MUTIARA WEDA: Tall Poppy Syndrome
Ahaṅkāraṁ balaṁ darpaṁ kāmaṁ krodhaṁ ca saṁśritāḥ Mām ātma-para-deheṣu pradviṣanto 'bhyasūyakāḥ (Bhagavad Gītā 16.18)
Mereka yang dikuasai oleh keakuan (ahaṅkāra), kekuatan (bala), kesombongan (darpa), nafsu (kāma), dan kemarahan (krodha), membenci Aku yang bersemayam dalam diri mereka dan diri orang lain; mereka adalah orang-orang yang penuh kebencian dan dengki (abhyasūyakāḥ).
LUCIUS Tarquinius Superbus, raja terakhir Roma suatu ketika ditanya oleh anaknya, “Bagaimana cara menguasai kota lain?” Tarquinius tidak menjawab langsung. Dia mengayunkan tongkatnya ke arah taman dan memotong kepala bunga poppy yang paling tinggi. Pesan simbolis bahwa cara menjaga kekuasaan adalah dengan menyingkirkan orang-orang yang terlalu menonjol atau berpotensi menyaingi kekuasaan. Istilah Tall Poppy Syndrome (TPS) bisa dipakai untuk merujuk pada kecenderungan dalam suatu masyarakat untuk menjatuhkan, merendahkan, atau mengkritik orang yang menonjol, terutama mereka yang sukses, terkenal, atau luar biasa dalam bidangnya.
Ketakutan atau kecemasan terhadap orang yang tiba-tiba menjadi hebat atau terkenal seringkali tidak murni ‘fobia’, tetapi bentuk dari kecemasan sosial berbasis perbandingan atau dengki sosial. Banyak istilah lain seperti envy (iri hati), inferiority complex (kompleks inferior), herosphobia (fobia terhadap orang yang menjadi pahlawan atau luar biasa, yashadvesha (yasha = ketenaran, dvesha = kebencian), dan yang lainnya. Menurut studi daerah AS–Kanada 2023 dari Women of Influence dan Thomson Reuters, 86–87 persen perempuan profesional pernah mengalami tindakan diremehkan di tempat kerja hanya karena prestasi mereka, diabaikan dalam rapat, pencapaian ditundukkan, atau mendapat standar performa tak seimbang dari rekan kerja dan atasan.
Contoh kasus personal seperti Natasha Qisty, siswi cemerlang peraih nilai tinggi dalam ujian SPM, Sanna Marin, PM Finlandia termuda (36 tahun), dan sederetan panjang lainnya mendapat serangan, bully-an yang menyakitkan. Fenomena politik tanah air saat ini pun tidak kalah serunya. Inti dari TPS adalah mengiris prestasi dan kesuksesan orang lain, bukan merayakannya—sebagai cara mengatasi rasa tidak aman atau iri. Fenomena TPS (yashādveṣa) terlihat di berbagai konteks: media sosial (menjelekkan penampilan atau prestasi); sekolah dan akademik (cyberbullying terhadap pelajar atau guru/dosen unggul); korporasi (ketidaksetaraan perlakuan dan sabotase karier); politik (menyerang figur sukses secara personal); keuangan/media (meremehkan keberhasilan startup atau remaja kaya), dan lain-lain.
Seorang tokoh perempuan muda menjadi direktur atau pemimpin muda dan langsung diserang di media sosial, bukan karena kinerjanya, tapi karena, “Terlalu muda untuk memimpin,” “Pasti karena nepotisme,” “Sok cantik dan sok pintar.” Pola ini adalah TPS yang khas — dan menurut Gītā, motivasi di baliknya bukan semata analitis, tetapi didorong oleh abhyasūya, sifat dengki yang muncul dari ego, nafsu, dan kemarahan. Menurut Gītā di atas, sifat-sifat seperti iri hati terhadap kehadiran ilahi dalam diri orang lain (ātma-para-deheṣu) menunjukkan penolakan terhadap realitas adikodrati (Iśvara) yang tersebar dalam semua makhluk. Maka menjatuhkan orang lain karena keberhasilan mereka sejatinya adalah bentuk penolakan terhadap Tuhan dalam diri orang itu.
Sloka ini membuka tabir psikologis yang relevan dengan Tall Poppy Syndrome: ketika seseorang membenci keunggulan orang lain, sesungguhnya dia tidak hanya menolak prestasi orang itu, melainkan juga menolak kehadiran ilahi yang terefleksi dalam keberhasilan tersebut. Dalam perspektif Vedantik, Tuhan hadir dalam semua makhluk (sarva-bhūteṣu atmanam). Maka, membenci orang lain karena kelebihan mereka berarti menolak pengakuan terhadap Tuhan yang bekerja lewat berbagai rupa dan capaian. TPS bukan hanya masalah sosial, melainkan masalah spiritual: ego tidak tahan melihat manifestasi Tuhan dalam wujud orang lain yang lebih sukses atau lebih terang daripada dirinya.
TPS adalah bentuk modern dari apa yang dalam Gītā disebut sebagai abhyasūya, dan menjadi tanda dominasi sifat-sifat asurik. Solusinya bukan pada menyembunyikan keberhasilan, tetapi pada pendewasaan spiritual masyarakat agar mampu melihat keberhasilan orang lain sebagai refleksi Tuhan — bukan sebagai ancaman ego. Maka, solusi filosofis terhadap Tall Poppy Syndrome bukan hanya pada pendidikan sosial, tetapi pada transformasi batin: dari ego ke pengakuan atas Tuhan, dari krodha ke karuṇā (welas asih), dari abhyasūya ke anugraha (rahmat). 7
Komentar