Angkat Kekayaan Budaya Bali, Animator Muda asal Gianyar Garap Film ‘Ikan Mas Tur Dedari’ Kualitas Anime
Terinspirasi Cerita Rakyat ‘I Durma’, Durasi 15 Menit Digarap 13 Bulan
Ikan Mas Tur Dedari
I Durma
Durma lan Rajapala
Animasi
MMTC Yogyakarta
Animator Muda
Yowana Bali
Puri Agung Bitera
Budaya Bali
Anime
Viral
GIANYAR, NusaBali.com – AA Gde Bagus Adhistya Sedana, 21, mahasiswa Program Studi Animasi di Sekolah Tinggi Multi Media (MMTC) Yogyakarta asal Kelurahan Bitera, Gianyar baru-baru ini menghebohkan jagat maya berkat trailer film animasi pendek bertajuk ‘Ikan Mas Tur Dedari’ yang diunggahnya di TikTok.
Trailer berdurasi kurang 1,5 menit yang telah ditonton 8,8 juta kali itu dipuji warganet karena kualitas visualnya yang mendekati animasi asal Jepang alias anime. Meski secara visual bergaya anime, animasi garapan Adhis justru kental kekayaan budaya Bali yang membuatnya semakin menarik.
Usut punya usut, film animasi Ikan Mas Tur Dedari bukanlah proyek iseng yang dibuat yowana Puri Agung Bitera tersebut. Film animasi pendek berdurasi 15 menit ini sengaja digarap sebagai tugas akhir (TA) untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Animasi di MMTC Yogyakarta.
“Saya kan orang Bali yang kuliah di Jogja, ya inginnya memang membahas Bali melalui animasi. Premis cerita yang saya pilih itu terinspirasi dari I Durma lan Rajapala,” ujar Adhis ketika dihubungi NusaBali.com, Minggu (21/9/2025).
I Durma merupakan satua (cerita rakyat) Pulau Dewata yang premisnya mirip dengan kisah Jaka Tarub di tanah Jawa. Di mana, Durma merupakan anak dari Rajapala dengan dedari (bidadari) Ken Selasih yang dibesarkan sang ayah seorang diri setelah sang ibu kembali ke kahyangan. Namun, fakta itu dirahasiakan dari Durma.
Kata Adhis, Ikan Mas Tur Dedari mengusung premis dari cerita rakyat Bali tersebut. Akan tetapi, telah melewati modernisasi dan pengembangan cerita melalui tokoh utama bernama Saras yang hidup bersama Ajik (ayah) dan Niang (nenek). Beranjak dewasa, Saras mulai mempertanyakan sosok ibunya, sampai akhirnya ia bertemu ikan mas ajaib bernama Matsya.
“Kenapa ikan? Karena saya terinspirasi dari sebuah ungkapan Inggris yaitu ‘fish upon the sky’ yang maknanya sesuatu yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin. Selain itu, nama ikan itu Matsya salah satu awatara Dewa Wisnu yang esensinya sebagai pembimbing,” tutur Adhis.
Matsya, ikan mas ajaib yang bisa berbicara itu menjadi pintu masuk petualangan Saras mencari ibunya. Selama petualangan tersebut, lanskap indah dan arsitektur memukau yang dimiliki Pulau Dewata dipertontonkan mulai dari kemunculan latar tempat mirip Taman Ujung, Balai Budaya Gianyar, sampai Pura Uluwatu.
Selain itu, keindahan arsitektur Bali pun sudah dipertontonkan sejak awal film seperti bangunan-bangunan khas Bali di sekolah Saras, di jalanan, sampai rumah Saras itu sendiri. Untuk menampilkan keindahan Bali ini, Adhis mengaku sempat meriset arsitektur bangunan, khususnya ukiran Bali yang populer di Puri Ubud.
Adhis berusaha membawa Bali yang seutuhnya ke dalam dunia Ikan Mas Tur Dedari. Bukan saja pada latar tempat, tetapi juga latar sosial kebudayaan yang mencoba memotret kebiasaan orang Bali mulai dari cara berpakaian sehari-hari, cara bertransportasi, sampai dialek Bahasa Indonesia yang berkembang di Bali.
“TA ini memang tugas individu, tetapi diizinkan dibantu pihak lain. Nah, saya sendiri dibantu adik untuk pewarnaan dan mengisi suara Saras, ada teman adik saya (Matsya), dua teman saya (Ajik dan Dedari), dan Gung Niang saya sendiri untuk mengisi suara nenek Saras,” jelas Adhis yang juga alumnus SMKN 1 Gianyar ini.
Meski film ini berdurasi 15 menit, Adhis menghabiskan waktu 13 bulan untuk menuntaskan semuanya. Kata dia, Ikan Mas Tur Dedari merupakan animasi dua dimensi yang dibuat dengan teknik frame by frame atau digambar satu per satu pada setiap frame-nya. Beruntung, Adhis suka menggambar sejak usia dini, sehingga proses ini dilalui dengan senang hati.
“Saya mulai proses penggarapan sejak Agustus tahun lalu, semua bidang produksi saya kerjakan sendiri. Walaupun terkesan lama, ini tergolong cepat di dunia animasi, dosen saya sendiri yang mengakui itu. Tapi ya begitu, selama setahun itu, saya jadi jarang tidur,” tegas Adhis.
Selama 13 bulan tersebut, Adhis melalui beberapa tahap produksi mulai dari riset penentuan cerita dan lain-lain. Dilanjutkan membuat sinopsis yang dikembangkan menjadi skenario. Berdasarkan skenario itu, dilakukan pengaturan dialog, gerakan kamera, dan lainnya. Pedoman memproses animasi lantas disusun melalui storyboard.
Sesuai pedoman storyboard, dilakukan penyusunan atau penempatan tokoh, latar, dan lain-lain melalui proses layouting. Selanjutnya, Adhis memilih menyelesaikan latar berjumlah lebih dari 130 buah lebih dulu—yang memakan waktu 10 bulan. Kemudian, masuk ke tahapan animasi dari gambar kasar sampai ke gambar bergerak dan berwarna.
Ikan Mas Tur Dedari ini telah melalui screening perdana bersama karya mahasiswa Animasi lainnya yang telah selesai sidang skripsi, Selasa (16/9/2025), di Kampus MMTC Yogyakarta. Kebetulan, di hari yang sama, Adhis baru menyelesaikan sidang skripsi sebagai calon Sarjana Terapan Animasi (S.Tr.Anim).
Sementara ini, Ikan Mas Tur Dedari belum dapat ditonton khalayak umum baik daring melalui wahana Over-the-Top (OTT) maupun luring di bioskop. Sebab, kata Adhis, karyanya masih memerlukan banyak revisi jika ingin ditampilkan pada wahana resmi. Meski begitu, ke depan ia berencana membidik slot festival-festival film pendek.
“Mungkin memang kalau sudah cukup rasanya, ya minimal masuk nominasi (di festival film pendek), baru bisa ditayangkan di streaming platform,” ungkap Adhis.
Pasca menyelesaikan pendidikan dan sukses mencuri perhatian warganet lewat karyanya, Adhis mengaku sementara ini ingin fokus mengembangkan film Ikan Mas Tur Dedari demi menjawab antusiasme warganet. “Melihat tanggapan audiens soal film pendek ini, sebenarnya pingin membuat film yang bisa ditayangkan di bioskop,” tandasnya. *rat
Usut punya usut, film animasi Ikan Mas Tur Dedari bukanlah proyek iseng yang dibuat yowana Puri Agung Bitera tersebut. Film animasi pendek berdurasi 15 menit ini sengaja digarap sebagai tugas akhir (TA) untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Animasi di MMTC Yogyakarta.
“Saya kan orang Bali yang kuliah di Jogja, ya inginnya memang membahas Bali melalui animasi. Premis cerita yang saya pilih itu terinspirasi dari I Durma lan Rajapala,” ujar Adhis ketika dihubungi NusaBali.com, Minggu (21/9/2025).
I Durma merupakan satua (cerita rakyat) Pulau Dewata yang premisnya mirip dengan kisah Jaka Tarub di tanah Jawa. Di mana, Durma merupakan anak dari Rajapala dengan dedari (bidadari) Ken Selasih yang dibesarkan sang ayah seorang diri setelah sang ibu kembali ke kahyangan. Namun, fakta itu dirahasiakan dari Durma.
Kata Adhis, Ikan Mas Tur Dedari mengusung premis dari cerita rakyat Bali tersebut. Akan tetapi, telah melewati modernisasi dan pengembangan cerita melalui tokoh utama bernama Saras yang hidup bersama Ajik (ayah) dan Niang (nenek). Beranjak dewasa, Saras mulai mempertanyakan sosok ibunya, sampai akhirnya ia bertemu ikan mas ajaib bernama Matsya.
“Kenapa ikan? Karena saya terinspirasi dari sebuah ungkapan Inggris yaitu ‘fish upon the sky’ yang maknanya sesuatu yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin. Selain itu, nama ikan itu Matsya salah satu awatara Dewa Wisnu yang esensinya sebagai pembimbing,” tutur Adhis.
Matsya, ikan mas ajaib yang bisa berbicara itu menjadi pintu masuk petualangan Saras mencari ibunya. Selama petualangan tersebut, lanskap indah dan arsitektur memukau yang dimiliki Pulau Dewata dipertontonkan mulai dari kemunculan latar tempat mirip Taman Ujung, Balai Budaya Gianyar, sampai Pura Uluwatu.
Selain itu, keindahan arsitektur Bali pun sudah dipertontonkan sejak awal film seperti bangunan-bangunan khas Bali di sekolah Saras, di jalanan, sampai rumah Saras itu sendiri. Untuk menampilkan keindahan Bali ini, Adhis mengaku sempat meriset arsitektur bangunan, khususnya ukiran Bali yang populer di Puri Ubud.
Adhis berusaha membawa Bali yang seutuhnya ke dalam dunia Ikan Mas Tur Dedari. Bukan saja pada latar tempat, tetapi juga latar sosial kebudayaan yang mencoba memotret kebiasaan orang Bali mulai dari cara berpakaian sehari-hari, cara bertransportasi, sampai dialek Bahasa Indonesia yang berkembang di Bali.
“TA ini memang tugas individu, tetapi diizinkan dibantu pihak lain. Nah, saya sendiri dibantu adik untuk pewarnaan dan mengisi suara Saras, ada teman adik saya (Matsya), dua teman saya (Ajik dan Dedari), dan Gung Niang saya sendiri untuk mengisi suara nenek Saras,” jelas Adhis yang juga alumnus SMKN 1 Gianyar ini.
Meski film ini berdurasi 15 menit, Adhis menghabiskan waktu 13 bulan untuk menuntaskan semuanya. Kata dia, Ikan Mas Tur Dedari merupakan animasi dua dimensi yang dibuat dengan teknik frame by frame atau digambar satu per satu pada setiap frame-nya. Beruntung, Adhis suka menggambar sejak usia dini, sehingga proses ini dilalui dengan senang hati.
“Saya mulai proses penggarapan sejak Agustus tahun lalu, semua bidang produksi saya kerjakan sendiri. Walaupun terkesan lama, ini tergolong cepat di dunia animasi, dosen saya sendiri yang mengakui itu. Tapi ya begitu, selama setahun itu, saya jadi jarang tidur,” tegas Adhis.
Selama 13 bulan tersebut, Adhis melalui beberapa tahap produksi mulai dari riset penentuan cerita dan lain-lain. Dilanjutkan membuat sinopsis yang dikembangkan menjadi skenario. Berdasarkan skenario itu, dilakukan pengaturan dialog, gerakan kamera, dan lainnya. Pedoman memproses animasi lantas disusun melalui storyboard.
Sesuai pedoman storyboard, dilakukan penyusunan atau penempatan tokoh, latar, dan lain-lain melalui proses layouting. Selanjutnya, Adhis memilih menyelesaikan latar berjumlah lebih dari 130 buah lebih dulu—yang memakan waktu 10 bulan. Kemudian, masuk ke tahapan animasi dari gambar kasar sampai ke gambar bergerak dan berwarna.
Ikan Mas Tur Dedari ini telah melalui screening perdana bersama karya mahasiswa Animasi lainnya yang telah selesai sidang skripsi, Selasa (16/9/2025), di Kampus MMTC Yogyakarta. Kebetulan, di hari yang sama, Adhis baru menyelesaikan sidang skripsi sebagai calon Sarjana Terapan Animasi (S.Tr.Anim).
Sementara ini, Ikan Mas Tur Dedari belum dapat ditonton khalayak umum baik daring melalui wahana Over-the-Top (OTT) maupun luring di bioskop. Sebab, kata Adhis, karyanya masih memerlukan banyak revisi jika ingin ditampilkan pada wahana resmi. Meski begitu, ke depan ia berencana membidik slot festival-festival film pendek.
“Mungkin memang kalau sudah cukup rasanya, ya minimal masuk nominasi (di festival film pendek), baru bisa ditayangkan di streaming platform,” ungkap Adhis.
Pasca menyelesaikan pendidikan dan sukses mencuri perhatian warganet lewat karyanya, Adhis mengaku sementara ini ingin fokus mengembangkan film Ikan Mas Tur Dedari demi menjawab antusiasme warganet. “Melihat tanggapan audiens soal film pendek ini, sebenarnya pingin membuat film yang bisa ditayangkan di bioskop,” tandasnya. *rat
Komentar