Satpol PP Bali Bantah Diam soal Pengawasan dan Penertiban
DENPASAR, NusaBali - Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Provinsi Bali Dewa Nyoman Rai Dharmadi, menyatakan proses penegakan aturan harus melalui tahapan administrasi, validasi, sebelum akhirnya dilakukan eksekusi.
Pernyataan itu disampaikan Dharmadi menanggapi kritik DPD Partai Golkar Bali dan Komisi II DPRD Bali yang menuding aparat penegak perda itu mandul dalam mengawal tata ruang hingga memperparah bencana banjir.
Sebelumnya, Golkar menilai banjir yang melanda Denpasar dan sejumlah wilayah bukan hanya akibat curah hujan tinggi, melainkan cermin dari ketumpulan pengawasan Satpol PP terhadap bangunan liar di daerah aliran sungai (DAS).
Terhadap hal itu, Dharmadi mengatakan pihaknya menanggapi santai kritik tersebut. Menurutnya, banyak hal yang sudah dilakukan Satpol PP, meski tidak semua terekspos ke media. “Apa yang disampaikan oleh Komisi II DPRD Bali melalui Fraksi Golkar, ya, saya menanggapi santai saja. Karena apa yang sudah kita kerjakan, kan yang tahu banyak itu di Komisi I (membidangi urusan pemerintahan, hukum, dan keamanan, termasuk masalah kepegawaian/aparatur, kependudukan, organisasi kemasyarakatan, perizinan, Red) sebenarnya. Dan banyak hal yang kita kerjakan juga tidak semua kita ekspos di media. Nah, walaupun ada diekspos di media, apakah terbaca oleh beliau-beliau, ya saya juga tidak tahu,” ujarnya, Sabtu (20/9).
Kata Dharmadi, Satpol PP bekerja di tiga level, yakni provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan. Penanganan persoalan banjir tidak bisa dilepaskan dari faktor alam, namun di sisi lain dia mengakui memang ada potensi bangunan liar mencaplok sempadan sungai atau alih fungsi lahan resapan air yang bisa memperparah keadaan. Karena itu, katanya, pencermatan detail di lapangan mutlak diperlukan.
Untuk itu, dia menegaskan pihaknya tidak berdiam diri. “Kami juga melakukan, meminta data juga kepada kabupaten/kota. Yang tahu kan kabupaten/kota. Kalau ada hal-hal yang memang ditengarai mencaplok sempadan sungai seperti itu atau ada bangunan liar yang berpotensi mengganggu aliran daerah aliran sungai, atau ada penggalian lahan resapan air di lahan-lahan pertanian begitu, itu memang perlu pencermatan kembali,” katanya.
Satpol PP Provinsi Bali disebutnya bekerja bersama tim terpadu yang terdiri dari berbagai organisasi perangkat daerah teknis di provinsi maupun kabupaten/kota. Mekanisme ini, menurutnya, untuk memastikan validasi data sebelum tindakan penertiban dilakukan.
Dia juga menyinggung selama ini belum ada laporan resmi terkait bangunan bermasalah di sempadan sungai. “Sehingga baru, karena ada bencana banjir ini, baru ada cerita itu. Ya cerita itu kita juga baru ngeh juga,” ucapnya.
Dharmadi menekankan luasnya cakupan wilayah pengawasan membuat tidak mungkin semua titik bisa dijangkau sekaligus. Dari hulu sampai hilir sungai melintasi beberapa kabupaten, sehingga dibutuhkan pengalaman lapangan untuk mengetahui secara persis potensi pelanggaran. “Baru setelah itu kita akan tindaklanjuti,” tegasnya.
Sebelumnya, Sekretaris DPD Partai Golkar Provinsi Bali I Dewa Gede Dwi Mahayana Putra Nida alias Dewa Wiwin, menegaskan perlunya langkah tegas dari pemerintah untuk segera mengevaluasi kinerja Satpol PP Provinsi Bali. Pandangan itu juga diamini oleh Agung Bagus Pratiksa Linggih, Ketua Komisi II DPRD Provinsi Bali sekaligus Wakil Ketua Bidang Pariwisata dan Ekonomi DPD Golkar Bali.
Kata Ajus, panggilan akrab Agung Bagus Pratiksa Linggih, tugas dinas teknis hanyalah memproses dan melayani perizinan masyarakat. Namun, ketika ditemukan bangunan tanpa izin, tanggung jawab penuh ada pada Satpol PP. Penertiban di kawasan DAS pun disebut menjadi kewenangan Satpol PP provinsi karena bersifat lintas kabupaten/kota.
Menanggapi itu, Dharmadi menegaskan pihaknya terbuka jika DPRD Bali ingin melakukan evaluasi atas kinerja Satpol PP. Menurutnya, pengawasan terhadap eksekutif memang merupakan bagian dari tugas DPRD.
“Apa yang dikatakan DPRD mau mengevaluasi, kami Satpol PP ya silakan saja, kan DPRD punya kewenangan untuk mengevaluasi eksekutif, karena bagian daripada tugasnya juga melakukan pengawasan kinerja eksekutif. Ya sah-sah saja bagi kami, tidak ada persoalan. Kami juga terbuka untuk itu,” ujarnya.
Dharmadi menekankan Satpol PP bukan ‘Superman’ yang bisa menyelesaikan semua persoalan dalam waktu singkat. Setiap langkah, katanya, harus tetap sesuai standar operasional prosedur (SOP) dan disesuaikan dengan kewenangan masing-masing instansi.
“Tentu kami juga kedepankan proses yang sesuai dengan SOP, kita pilah dan pilih siapa punya kewenangan apa. Karena kalau itu kewenangannya punya kabupaten misalnya, tentu kami akan berkoordinasi dengan kabupaten,” katanya.
Dia menambahkan, dalam penanganan masalah tata ruang maupun pelanggaran aturan, Satpol PP Bali tidak bisa bekerja sendiri. Keterlibatan pemerintah kabupaten/kota mutlak dibutuhkan, karena wilayah yang bermasalah secara administratif juga berada dalam kewenangan mereka.
“Kalau memang sedianya kami yang akan menindak sampai tuntas, sampai selesai, sampai proses hukum, tidak ada masalah. Tapi kabupaten kita sertakan juga, karena bagaimana pun yang mewilayahi, yang dikatakan bermasalah, itu kan kabupaten juga punya kewenangan di sana,” terang Dharmadi.
Menurutnya, kerja kolaboratif dengan organisasi perangkat daerah (OPD) teknis dan tim terpadu baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota menjadi kunci. Dengan begitu, setiap persoalan dapat diselesaikan secara terukur dan tidak menimbulkan polemik baru.
Terkait masalah perizinan, Dharmadi menerangkan mekanisme perizinan dan pengawasan bangunan di Bali tidak bisa dilepaskan dari pembagian kewenangan antara kabupaten/kota, provinsi, dan instansi teknis lainnya. Dia menilai, kemudahan investasi melalui sistem Online Single Submission (OSS) kerap menjadi celah munculnya persoalan di lapangan.
Menurutnya, perizinan usaha berisiko rendah menjadi kewenangan kabupaten/kota, dengan dukungan rekomendasi teknis dari OPD terkait. Sedangkan untuk usaha berisiko tinggi, termasuk penanaman modal asing (PMA), kewenangan ada di provinsi.
“Kadang-kadang karena kemudahan investasi ini menyebabkan kita pun bahkan tidak tahu kalau tidak dilaporkan ada masalah. Di lapangan, kita nggak tahu bahwa sudah ada pegang izin lengkap, tinggal membangun saja. Itu kadang-kadang yang terjadi,” ujarnya.
Dharmadi menekankan pengawasan seharusnya tidak semata-mata dibebankan kepada Satpol PP. OPD teknis di tingkat provinsi maupun kabupaten memiliki kewajiban memastikan kepatuhan administrasi sebelum pelanggaran ditindaklanjuti.
“Satpol PP selaku penegak perda merupakan jalan terakhir dari upaya pengawasan. Jadi, kalau dari awal sampai akhir kita ngambil ya memang perlu waktu, karena untuk memastikan bahwa bangunan-bangunan yang ada di sempadan sungai itu kita bisa pastikan bahwa terbukti melanggar begitu,” jelasnya.
Dia menambahkan, proses penertiban melibatkan banyak instansi lain, mulai dari Balai Wilayah Sungai (BWS), Badan Pertanahan Nasional (BPN), hingga dinas teknis terkait. “Biar jelas ini, bukan berarti kami mengoper-oper, tapi lebih kepada bagaimana kita memang memedomani prosedur yang ada,” katanya.
Dharmadi memastikan Satpol PP terus bergerak melakukan pengawasan dan penertiban, baik secara mandiri maupun bersama tim terpadu. “Kami tidak diam, kami terus bergerak, dan bukan karena banjir ini saja. Sebelum-sebelumnya juga kami bergerak, bahkan sebelum ada tim terpadu kami sudah lakukan bersama Satpol PP kabupaten/kota,” jelasnya.
Terkait langkah DPRD Bali yang kini membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk turun ke lapangan mengawasi objek-objek yang ditengarai melanggar aturan, Dharmadi menyatakan dukungan penuh. “Apalagi sekarang ada pansus dari DPRD, kami sangat apresiasi dan sangat mendukung langkah itu,” tandasnya. 7 tr
Komentar