MUTIARA WEDA: Hukum Resonansi
ye yathā māṁ prapadyante tāṁs tathaiva bhajāmy aham, mama vartmānuvartante manuṣyāḥ pārtha sarvaśaḥ. (Bhagavad Gītā 4.11)
Dengan cara apa pun orang mendekat kepada-Ku, Aku menerima mereka dalam cara yang sama pula. Wahai Pārtha (Arjuna), semua manusia mengikuti jalan-Ku dalam berbagai cara.
HUKUM Resonansi dalam spiritualitas adalah prinsip yang menyatakan bahwa segala sesuatu di alam semesta bergetar (memiliki frekuensi), dan getaran sejenis akan saling menarik atau menyatu. Ini adalah gagasan inti dalam berbagai sistem pemikiran spiritual. Paramahansa Yogananda yang memperkenalkan spiritualitas ke Barat mengajarkan prinsipnya, “You attract what you are, not what you want. If you want great love, then become love yourself.” (Kamu menarik apa yang kamu jadi, bukan apa yang kamu inginkan. Jika kamu menginginkan cinta yang besar, maka jadilah cinta itu sendiri).
Swami Vivekananda pernah menyampaikan bahwa pikiran adalah kekuatan, dan setiap pikiran memiliki getaran yang menjangkau jagat raya. “Each thought we think sets up a vibration in the mind.” (Setiap pikiran yang kita pikirkan menciptakan getaran di dalam pikiran). Abraham-Hicks secara eksplisit mempopulerkan Law of Resonance: You are like a magnet, and you are attracting unto you. (Kamu seperti magnet, dan kamu sedang menarik segalanya ke arahmu). Dia menyebut bahwa feeling is the vibration, dan semesta meresponsnya secara presisi.
Sloka Bhagavad Gītā di atas mengungkapkan prinsip spiritual yang sejalan dengan apa yang kini dikenal sebagai Hukum Resonansi. Dalam ayat tersebut, Krishna berkata bahwa siapa pun yang mendekat kepada-Nya dengan cara apa pun, maka Dia akan membalas dengan cara yang sama. Artinya, kualitas batin, niat, dan sikap seseorang dalam mendekati realitas ilahi akan menentukan bagaimana realitas itu merespons balik. Ini mencerminkan prinsip resonansi: bahwa getaran atau frekuensi batin seseorang akan memanggil frekuensi yang serupa dari alam semesta. Jika seseorang memancarkan cinta, ketulusan, dan pengabdian, maka dia akan menerima pantulan yang sama dari Sang Ilahi.
Sebaliknya, jika dia dikuasai oleh ego, ketakutan, atau kebencian, maka hubungan yang terbangun pun akan sesuai dengan vibrasi tersebut. Dengan demikian, teks di atas menunjukkan bahwa hubungan antara manusia dan Tuhan bersifat dinamis dan reflektif, bukan statis; dan ini mengajarkan kita bahwa transformasi spiritual sejati dimulai dari perubahan getaran dalam diri sendiri. Sloka ini menjadi fondasi klasik yang memperkuat pemahaman spiritual modern tentang bagaimana pikiran dan perasaan kita membentuk realitas yang kita alami.
Contoh bisa dilihat dalam lingkaran pertemanan. Jika seseorang hidup dengan pikiran positif, niat baik, dan integritas, dia cenderung dikelilingi oleh orang-orang yang juga positif dan tulus. Sebaliknya, jika seseorang memancarkan energi penuh keluhan, kemarahan, atau pesimisme, dia akan lebih sering bertemu orang-orang yang mencerminkan hal serupa. Ini bukan kebetulan, melainkan resonansi batin yang saling menarik.
Orang yang berdoa dengan cinta dan keikhlasan akan merasakan kehadiran ilahi sebagai sesuatu yang lembut dan penuh kasih. Namun, jika seseorang berdoa hanya dengan rasa takut atau pamrih, maka Tuhan terasa jauh dan formal. Ini menunjukkan bahwa Tuhan ‘resonansi-Nya’ mengikuti cara kita mendekat—persis seperti yang dijelaskan dalam Bhagavad Gītā di atas. Ketika seseorang bermeditasi secara konsisten dengan niat yang jernih, ruang di sekitarnya menjadi lebih tenang dan damai—bahkan bisa dirasakan oleh orang lain yang masuk ke ruangan tersebut. Ini karena meditasi mengubah getaran pikiran yang kemudian meresonansi ke lingkungan.
Kita lebih mudah tersentuh oleh musik yang selaras dengan keadaan batin kita. Saat sedang sedih, musik yang melankolis terasa lebih ‘mengena’; ketika bahagia, musik riang terasa membebaskan. Ini adalah contoh bagaimana resonansi emosional terjadi secara alami. Dalam tradisi Hindu dan Buddhis, mantra dianggap memiliki kekuatan karena getaran suaranya beresonansi dengan aspek tertentu dari kesadaran. Misalnya, mantra Om Mani Padme Hum dipercaya membangkitkan welas asih karena getarannya selaras dengan sifat tersebut. Seseorang yang menjalani hidup dengan kesadaran ekologis dan rasa hormat terhadap alam biasanya juga merasakan ketenangan dan keseimbangan dalam hidupnya. Ini adalah resonansi antara kesadaran batin dan respons alam semesta terhadapnya. 7
Komentar