Diperkuat 120 Artis, Seniman Muda Badung Kemas Masalah Sampah Jadi Seni Pertunjukan Kolosal di PKB 2025
Seniman Muda Badung
Seni Pertunjukan Kolosal
Rekasadana
pergelaran
PKN 2025
PKB XLVII
Sampah
Sagara Gunung
Kadek Karunia Artha
MANGUPURA, NusaBali.com - Seniman Muda Kabupaten Badung akan menampilkan Rekasadana (Pergelaran) Seni Pertunjukan Kolosal Berbasis Tradisi di Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVII Tahun 2025. Menariknya, pergelaran kolosal ini bakal menyoroti permasalahan sampah di Pulau Dewata dari kacamata konsepsi ‘sagara gunung.’
Ketua Seniman Muda Kabupaten Badung Kadek Karunia Artha SSn, 27, menuturkan, persembahan yang masih dalam proses penggarapan ini terinspirasi dari kondisi topografis Badung yang memanjang seperti keris, memiliki laut dan gunung. Secara tradisi dapat diistilahkan sebagai wilayah yang ‘nyagara gunung.’
Kata Artha, kondisi wilayah Badung yang nyagara gunung ini telah mampu menyediakan jalan bagi rakyatnya menuju Jagat Kerthi (bumi yang sejahtera). Sebab, di utara, Badung punya gunung yang menyediakan air dan pangan. Di selatan, Badung punya laut yang menciptakan pariwisata dan kesejahteraan ekonomi.
“Ketika keduanya itu seimbang, itulah yang menciptakan Jagat Kerthi, bumi yang kertha, yang sejahtera,” beber Artha ketika dihubungi NusaBali.com, Senin (9/6/2025).
Namun, keseimbangan laut dan gunung ini kini terganggu karena perilaku masyarakat yang mulai melupakan pentingnya menjaga sagara dan gunung yang telah memberikan kesejahteraan. Hal ini ditandai dengan polusi sampah, baik di laut maupun di gunung, yang lambat laun merusak keseimbangan konsep sagara gunung sebagai sumber kehidupan di Pulau Dewata.
“Dari inspirasi awal tersebut kami mencoba mengemasnya dalam bentuk cerita fiksi yang diciptakan baru dan merujuk ke konsep sagara gunung tersebut,” tutur Artha yang juga jebolan Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia (ISI) Bali ini.
Dikisahkan dua orang anak kembar yang terlahir dari Ibu Pertiwi (personifikasi bumi). Penggarap belum menemukan nama yang pas untuk dua tokoh ini, namun sebut saja namanya Pasir dan Ukir. Pasir yang lahir di sagara lantas diutus menjaga lautan, sedangkan Ukir yang lahir di gunung juga diutus menjaga tanah kelahirannya.
Tempat yang harus mereka jaga yakni laut dan gunung rupanya sedang tidak baik-baik saja. Di laut, Pasir menemukan sampah berserakan, terjadi pencemaran limbah, yang menyebabkan ekosistem di laut terganggu. Para biota laut lantas memberi petunjuk agar Pasir pergi ke daratan untuk mencari tahu musababnya.
“Ketika berjalan ke daratan, akhirnya ia melihat suasana perkotaan. Banyak masyarakat yang membuang sampah sembarangan, mengeksploitasi alam dan sebagainya. Nah, di sana juga ia melihat kembarannya yang lahir di gunung (Ukir),” jelas Artha.
Awalnya Pasir dan Ukir tidak saling mengenal. Namun berkat kalung yang mereka kenakan, akhirnya mereka tahu bahwa mereka bersaudara kembar. Ukir lantas mengatakan kepada Pasir bahwa rumahnya di gunung juga sedang mengalami gangguan sama seperti di laut. Hutan digunduli, hewan diburu, dan akhirnya ia pergi ke dataran rendah.
Pasir dan Ukir kemudian bertemu dengan seorang tetua yang ternyata seorang utusan penjaga anak kembar Ibu Pertiwi. “Tetua itu mengatakan bahwa inilah kondisi sebenarnya. Dan, hanya merekalah yang mampu menyelesaikan masalah ini,” lanjut Artha.
Seni pertunjukan kolosal dengan konseptor Dr I Gusti Made Darma Putra MSn (Gung Ade Dalang) dengan pimpinan produksi I Made Kass Winata Keneh ini akan menampilkan karakter monster yang merepresentasikan kerusakan lingkungan akibat ulah manusia. Monster dengan ornamen sampah, ranting, dan lain-lain ini akan menjadi lawan tangguh Pasir dan Ukir.
Cukup tangguh karena monster tersebut telah merasuki Ibu Pertiwi. Monster yang merasuki Ibu Pertiwi ini menyimbolkan kerusakan lingkungan yang terjadi. Namun berkat perlawanan gigih Pasir dan Ukir, monster tersebut berhasil dikalahkan. Akhirnya, Ibu Pertiwi terbebas dari ancaman masalah lingkungan.
Kata Artha, perwujudan monster ini menjadi salah satu daya tarik pertunjukan. Sebab, cara eksekusinya tidaklah langsung memperlihatkan wujud monster tersebut, melainkan melalui modul-modul yang akan disatukan oleh penarinya untuk menggambarkan kemunculan monster ini di atas panggung.
“Melalui pertunjukan kolosal ini, kami ingin mengajak kita semua berkontemplasi bahwa kita harus menjaga alam ini dengan baik. Ketika kita ingin mengatakan jagat ini kerthi. Kita harus bisa menjaganya karena alam ini diam, manusialah yang harus bijak mengelolanya,” tegas Artha.
Sementara itu, Seniman Muda Badung akan melibatkan 120 seniman untuk mengeksekusi pertunjukan kolosal yang akan ditampilkan di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Bali (Art Centre), Denpasar pada Kamis (17/7/2025). Semuanya merupakan seniman muda dari Badung yang berusia di bawah 30 tahun.
Sebanyak 120 seniman tersebut terdiri 44 penari, 40 penabuh musik pengiring yakni gong kebyar, dan sisanya adalah stage crew dan orang-orang di balik layar. Orang-orang di balik layar ini termasuk Ni Putu Ari Sidiastini SSn MSn dan I Gusti Ngurah Krisna Gita SSn MSn selaku koreografer, serta I Made Adi Suyoga Adnyana SSn dan I Wayan Andina Suldastyasa SSn selaku komposer.
“Dalam 45 menit presentasinya nanti di Ardha Candra, drama kolosal ini memadukan unsur-unsur seni seperti tari, musikal, teater, unsur teknologi juga ada masuk. Tapi, secara keseluruhan tetap 75 persen adalah pelestarian tradisi dan 25 persen pengembangan,” kata Artha.
Di sisi lain, Artha dan kawan-kawan kini sedang mencari pola-pola terbaik untuk menampilkan garapan drama kolosal ini. Mereka juga sedang berusaha bagaimana agar gong kebyar yang menjadi musik pengiring pertunjukan tidak sekadar jadi musik latar, melainkan mampu menjadi alat untuk menjelaskan latar lewat nada.
“Kami sedang berproses sejak akhir Maret lalu untuk menampilkan yang terbaik bersama para seniman muda Badung. Oleh karena itu, nama tokoh dan judul persembahan ini juga belum kami tetapkan,” tandas Artha yang mengetuai komunitas bermarkas di Banjar Bersih, Desa Adat Tegal, Desa Darmasaba, Kecamatan Abiansemal, Badung tersebut sejak 2024. *rat
Kata Artha, kondisi wilayah Badung yang nyagara gunung ini telah mampu menyediakan jalan bagi rakyatnya menuju Jagat Kerthi (bumi yang sejahtera). Sebab, di utara, Badung punya gunung yang menyediakan air dan pangan. Di selatan, Badung punya laut yang menciptakan pariwisata dan kesejahteraan ekonomi.
“Ketika keduanya itu seimbang, itulah yang menciptakan Jagat Kerthi, bumi yang kertha, yang sejahtera,” beber Artha ketika dihubungi NusaBali.com, Senin (9/6/2025).
Namun, keseimbangan laut dan gunung ini kini terganggu karena perilaku masyarakat yang mulai melupakan pentingnya menjaga sagara dan gunung yang telah memberikan kesejahteraan. Hal ini ditandai dengan polusi sampah, baik di laut maupun di gunung, yang lambat laun merusak keseimbangan konsep sagara gunung sebagai sumber kehidupan di Pulau Dewata.
“Dari inspirasi awal tersebut kami mencoba mengemasnya dalam bentuk cerita fiksi yang diciptakan baru dan merujuk ke konsep sagara gunung tersebut,” tutur Artha yang juga jebolan Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia (ISI) Bali ini.
Dikisahkan dua orang anak kembar yang terlahir dari Ibu Pertiwi (personifikasi bumi). Penggarap belum menemukan nama yang pas untuk dua tokoh ini, namun sebut saja namanya Pasir dan Ukir. Pasir yang lahir di sagara lantas diutus menjaga lautan, sedangkan Ukir yang lahir di gunung juga diutus menjaga tanah kelahirannya.
Tempat yang harus mereka jaga yakni laut dan gunung rupanya sedang tidak baik-baik saja. Di laut, Pasir menemukan sampah berserakan, terjadi pencemaran limbah, yang menyebabkan ekosistem di laut terganggu. Para biota laut lantas memberi petunjuk agar Pasir pergi ke daratan untuk mencari tahu musababnya.
“Ketika berjalan ke daratan, akhirnya ia melihat suasana perkotaan. Banyak masyarakat yang membuang sampah sembarangan, mengeksploitasi alam dan sebagainya. Nah, di sana juga ia melihat kembarannya yang lahir di gunung (Ukir),” jelas Artha.
Awalnya Pasir dan Ukir tidak saling mengenal. Namun berkat kalung yang mereka kenakan, akhirnya mereka tahu bahwa mereka bersaudara kembar. Ukir lantas mengatakan kepada Pasir bahwa rumahnya di gunung juga sedang mengalami gangguan sama seperti di laut. Hutan digunduli, hewan diburu, dan akhirnya ia pergi ke dataran rendah.
Pasir dan Ukir kemudian bertemu dengan seorang tetua yang ternyata seorang utusan penjaga anak kembar Ibu Pertiwi. “Tetua itu mengatakan bahwa inilah kondisi sebenarnya. Dan, hanya merekalah yang mampu menyelesaikan masalah ini,” lanjut Artha.
Seni pertunjukan kolosal dengan konseptor Dr I Gusti Made Darma Putra MSn (Gung Ade Dalang) dengan pimpinan produksi I Made Kass Winata Keneh ini akan menampilkan karakter monster yang merepresentasikan kerusakan lingkungan akibat ulah manusia. Monster dengan ornamen sampah, ranting, dan lain-lain ini akan menjadi lawan tangguh Pasir dan Ukir.
Cukup tangguh karena monster tersebut telah merasuki Ibu Pertiwi. Monster yang merasuki Ibu Pertiwi ini menyimbolkan kerusakan lingkungan yang terjadi. Namun berkat perlawanan gigih Pasir dan Ukir, monster tersebut berhasil dikalahkan. Akhirnya, Ibu Pertiwi terbebas dari ancaman masalah lingkungan.
Kata Artha, perwujudan monster ini menjadi salah satu daya tarik pertunjukan. Sebab, cara eksekusinya tidaklah langsung memperlihatkan wujud monster tersebut, melainkan melalui modul-modul yang akan disatukan oleh penarinya untuk menggambarkan kemunculan monster ini di atas panggung.
“Melalui pertunjukan kolosal ini, kami ingin mengajak kita semua berkontemplasi bahwa kita harus menjaga alam ini dengan baik. Ketika kita ingin mengatakan jagat ini kerthi. Kita harus bisa menjaganya karena alam ini diam, manusialah yang harus bijak mengelolanya,” tegas Artha.
Sementara itu, Seniman Muda Badung akan melibatkan 120 seniman untuk mengeksekusi pertunjukan kolosal yang akan ditampilkan di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Bali (Art Centre), Denpasar pada Kamis (17/7/2025). Semuanya merupakan seniman muda dari Badung yang berusia di bawah 30 tahun.
Sebanyak 120 seniman tersebut terdiri 44 penari, 40 penabuh musik pengiring yakni gong kebyar, dan sisanya adalah stage crew dan orang-orang di balik layar. Orang-orang di balik layar ini termasuk Ni Putu Ari Sidiastini SSn MSn dan I Gusti Ngurah Krisna Gita SSn MSn selaku koreografer, serta I Made Adi Suyoga Adnyana SSn dan I Wayan Andina Suldastyasa SSn selaku komposer.
“Dalam 45 menit presentasinya nanti di Ardha Candra, drama kolosal ini memadukan unsur-unsur seni seperti tari, musikal, teater, unsur teknologi juga ada masuk. Tapi, secara keseluruhan tetap 75 persen adalah pelestarian tradisi dan 25 persen pengembangan,” kata Artha.
Di sisi lain, Artha dan kawan-kawan kini sedang mencari pola-pola terbaik untuk menampilkan garapan drama kolosal ini. Mereka juga sedang berusaha bagaimana agar gong kebyar yang menjadi musik pengiring pertunjukan tidak sekadar jadi musik latar, melainkan mampu menjadi alat untuk menjelaskan latar lewat nada.
“Kami sedang berproses sejak akhir Maret lalu untuk menampilkan yang terbaik bersama para seniman muda Badung. Oleh karena itu, nama tokoh dan judul persembahan ini juga belum kami tetapkan,” tandas Artha yang mengetuai komunitas bermarkas di Banjar Bersih, Desa Adat Tegal, Desa Darmasaba, Kecamatan Abiansemal, Badung tersebut sejak 2024. *rat
Komentar