nusabali

Tantangan Pesta Kesenian Bali

  • www.nusabali.com-tantangan-pesta-kesenian-bali

SEJAK digelar tahun 1979, Pesta Kesenian Bali (PKB) menjadi kegiatan berkesenian yang tak pernah lepas dari pro-kontra.

Banyak kali ia menerima tantangan, kendala. Sering menerima pujian, juga hujatan. Perhelatannya dibuka oleh gubernur, menteri, sampai presiden. Tentu banyak biaya dan tenaga dihabiskan.

Masa-masa awal PKB digelar banyak yang mempersoalkan, mengingat begitu besar dana harus digelontorkan, banyak orang bertanya, mengapa harus ada PKB? Bukankah kesenian Bali sudah dilakoni kapan saja, dan bisa disaksikan gratis dengan mudah di desa-desa dan banjar-banjar? 

Saban piodalan di pura ada berbagai wujud kesenian. Warga sudah dengan sendirinya menggelar topeng, arja, wayang, menabuh gamelan, merangkai janur, bersolek dengan selera khas Bali. Lalu, buat apa harus dihadirkan lagi dalam PKB? Jika para wisatawan ingin menyaksikan kesenian Bali, silakan mereka datang ke desa-desa. Mereka pasti akan mendapatkan suguhan khas, asli, alami, bukan pertunjukan yang dikemas buat panggung sebuah pesta.

Gubernur Bali Ida Bagus Mantra, penggagas PKB, berulang menjelaskan, Bali bisa jadi akan menghadapi memudarnya kesenian akibat tantangan industri pariwisata dan perubahan dunia global. Orang Bali sendiri harus paham mana seni buat turis, mana pula yang adiluhung. Ini ibarat mengajak masyarakat untuk memahami mana seni profan, mana pula yang sakral. Mana seni untuk diperdagangkan, mana pula harus dirawat dan dihayati.

Di tengah kritik kesenian Bali tidak usah difestivalkan, namun lebih tepat dilihat langsung ke sumbernya di desa-desa, muncul pula tantangan baru buat PKB. Setelah belasan kali diselenggarakan, muncul kejenuhan PKB cuma begitu-begitu saja. Monoton. Tak ada hal-hal baru yang tampil. Pengunjung mulai jenuh pada sendratari dan drama gong atau lomba gong kebyar yang berulang dari tahun ke tahun itu-itu saja.

Maka muncullah komentar-komentar penyelenggaraan PKB sebaiknya tidak usah setiap tahun, agar para seniman, pekerja seni, punya napas lebih panjang untuk menggali gagasan-gagasan baru. Ada yang menginginkan dua tahun sekali. Alasan yang menolak sekali setahun antara lain, PKB itu boros, menghabiskan banyak dana. Mending duit PKB dipakai untuk memperbaiki jalan yang aspalnya bolong-bolong. Atau buat beli benih tanaman, bibit untuk ternak, dan bagikan kepada petani. Toh tanpa PKB petani-petani di desa-desa terus menerus berkesenian. Jika petani makmur, bakalan muncul kesenian-kesenian bagus. Bukankah kesenian Bali didukung kaum tani?

Pernah muncul keinginan, sebaiknya tiga tahun sekali. Ada kelompok yang ingin PKB diselenggarakan saja sekali dalam lima tahun, protes pun bermunculan. Lalu banyak muncul sanggahan, “Wah, itu keterlaluan, kelamaan!” 

Tapi, Mantra tetap bertahan. Ia berupaya keras agar PKB berlangsung sekali setahun. Ia berhasil memperdakan PKB, sehingga anggaran untuk pesta kesenian itu aman. Namun usul agar PKB dilangsungkan sekali setahun terus muncul. Ketika wartawan bertanya, mengapa Mantra ngotot menyelenggarakan PKB setahun sekali, tenang dan kalem ia menjawab, “Persoalannya memang kita hadapi setahun sekali.” 

Wartawan kaget dan mendesak, persoalan apa yang dihadapi Bali setahun sekali? 

Lagi-lagi dengan tenang Mantra menjelaskan, bahwa setahun sekali anak-anak sekolah libur panjang, sebulan penuh. Mereka harus diberi tempat, suasana, dan saat untuk mengisi liburan sekolah. Jika orangtua mengajak anak-anak mereka ke PKB, itu sangat bagus, saat tepat melakukan apresiasi kesenian warisan leluhur.

Apakah kemudian PKB sepi tantangan? Tidak juga. Belakangan muncul perdebatan dan tantangan menjadikan PKB bebas dari pertunjukan kesenian yang misuh-misuh. Golongan ini menganggap pertunjukan untuk publik harus punya etika, apalagi ditonton oleh anak-anak. Zaman dulu pertunjukan kesenian Bali itu santun dan tertib, dan sangat bermutu.

Golongan penentang pandangan ini menganggap, menjadi aneh kalau adegan teman akrab, percakapan antar-punakawan diharuskan tertib, teratur, dan santun. Pertunjukan bisa kehilangan kemeriahan, banyolan-banyolan yang kasar dan nyerempet seks, bakalan hilang. Padahal itu disukai penonton, sangat menghibur.

Masih ada tantangan lain bagi PKB masa kini dan akan datang, yakni bagaimana agar yang membuka PKB selalu presiden. Kalau bukan presiden yang membukanya PKB jadi hambar. Ini sesungguhnya bukan tantangan PKB, tapi tantangan para pejabat dan kaum petinggi daerah. 7

Komentar