Jangan Gegabah dengan iGen
JEAN M Twenge, seorang profesor psikologi, menyimpulkan iGen (juga sering disebut Gen Z) berbeda dari generasi sebelumnya (Millennials, Gen X, Baby Boomers).
Perbedaannya jelas dalam cara mereka berinteraksi sosial, melihat diri dan dunia, membentuk identitas, memasuki dunia dewasa. Karenanya, mereka tidak bisa diperlakukan persis sama dalam berbagai hal.
iGen tumbuh di era digital, informasi cepat, dan realitas virtual. Pendekatan lama (misalnya metode ceramah atau sistem otoriter) bisa dianggap membosankan dan tidak nyambung. Tekanan terlalu ‘tough’ seperti generasi sebelumnya bisa membuat Gen Z merasa tidak dipahami, dan ini bisa memperburuk stres atau depresi. Gen Z cenderung kreatif, kolaboratif, dan aktif di dunia digital. Jika diperlakukan dengan cara lama yang terlalu kaku atau birokratis, potensi ini bisa terhambat. Mereka menghargai makna, fleksibilitas, dan balikan cepat. Sistem kerja atau belajar lama yang kaku bisa membuat mereka cepat bosan dan mudah berpaling. Perbedaan gaya komunikasi dan nilai bisa menciptakan kesenjangan jika tidak ada penyesuaian. Ini bisa mengganggu hubungan kerja, pendidikan, atau keluarga. Gen Z membutuhkan pendekatan yang adaptif, empatik, dan digital-aware. Menyamakan mereka dengan generasi sebelumnya amat berisiko, membuat mereka teralienasi dan gagal berkembang secara optimal.
iGen cenderung menunda tahapan-tahapan kedewasaan, seperti bekerja penuh waktu atau tinggal mandiri secara bertanggungjawab. Mereka lebih memilih berperilaku berisiko, seperti seks bebas, alkohol, tawuran, dan lain-lain. Twenge menilai bahwa perilaku demikian menandakan keterlambatan perkembangan ke arah kedewasaan. Memang, iGen lebih terbuka terhadap keberagaman dalam hal, seperti gender, seksualitas, ras, agama. Mereka cenderung mendukung kesetaraan dan hak asasi lebih luas dibanding generasi sebelumnya. Namun, Twenge mencatat bahwa toleransi ini terkadang disertai dengan ketidakmampuan menghadapi perbedaan pendapat secara sehat (seperti terlalu mudah merasa ‘terancam’ oleh pandangan berbeda).
Data psikologis menunjukkan peningkatan signifikan dalam kecemasan, depresi, dan kesepian di kalangan remaja sejak 2012. Penyebab utamanya diyakini karena penggunaan media sosial berlebihan, kurangnya tidur, kurangnya interaksi tatap muka. Twenge mencatat korelasi yang kuat antara waktu layar tinggi dan kesehatan mental yang memburuk, terutama di kalangan remaja perempuan. Karena sering berada di ruang digital dan kurang pengalaman dalam dunia nyata, iGen kurang siap menghadapi konflik, kurang percaya diri dalam membuat keputusan mandiri, sering merasa tidak aman dan cemas akan masa depan. Twenge menyebut iGen sebagai ‘anak-anak paling aman secara fisik, tapi paling rapuh secara mental’.
Sikap dan perilaku iGen demikian dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pusat kehidupan sosial telah menggeser pengalaman tatap muka, memperparah FOMO (fear of missing out), perbandingan sosial, dan body image issue. Banyak orangtua terlalu protektif, anak kurang diberi ruang untuk mencoba dan gagal yang menyebabkan ketergantungan dan rasa takut. Anak-anak iGen lebih banyak di rumah (online) daripada keluar bermain atau bersosialisasi langsung. iGen lebih lama bergantung pada orangtua dan tidak terpapar pengalaman praktis yang membentuk tanggung jawab. Maka, jangan terlalu menyalahkan dan menekan iGen, tetapi mengajak orangtua, pendidik, dan pembuat kebijakan untuk membatasi waktu layar dan akses smartphone di usia muda, mendorong interaksi langsung, aktivitas fisik, dan pengalaman dunia nyata, mendidik anak-anak menghadapi stres dan kegagalan dengan sehat, mendorong iGen untuk membangun resiliensi, kemampuan sosial nyata, dan keseimbangan hidup digital-non-digital. iGen adalah generasi yang unik: Mereka lebih hati-hati, lebih inklusif, tetapi juga lebih kesepian dan cemas—dan jika tidak diarahkan dengan tepat, mereka kurang siap menghadapi dunia nyata. Twenge mendorong pendekatan yang lebih seimbang antara teknologi dan kehidupan nyata, demi membantu generasi ini berkembang secara sehat secara emosional dan sosial. Semoga. 7
Komentar