah hukum dan psikologi yang merujuk pada tindak kekerasan, biasanya pembunuhan, yang dilakukan dalam keadaan emosi yang sangat kuat dan mendadak, seperti cemburu, marah, atau kecewa, sehingga pelaku kehilangan kendali atas nalar dan tindakannya. Para ahli melihatnya sebagai tragedi ketika cinta, yang seharusnya menjadi ruang kasih, berubah menjadi bara yang membakar kesadaran. Bukan semata kejahatan yang dingin dan terencana, melainkan letupan batin yang meledak karena luka emosional, membuat manusia bertindak di luar batas akal sehat. Maka, crime of passion memperlihatkan rapuhnya jiwa ketika rasa tidak lagi dituntun oleh logika, melainkan oleh gejolak hati yang liar dan tak terkendali.
Beberapa peristiwa di sekitar kita mencerminkan wajah gelap dari crime of passion. Di Lombok Barat, seorang istri yang juga anggota kepolisian tega menghabisi nyawa suaminya, yang tak lain juga seorang polisi, di tengah bara pertengkaran rumah tangga. Di Lombok Timur, seorang laki-laki membunuh pacarnya hanya karena sang kekasih menolak ajakan berhubungan intim, sebuah penolakan yang seharusnya dihormati namun justru memantik amarah buta. Kasus-kasus ini menunjukkan bagaimana cinta yang semestinya menjadi pelabuhan kasih dan ketenangan, bisa berubah menjadi pusaran emosi yang menenggelamkan akal sehat, hingga melahirkan tindakan tragis yang merenggut nyawa.
Sloka di atas bisa dijadikan cermin dari crime of passion yang memantulkan kenyataan pahit itu. Ketika cinta atau hubungan pribadi dibakar api cemburu, penolakan, atau pertengkaran, amarah yang meledak menutup nalar, mengaburkan memori moral, lalu menghancurkan pertimbangan sehat. Inilah yang kita lihat pada kedua kasus tersebut. Semua bermula dari krodha—kemarahan yang tak terkendali—hingga menjerumuskan pelaku dalam tindakan tragis.
Dalam kasus di Lombok tersebut, pertengkaran rumah tangga dan penolakan cinta memantik kemarahan (krodha). Dari kemarahan itu lahirlah delusi (sammohah): pelaku tak lagi melihat pasangan sebagai orang yang dikasihi, melainkan musuh yang harus dilukai. Lalu muncul kekacauan ingatan (smṛti-vibhramaḥ) - nilai-nilai moral, sumpah janji suci pernikahan, bahkan hukum yang mereka pahami terlupakan seketika. Dari kekacauan itu, lenyaplah kecerdasan (buddhi-nāśaḥ), sehingga nalar yang mestinya menahan tangan tidak lagi berfungsi. Pada akhirnya, muncullah kehancuran (praṇaśyati), bukan hanya bagi korban yang kehilangan nyawa, tetapi juga bagi pelaku yang harus menanggung beban hukum dan penyesalan.
Untuk mencegah tragedi serupa, manusia perlu belajar menata hati sebelum menata dunia. Amarah harus dikenali sejak ia masih berupa bara kecil, sebelum membesar menjadi api yang membakar kesadaran. Komunikasi yang jujur dan sabar menjadi jembatan agar luka hati tidak berubah menjadi dendam. Dalam ajaran Hindu, pengendalian diri (śama dan dama) diajarkan sebagai benteng batin, sebab hanya jiwa yang tenang mampu melihat cinta apa adanya, bukan sebagai kepemilikan yang harus dikuasai. Bila tiap orang mau berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, dan memilih kata lembut ketimbang teriakan, maka cinta tetap menjadi pelabuhan kasih, bukan ladang tragedi.
Pemerintah memiliki peran sebagai penjaga ketertiban dengan menghadirkan regulasi, pendidikan, dan layanan konseling yang mudah dijangkau, agar masyarakat punya ruang aman untuk meredakan masalah tanpa harus menempuh jalan kekerasan. Organisasi seperti parisada sebagai suluh rohani berperan mengingatkan umat akan ajaran dharma, menanamkan kesadaran bahwa cinta dan keluarga adalah jalan suci menuju mokṣa, bukan arena perebutan ego. Sementara itu, organisasi masyarakat, lembaga adat, maupun komunitas sosial dapat menjadi tangan-tangan yang merangkul, menyediakan wadah dialog, mediasi, dan dukungan emosional, sehingga siapa pun yang terluka hatinya merasa tidak sendirian. Bila ketiganya bergerak serentak (pemerintah, parisada, dan organisasi) maka masyarakat akan memiliki pelindung yang kokoh: hukum yang adil, nilai spiritual yang menenangkan, serta solidaritas sosial yang menguatkan. 7
Komentar