Penanggulangan Rabies Hadapi Sejumlah Tantangan
MANGUPURA, NusaBali - Kasus rabies menjadi salah satu atensi DPRD Badung dengan merancang Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Perlindungan Hewan dan Penanggulangan Hewan Penular Rabies (HPR).
Sejumlah saran dan masukan pun disampaikan oleh berbagai pihak dalam rapat serap aspirasi yang digelar beberapa waktu lalu. Sejumlah masukan yang muncul seperti penertiban shelter, usulan sterilisasi, hingga pengecualian terhadap hewan tertentu yang akan dipakai kepentingan upacara adat.
Penanggulangan kasus rabies di Kabupaten Badung saat ini dilakukan dengan menggalakkan vaksinasi massal terhadap HPR seperti anjing, kucing, hingga monyet. Selain vaksinasi, juga dilakukan peningkatan kesadaran masyarakat dan pengawasan hewan liar.
Kepala Disperpa Badung I Wayan Wijana, mengatakan hingga saat ini cakupan vaksinasi baru mencapai 71,59 persen dari total populasi. Pihaknya berharap bisa menyamai capaian tahun lalu, yang mana cakupan vaksinasi berhasil menembus 98 persen dari populasi HPR. “Sampai saat ini, cakupan vaksinasi sudah mencapai 71,59 persen atau sebanyak 68 ribu ekor lebih dari total populasi HPR yang sebanyak 90 ribu ekor lebih,” ujarnya, Minggu (21/9).
Penanggulangan rabies dan perlindungan hewan menghadapi sejumlah tantangan di lapangan. Dalam rapat serap aspirasi di Gedung DPRD Badung beberapa waktu lalu, Tio Russ, seorang pemilik shelter dan pecinta hewan menyoroti tentang penertiban shelter. Dikatakan, dinamika di masyarakat saat ini mulai banyak shelter yang bermunculan dan UU terhadap penganiayaan hewan juga sudah mulai diterapkan. Namun hingga saat ini belum ada regulasi yang mengatur penertibannya.
Dia mencontohkan salah satu kasus di wilayah Kuta Selatan, di mana sebuah shelter milik warga negara asing menampung hingga 50 ekor anjing di lingkungan perumahan dan telah menimbulkan komplain warga sejak November 2024. “Jadi, dari 2024 sampai bulan kemarin itu ribut lagi dengan tetangganya, karena tidak ada yang bisa mengambil eksekusinya, mau diapakan,” bebernya.
Tio melanjutkan, mengenai keberadaan shelter milik pemerintah di tengah meningkatnya jumlah shelter swasta dan perorangan yang dikelola masyarakat, termasuk warga asing, dia menyoroti efektivitas kebijakan tersebut. Sebab menurutnya, menampung anjing dalam jumlah besar memerlukan biaya operasional harian yang tinggi, khususnya untuk pakan dan vaksinasi. Tio pun berpendapat, daripada menghabiskan anggaran miliaran rupiah untuk membiayai shelter, dia mengusulkan ada baiknya pemerintah mengalihkan anggaran ke program sterilisasi massal guna menekan pertumbuhan populasi anjing liar.
“Katakanlah punya dana Rp 2 miliar sampai Rp 3 miliar, itu hanya untuk satu hektare atau dikeluarkan dalam satu tahun. Kenapa tidak digunakan untuk misalkan steril? Karena kalau kita lihat dari tahun ke tahun, populasinya semakin lama semakin tinggi. Tapi dengan steril, Badung bisa menjadi percontohan, misalkan bisa target 1.000 sampai 2.000 ekor, saya rasa itu bisa menekan populasi, karena dari satu betina sekali melahirkan bisa lima ekor. Setahun bisa tiga kali melahirkan dan dari situ terus beranak,” jelas Tio.
Sementara dari perspektif masyarakat adat Bali, Sekretaris Majelis Desa Adat (MDA) Kabupaten Badung, Ida Bagus Gede Widnyana menyampaikan bahwa desa adat sejatinya telah aktif terlibat dalam upaya pencegahan rabies sesuai dengan tuntunan Pemerintah Provinsi Bali melalui Dinas Pemajuan Masyarakat Adat, yakni membuat pararem tentang rabies. Namun diakui, belum semua desa adat membuat pararem tentang hal tersebut.
“Memang belum semua desa adat bisa merancang atau merampungkan perarem tersebut. Namun secara prinsip, isinya sudah sesuai seperti tuntunan dari pemerintah dan kedinasan, serta seusai dengan tata-titi awig-awig maupun perarem yang disesuakan dengan situasi kondisi masing-masing desa adat,” terangnya.
Lebih jauh, Widnyana menekankan pentingnya perlindungan terhadap adat, budaya, dan keyakinan masyarakat Bali, terutama terkait pelaksanaan ritual yang melibatkan hewan, termasuk anjing. Salah satu upacara di Badung yakni caru atau tawur yang biasanya menggunakan sarana hewan seperti ayam, bebek, angsa, anjing, sapi, kambing, hingga kerbau. Dalam hal ini, IB Widnyana menyarankan adanya pengecualian terhadap anjing belang bungkem jantan yang belum pernah kawin agar tidak disterilisasi. Menurutnya, hal ini penting agar ketersediaan anjing untuk ritual adat tetap terjaga.
Di sisi lain, MDA Badung juga menyoroti permasalahan yang muncul di lapangan antara pengelola shelter atau komunitas pecinta hewan dengan desa adat. Widnyana mengungkapkan, dari beberapa kali laporan yang masuk, terjadi kontradiski atau bentrokan antara aktivitas feeding (pemberian makan anjing liar) dengan pengelolaan kawasan suci atau kawasan wisata.
“Situasi riil di lapangan, ada kontradiktif antara feeding di wilayah desa adat dan di situ ada kawasan yang disucikan dan kawasan yang memang menunjang pariwisata. Jadi antara teman-teman yang melakukan feeding dengan desa adat, terjadi beda pemahaman. Setiap teman-teman pecinta hewan melakukan feeding, banyak anjing liar yang datang ke sana, jadinya dia tersentralisasi di situ dan itulah menjadi kendala,” katanya. 7 ind
Komentar