Angkat Tradisi Nelu Bulanin di Desa Penarukan, Drama Tari ‘Mapinton’ Pukau PKB 2025
Rekasadana
pergelaran
Drama Tari
PKB XLVII
PKB 2025
Desa Adat Penarukan
Kerambitan
Tabanan
Mapinton
Nelu Bulanin
Ngupah Barong
Art Centre
DENPASAR, NusaBali.com - Rekasadana (pergelaran) drama tari bertajuk Mapinton yang dibawakan Yowana Ananta Winangun, Desa Adat Penarukan, Kecamatan Kerambitan, Tabanan berhasil mencuri perhatian pengunjung Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVII Tahun 2025, Minggu (22/6/2025).
Berkat penampilan apik selama 1,5 jam yang dibawakan Duta Tabanan ini, Kalangan Ratna Kanda yang bercokol di area selatan Taman Budaya Provinsi Bali (Art Centre), Denpasar dipadati pengunjung. Tua, muda, wisatawan domestik hingga mancanegara turut menikmati drama tari Mapinton.
Suasana semakin magis di akhir pertunjukan ketika para penari dan penabuh turun bersama memenuhi panggung Kalangan Ratna Kanda untuk adegan ngerebeg. Penabuh memukul kulkul, dua barong bangkal turun menari, dan para penari memukul-mukul sapu lidi, pelepah kelapa, dan daun kelapa kering mengelilingi panggung.
Meski tampak meriah, drama tari Mapinton ini merupakan penerjemahan tradisi sakral dan turun temurun di Desa Adat Penarukan, Kerambitan, Tabanan ke dalam bentuk seni pertunjukan. Premisnya diangkat dari ritual nelu bulanin yakni tradisi upacara tiga bulanan untuk bayi yang baru lahir.
Bendesa Adat Kerambitan yang juga penanggung jawab pergelaran, IB Ketut Tenaya Manuaba ST, menuturkan bahwa ritual mapinton yang menjadi inspirasi drama tari tersebut merupakan rangkaian tradisi nelu bulanin. Di desa adat setempat, warga lumrah menyebut ritual ini sebagai ‘ngupah barong.’
“Di acara tiga bulanan bagi bayi yang baru lahir, wajib hukumnya memohon anugerah dari sasuhunan tapakan Jero Gede dan Jero Luh yang berada di masing-masing banjar atau disebut mapiton yang lumrah dikenal ngupah barong,” beber Jero Bendesa Tenaya Manuaba kepada NusaBali.com usai pementasan, Minggu siang.
Jero Gede dan Jero Luh merujuk kepada tapakan barong ket dan rangda yang berada di Desa Adat Kerambitan. Di desa adat lain tapakan sejenis ini biasanya berstana di Pura Kahyangan Tiga seperti Pura Dalem, namun tidak dengan Desa Adat Penarukan. Tapakan barong dan rangda ini ada di gedong suci masing-masing balai banjar.
Nah, ketika suatu keluarga di Desa Adat Penarukan memiliki bayi yang menginjak usia tiga bulan penanggalan Bali atau dedinan ketiga yakni 105 hari setelah kelahiran, akan dilaksanakan upacara nelu bulanin. Salah satu rangkaian upacara ini adalah ritual mapinton, di mana tapakan Jero Gede dan Jero Luh dimohon tedun masolah (turun menari).
“Di dalam sasolahan (tarian) itu digambarkan Jero Gede dan Jero Luh saling berlawanan, yang akhirnya dimenangkan Jero Gede sebagai simbol dharma melawan adharma. Ini bermakna agar anak yang baru lahir itu senantiasa dituntun kebenaran,” tegas Tenaya Manuaba.
Tokoh Geria Bantas, Penarukan ini menjelaskan bahwa anugerah papintonan dari Jero Gede dan Jero Luh disimbolkan dengan gelang yang dimohon dan diambil dari rambut kedua tapakan. Rambut kedua tapakan tersebut disatukan sebagai simbol keharmonisan rwa bhineda, yang kemudian digelangkan ke tangan kanan sang bayi.
Apa yang dipentaskan dalam drama tari Mapinton ini menggambarkan upacara yang sudah biasa dilakukan krama Desa Adat Penarukan. Hanya saja, di akhir pertunjukan ditambahkan ritual ngerebeg sebagai penutup yang secara kacamata seni pertunjukan tampak spektakuler lantaran ada kesan kemeriahan di dalamnya.
“Persiapan kami tiga bulan saja karena ini memang sudah biasa kami lakukan di Penarukan. Sebenarnya ada unsur nguying saat mapinton itu, namun tidak kami perlihatkan karena berfokus ke ritual mapinton atau ngupah barongnya saja,” tegas Tenaya Manuaba.
Untuk mementaskan drama tari ini, Desa Adat Penarukan bersama Yowana Ananta Winangun mengerahkan 50 seniman. Sebanyak 35 orang berperan sebagai penabuh dan 15 orang lainnya adalah penari atau pemeran drama tari. *rat
Suasana semakin magis di akhir pertunjukan ketika para penari dan penabuh turun bersama memenuhi panggung Kalangan Ratna Kanda untuk adegan ngerebeg. Penabuh memukul kulkul, dua barong bangkal turun menari, dan para penari memukul-mukul sapu lidi, pelepah kelapa, dan daun kelapa kering mengelilingi panggung.
Meski tampak meriah, drama tari Mapinton ini merupakan penerjemahan tradisi sakral dan turun temurun di Desa Adat Penarukan, Kerambitan, Tabanan ke dalam bentuk seni pertunjukan. Premisnya diangkat dari ritual nelu bulanin yakni tradisi upacara tiga bulanan untuk bayi yang baru lahir.
Bendesa Adat Kerambitan yang juga penanggung jawab pergelaran, IB Ketut Tenaya Manuaba ST, menuturkan bahwa ritual mapinton yang menjadi inspirasi drama tari tersebut merupakan rangkaian tradisi nelu bulanin. Di desa adat setempat, warga lumrah menyebut ritual ini sebagai ‘ngupah barong.’
“Di acara tiga bulanan bagi bayi yang baru lahir, wajib hukumnya memohon anugerah dari sasuhunan tapakan Jero Gede dan Jero Luh yang berada di masing-masing banjar atau disebut mapiton yang lumrah dikenal ngupah barong,” beber Jero Bendesa Tenaya Manuaba kepada NusaBali.com usai pementasan, Minggu siang.
Jero Gede dan Jero Luh merujuk kepada tapakan barong ket dan rangda yang berada di Desa Adat Kerambitan. Di desa adat lain tapakan sejenis ini biasanya berstana di Pura Kahyangan Tiga seperti Pura Dalem, namun tidak dengan Desa Adat Penarukan. Tapakan barong dan rangda ini ada di gedong suci masing-masing balai banjar.
Nah, ketika suatu keluarga di Desa Adat Penarukan memiliki bayi yang menginjak usia tiga bulan penanggalan Bali atau dedinan ketiga yakni 105 hari setelah kelahiran, akan dilaksanakan upacara nelu bulanin. Salah satu rangkaian upacara ini adalah ritual mapinton, di mana tapakan Jero Gede dan Jero Luh dimohon tedun masolah (turun menari).
“Di dalam sasolahan (tarian) itu digambarkan Jero Gede dan Jero Luh saling berlawanan, yang akhirnya dimenangkan Jero Gede sebagai simbol dharma melawan adharma. Ini bermakna agar anak yang baru lahir itu senantiasa dituntun kebenaran,” tegas Tenaya Manuaba.
Tokoh Geria Bantas, Penarukan ini menjelaskan bahwa anugerah papintonan dari Jero Gede dan Jero Luh disimbolkan dengan gelang yang dimohon dan diambil dari rambut kedua tapakan. Rambut kedua tapakan tersebut disatukan sebagai simbol keharmonisan rwa bhineda, yang kemudian digelangkan ke tangan kanan sang bayi.
Apa yang dipentaskan dalam drama tari Mapinton ini menggambarkan upacara yang sudah biasa dilakukan krama Desa Adat Penarukan. Hanya saja, di akhir pertunjukan ditambahkan ritual ngerebeg sebagai penutup yang secara kacamata seni pertunjukan tampak spektakuler lantaran ada kesan kemeriahan di dalamnya.
“Persiapan kami tiga bulan saja karena ini memang sudah biasa kami lakukan di Penarukan. Sebenarnya ada unsur nguying saat mapinton itu, namun tidak kami perlihatkan karena berfokus ke ritual mapinton atau ngupah barongnya saja,” tegas Tenaya Manuaba.
Untuk mementaskan drama tari ini, Desa Adat Penarukan bersama Yowana Ananta Winangun mengerahkan 50 seniman. Sebanyak 35 orang berperan sebagai penabuh dan 15 orang lainnya adalah penari atau pemeran drama tari. *rat
Komentar