nusabali

MUTIARA WEDA: Nyepi – Keheningan

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-nyepi-keheningan

Yatra viśvam idaṁ bhāti kalpitaṁ rajju-sarpa-vat, ānanda-paramānandaḥ sa bodhas tava kevalaḥ (Ashtavakra Gita XV.4)

Ketika pikiran berada dalam keheningan tanpa gangguan, itulah saat seseorang mencapai kebebasan sejati.

SECARA fisik, keheningan adalah ketiadaan suara atau gangguan auditori. Dalam kondisi ini, tidak ada kebisingan eksternal yang mengganggu, sehingga seseorang bisa merasa lebih fokus atau tenang. Secara psikologis, keheningan bisa berarti keadaan pikiran yang bebas dari kekacauan, kecemasan, atau overthinking. Ini adalah momen ketika pikiran berhenti berlari ke masa lalu atau masa depan dan hanya hadir dalam kesadaran saat ini. Secara filosofis dan spiritual, keheningan adalah kondisi transendental di mana seseorang melampaui kata-kata dan konsep. Secara eksistensial, keheningan bisa menjadi cermin dari realitas itu sendiri—sesuatu yang selalu ada, tetapi sering tertutupi oleh kebisingan dunia. Dalam konteks ini, keheningan bukan sekadar ketiadaan suara, melainkan keutuhan keberadaan yang tidak bergantung pada kata-kata atau perbuatan.

Abhinavagupta (950–1020 M), filsuf tantra dan pengarang Tantrāloka, menekankan keheningan sebagai ekspresi kesadaran murni (cit). Baginya, keheningan bukan hanya tidak berbicara, tetapi kondisi di mana seseorang menyatu dengan realitas tertinggi tanpa dualitas. Vasugupta (abad ke-9 M), pengarang Shiva Sutra, mengajarkan bahwa keheningan bukan sekadar absennya suara, melainkan keadaan alami dari kesadaran tertinggi yang tidak terganggu oleh pikiran atau kata-kata. Ramana Maharshi (1879–1950), seorang guru Advaita Vedanta, mengajarkan bahwa keheningan (mauna) adalah bentuk pengajaran tertinggi, keheningan adalah bahasa Tuhan, dan realisasi sejati muncul bukan melalui kata-kata, tetapi dengan mengheningkan pikiran.

Nagarjuna (abad ke-2 M), filsuf Madhyamaka menekankan bahwa keheningan adalah kebijaksanaan yang melampaui konsep dan dualitas. Dalam beberapa ajarannya, dia menunjukkan bahwa realitas sejati tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Bodhidharma (abad ke-5 atau ke-6 M), pendiri Zen di Tiongkok, mengajarkan bahwa pencapaian pencerahan terjadi dalam keheningan batin, bukan melalui diskusi intelektual. Dōgen (1200–1253 M), seorang Zen master Jepang, mengajarkan praktik zazen (meditasi duduk) di mana keheningan adalah jalan menuju pencerahan sejati.

Laozi dalam Dao De Jing, menyatakan bahwa “Kata-kata yang bisa diucapkan bukanlah kebenaran yang sejati.” Dao (Jalan) hanya bisa dipahami dalam keheningan. Meister Eckhart (1260–1328 M), mistikus Kristen ini menekankan bahwa keheningan adalah kondisi di mana manusia bisa mengalami Tuhan secara langsung, tanpa perantara pikiran atau konsep. Ludwig Wittgenstein (1889–1951 M), filsuf bahasa ini menutup bukunya Tractatus Logico-Philosophicus dengan kalimat, “Tentang hal-hal yang tidak dapat kita bicarakan, kita harus diam.” Baginya, ada aspek realitas yang tidak dapat dijelaskan dengan bahasa, dan di sanalah keheningan menjadi penting. Martin Heidegger (1889–1976 M), dalam filsafat eksistensialnya berbicara tentang bagaimana keheningan memungkinkan seseorang untuk menghadapi eksistensinya secara lebih otentik, tanpa tertutupi oleh kebisingan budaya atau sosial.

Keheningan selalu menarik karena bisa berarti banyak hal—kesadaran, kekosongan, keutuhan, atau bahkan sumber dari semua yang ada. Teks di atas menyatakan kebebasan sejati bisa dicapai hanya ketika pikiran berada dalam keheningan. Di Bali, Nyepi adalah keheningan dalam makna yang mendalam—bukan sekadar tidak berbicara atau mengurangi aktivitas, tetapi sebuah perhentian total untuk kembali ke inti diri dan alam semesta. Nyepi adalah momen untuk merasakan kesadaran tanpa objek—bukan sekadar berhenti berbicara, tapi juga menghentikan kegelisahan batin.

Nyepi adalah versi kolektif dari pratyahara, tahap dalam Yoga Sutra Patanjali di mana seseorang menarik indranya dari dunia luar. Dengan tidak ada gangguan eksternal, seseorang lebih mudah masuk ke dalam dhyana (meditasi) dan bahkan samadhi (keheningan absolut). Nyepi juga mencerminkan kosmogoni Hindu, di mana sebelum penciptaan ada keheningan mutlak. Dalam filsafat Tantra, keheningan adalah bentuk asli dari realitas, sebelum energi (spanda) mulai bergerak menciptakan dunia. Dengan kata lain, Nyepi bukan hanya perayaan tahun baru Saka, tetapi juga ritual masuk ke dalam ruang kosong yang penuh makna—keheningan yang justru mengandung segalanya.

Bagaimana menurutmu? Apakah keheningan dalam Nyepi bisa disamakan dengan keheningan dalam meditasi atau pengalaman mistik lainnya? 7

Komentar